Komunisme di Indonesia: Antara Korban dan Pelaku G30S/PKI (Bagian Dua)
OpiniPasca Orde Baru memang terjadi situasi yang serba bebas. Melalui gelombang keterbukaan dan demokratisasi, maka semua yang ditutup di masa lalu kemudian dibuka selebar-lebarnya. Pada era ini, maka ide, gagasan, pendangan dan pendapat yang di masa lalu ditutup rapat kemudian sepertinya memperoleh angin segar perubahan. Sebenarnya tidak hanya ideologi komunisme yang diekspresikan, akan tetapi juga ideologi Islamisme yang juga turut meramaikan zaman keterbukaan.
Jika komunisme diekspresikan dalam pemikiran dan gagasan, sebab PKI memang masih dilarang untuk muncul kembali, sebagaimana TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme, maka organisasi Islam justru mengambil peran aktif. Misalnya HTI dan organisasi-organisasi lainnya yang berbasis pada ideologi Islamisme. Organisasi ini sangat piawai dalam mengambil segmen pasar, yaitu anak-anak kampus yang pintar dan bersemangat, sehingga banyak anak kampus yang kemudian menjadi penyebar gagasan ideologi islamisme. Mereka secara proaktif mengembangkan kepak sayapnya di kampus-kampus terkenal di Indonesia dan melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK) maka perkembangan ideologi transnasional ini menjadi idola baru di tengah lesunya gerakan organisasi ekstra kampus, seperti HMI, PMII, IMM dan sebagainya.
Di sisi lain juga berkembang pemikiran dan ideologi yang oleh para ahli disebut sebagai Gerakan New Left atau Kiri Baru yang secara substansial mengusung tema-tema pemikiran kiri atau ideologi komunisme melalui Partai Politik yang diusung oleh anak-anak muda berbakat dalam Gerakan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan kemudian bermetamorfose menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang secara prinsipil mengakui Pancasila hanya saja dengan rumusan yang diinginkannya, yaitu Pancasila Reformatif.
Di tengah kebebasan dan demokratisasi, maka juga terdapat sebuah Film yang menayangkan tentang tragedi sejarah Gerakan 30 September 1965, yang ditulis oleh Sutradara Joshua Oppenheimer yang berjudul “The Act of Killing”. Film ini dibuat selama tujuh tahun dan berakhir dengan kesimpulan bahwa pembunuhan terhadap PKI adalah dendam pribadi. Menjelang peringatan G30S/PKI dan Peringatan 1 Oktober 2020, beredar kembali laporan Majalah Tempo, 1-7 Oktober 2012, yang berisi laporan tentang peristiwa pasca Gerakan 30 September 1965. Cover Tempo berbunyi: “Pengakuan Algojo 1965”. Tempo kali itu membuat reportase yang provokatif, misalnya dengan ungkapan “jagal-jagal di ladang pembantaian” dan sekaligus juga foto yang menggambarkan “nuansa” saat itu.
Juga terdapat Upaya beberapa orang yang mengangkat kembali isu PKI pada ranah internasional dengan membawa kasus tersebut dalam Pengadilan Rakyat Internasional atau International Peoples’s Tribunal (IPT) 10-13 November 2015. Sidang ini diprakarsai oleh Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis, ketika yang bersangkutan mengangkat isu ini di Mahkamah Internasional Den Haag, dan sejumlah upaya lain, misalnya untuk menggambarkan bahwa PKI adalah korban dan bukan pelaku pemberontakan terencana terhadap kekuasaan politik di kala itu. Semua ini tentu dilakukan dengan segenap kesadaran untuk menjadikan PKI sebagai korban, dan agar terbuka mata dunia bahwa pemerintah Indonesia melakukan tindakan melanggar HAM berat, dan konsekuensinya tentu harus melakukan tindakan yang relevan dengan kesalahan pelanggaran tersebut.
Yang jelas bahwa masyarakat Indonesia sedang berada di tengah tantangan yang tidak sederhana, baik yang datang dari kanan dan kiri. Dewasa ini memang sangat terasa bahwa upaya pemerintah lebih terarah ke yang kanan, misalnya dengan program deradikalisasi, anti terorisme, dan juga moderasi beragama. Hal ini tentu terkait dengan progresivitas kelompok kanan yang secara ekspresif menyuarakan upayanya untuk menjadikan khilafah sebagai system yang akan menggantikan Pancasila dengan berbagai macam upaya, termasuk Konferensi Khilafah, Deklarasi Khilafah dan sebagainya.
Sementara itu, kelompok kiri lebih bermain dalam tataran yang smart, misalnya dengan melakukannya dari dalam. Mereka menggalang kekuatan di parlemen, sehingga terdapat peluang untuk merumuskan RUU yang diharapkan akan mendapatkan persetujuan Legislatif dan eksekutif, misalnya RUU HIP yang ramai diperbicangkan masyarakat termasuk organisasi sosial keagamaan. Hal ini yang membedakan antara gerakan kanan dan kiri dalam upaya untuk mengekspresikan gagasannya secara substansial. Kelompok kanan lebih menggunakan kekuatan massa, sementara itu kelompok kiri menggunakan cara-cara yang halus dan nyaris tidak terdeteksi.
Untunglah di tengah tantangan yang makin menguat ini, terdapat survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tentang Pancasila sebagai dasar negara, 15-21 September 2021. SMRC memberikan pertanyaan: “Pancasila adalah rumusan terbaik”, maka sebanyak 82 persen setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Pancasila sebagai rumusan terbaik sehingga tidak bisa diganti dengan yang lain. Sebanyak 1-10 persen yang setuju mengganti dengan rumusan lain, dan 5 persen tidak menjawab. Pertanyaan lain adalah: “Pancasila sebagian besar harus diubah untuk membuat Indonesia lebih baik , dan setuju sebanyak 2 persen, lalu: “beberapa sila dari Pancasila perlu diubah atau dihapuskan untuk membuat Indonesia lebih baik, yang setuju sebanyak 1 persen. Kemudian: “Walaupun Pancasila itu buatan manusia dan mungkin karena itu ada kekuarangan sejauh ini paling pas bagi kehidupan Indonesia, yang setuju sebanyak 10 persen. Sebanyak 77 persen menyatakan bahwa pemerintahan tidak boleh dijalankan menurut satu ajaran agama, yakni Islam dan 16 persen menyatakan bahwa negara dapat dijalankan menurut satu agama, Islam. Dan yang menarik bahwa terdapat sebanyak 84 persen yang tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa PKI akan bangkit kembali dan sebanyak 14 persen setuju jika PKI akan bangkit kembali. (Republika, 2 Oktober 2021).
Data ini tentu menjadi penting di tengah wacana kebangkitan PKI dan perbincangan apakah PKI sebagai korban atau pelaku dalam peristiwa G30S/PKI. Sebagai negara dan bangsa yang besar tentu Indonesia sangat menarik untuk dijadikan sebagai sasaran berbagai ideologi transnasional, baik ideologi Islamisme atau sosialisme atau Komunisme. Selain itu, juga memiliki magnet yang luar biasa untuk dijadikan sebagai arena pengembangan ideologi transnasional.
Data tersebut juga penting untuk menjawab bahwa PKI sebagai partai politik tentu nyaris tidak punya peluang untuk come back di Indonesia. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya peluang dalam format lain, tetapi secara substansial adalah ideologi komunisme. Di dalam konteks ini, memang semua ideologi transnasional, baik kanan dan kiri secara substansial juga tidak akan pernah mati.
Masyarakat Indonesia tentu masih mengingat peristiwa demi peristiwa bagaimana PKI pernah melakukan pemberontakan dan kudeta di negeri ini, dan masih kokoh di dalam pemikiran masyarakat bahwa pelaku G30S/PKI adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang memiliki syahwat kekuasaan yang sangat besar.
Wallahu a’lam bi al shawab.