(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Komunisme di Indonesia: Antara Pelaku dan Korban (Bagian Satu)

Opini

Pada setiap bulan Oktober, maka dipastikan terdapat upacara liminal tahunan yang terkait dengan peringatan Gerakan 30 September atau yang biasa dinyatakan sebagai G30S/PKI atau kepanjangannya adalah Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini dijadikan sebagai peringatan atas kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, sebagai puncak Gerakan PKI untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis, sebagaimana USSR dan RRC serta negara lain yang telah diakuisisi oleh Komunisme Internasional. 

  

Komunisme adalah ideologi transnasional, yang memiliki pemikiran radikal agar di seluruh dunia dapat dikuasai dengan menjadikan negara-negara yang berideologi lain menjadi berideologi komunisme. Sebagaimana Gerakan-gerakan ideologi transnasional lainnya, maka penganut paham komunisme begitu yakin bahwa hanya ideologinya saja yang benar dan yang lain harus dimusnahkan. Sehingga ideologi lain, seperti kapitalisme, Islamisme, dan ideologi lain yang tidak senafas dengan ideologi komunis harus dienyahkan dari seluruh dunia. Bagi kaum komunisme hanya dieologinya saja yang bisa menghasilkan masyarakat tenpa kelas, tanpa penindasan dan tanpa dominasi mayoritas dan tiada tirani minoritas. 

  

Pada 30 September 2021, saya diundang pada acara yang diselenggarakan oleh Pengurus Anak Cabang Anshar Kecamatan Ganding, Kabupaten  Sumenep untuk membicarakan tentang Merawat Rekonsiliasi: Memupuk Toleransi dengan Semangat Nasionalisme (Refleksi G30S/PKI Sebagai Cambuk Motivasi dalam Menjaga Keutuhan NKRI). Acara ini menghadirkan dua narasumber lain, yaitu: A. Warits (KPU Sumenep) dan Ahmad Murtajib  (dosen IANU Kebumen). Keduanya pernah melakukan penelitian tentang PKI di Sumenep sebagai upaya untuk melakukan rekonsiliasi sebagai sesama warga bangsa. Sebagai seorang peneliti, maka pengetahuan yang bersangkutan tentang PKI dan rekonsiliasi yang diperlukan tentu cukup memadai. 

  

Saya menyajikan masalah yang bertema: PKI will Come Back?”.  Judul ini saya beri tanda tanya sebab masih ada keraguan tentang apakah benar bahwa PKI akan Kembali bergerak di Indonesia,  apakah hal ini realitas atau sekedar ilusi yang memang sengaja diciptakan untuk mewaspadai hantu “PKI” yang pernah malang melintang dalam peta perpolitikan dan kenegaraan di Indonesia. Tanda tanya ini penting mengingat bahwa perdebatan tentang PKI dengan program komunismenya tentu masih menjadi ingatan sejarah bagi generasi yang lahir di bawah tahun 60-an. G30S/PKI merupakan tragedi nasional yang menyisakan luka yang mendalam bagi warga negara Indonesia yang terkait dengan “keganasan” PKI di dalam melakukan pemberontakan maupun kudeta di negeri ini.

  

Akhir-akhir ini, terutama sepanjang bulan September dan Oktober, maka wacana tentang PKI dan Komunisme menghangat. Secara tipologi bisa dibagi menjadi dua:, yaitu yang menyatakan bahwa PKI dengan komunisme akan bangkit lagi, dan lainnya menyatakan bahwa tidak mungkin PKI dan komunismenya akan bangkit lagi di Indonesia. Di antara yang berkeyakinan PKI dan Komunismenya akan bangkit lagi adalah fenomena-fenomena seperti rencana-rencana untuk menggolkan RUU HIP, dan kengototan kelompok ini untuk tetap memperjuangkan tentang perubahan dari HIP ke BPIP, pertemuan-pertemuan dengan lambang Palu Arit, dan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh politik yang sehaluan dengan konsep-konsep PKI dan komunisme di masa lalu. Di antaranya  adalah  Pancasila reformatif yang intinya berkeinginan untuk mengubah  lima sila sesuai dengan kesepakatan 18 Agustus 1945   dengan konsep Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Dalam pembicaraan di media social, bahwa komunisme diyakinkan akan Kembali dengan cara dan wadah lain tetapi substansinya adalah komunisme. Dalam konsepsi sosiologis dan politis disebut sebagai Gerakan New Left atau Kiri Baru.

  

Tidak hanya ini, yang juga mendasar adalah upaya untuk mengalihkan isu, PKI sebagai korban dan bukan sebagai pelaku kudeta berdarah. Upaya ang dilakukan melalui International People Tribunal (IPT) di Den Haag, jelas-jelas mengusung tema PKI sebagai korban di dalam peristiwa berdarah di seputar 30 September 1965.  Pengalihan tema ini penting untuk dicermati, sebab selama ini tentu lekat di dalam pandangan masyarakat dan sejarahwan Indonesia yang pro pemerintah, bahwa dalang pembununhan terhadap enam jenderal pada tanggal 30 September 1965 adalah pasukan Cakrabhirawa yang merupakan bagian dari upaya makar PKI terhadap pemerintah yang sah. 

   

Sejarah memang cabang ilmu pengetahuan yang di dalam banyak hal dianggap sebagai ilmu yang subyektif. Analisis di dalam ilmu sejarah dinilai seringkali subyektif dalam memandang fenomena kesejarahan. Maka sejarah yang disusun semasa Orde Baru juga dianggap bias kekuasaan politik. Ahli sejarah yang pro pemerintah Presiden Soeharto tentu menjadikan PKI sebagai pihak yang bersalah dan harus ditulis jelas di dalam sejarah Indonesia. 

  

Pasca reformasi kemudian terjadi reinterpretasi terhadap sejarah nasional melalui memoar-memoar yang ditulis oleh anak cuku aktivis PKI. Mereka menulis tentang pengalamannya menjadi keturunan PKI dan hal-hal yang dirasakannya dengan labelling sebagai anak PKI. Muncul banyak buku memoar yang menggambarkan bahwa mereka adalah warga negara yang didiskriminasi selama bertahun-tahun semasa Orde Baru. Bisa jadi penerbitan karya memoar ini dalam kerangka untuk menarik simpati masyarakat Indonesia, bahwa labeling yang selama ini diterimanya tersebut menjadikannya sebagai korban atas rezim yang berkuasa. Era reformasi yang terjadi pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru seakan menjadi masa pemulihan nama baik PKI, bukan sebagai pelaku Kudeta politik tahun 1965, akan tetapi menjadi korban dalam peristiwa perebutan kekuasaan. 

  

Upaya seperti ini dilakukan secara sistematis sehingga di antara mereka yang bersepakat bahwa ada peluang Komunisme untuk Kembali bertarung dalam peta perpolitikan di Indonesia bukan dalam wadah partai politik tetapi memanfaatkan peluang politik yang tersedia, maka dirasakan bahwa pemahaman seperti itu terasa masuk akal. Oleh karena itu untuk menyatakan PKI akan Kembali ke tanah Indonesia peluangnya sangat kecil, akan tetapi  Kembali dengan substansi yang sama tetapi melalui institusi atau wadah yang berbeda tentu masih terdapat peluang di dalamnya.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.