Konsep Jihad yang Selalu Diperdebatkan
OpiniJihad sebagai salah satu ajaran di dalam Islam memang tidak dapat diragukan lagi keberadaannya.Sebagai ajaran Islam tentu jihad tidak bermakna destruktif tetapi dipastikan memiliki makna konstruktif. Jihad memiliki makna bukan untuk merusak akan tetapi dipastikan untuk kebaikan. Akan tetapi selalu saja bahwa jihad sebagai ajaran agama dapat dimaknai sesuai dengan siapa penafsirnya dan apa kepentingan atau tujuannya. Makanya, pengertian jihad lalu diperdebatkan.
Saya memang tidak akan membahas tentang jihad dalam konteks kebahasaan, akan tetapi akan membahasanya dari perspektif sosiologis yang juga tidak kalah penting maknanya bagi kehidupan masyarakat dalam suatu negara bangsa. Kata jihad memang merupakan kata yang debatable dalam makna etimologis maupun terminologisnya.
Di antara yang menjadi masalah utama adalah makna terminologis yang diangkat oleh kaum jihadis, bahwa jihad adalah “selalu” yang bermakna perang. Dan tidak ada makna lain selain hal tersebut. Di antara yang berpaham seperti ini adalah Imam Samodra, Amrozi, Aman Abdurahman, Noordyn M Top, Azahari, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir, dan sekelompok orang yang tergabung di dalam Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) . Hingga hari ini yang sering dikaitkan dengan upaya bom bunuh diri adalah JAT dan JAD.
Beberapa pekan terakhir, dunia media social diramaikan dengan pernyataan Ustadz Abdul Somad (UAS), bahwa Bom Bunuh Diri itu merupakan konsep barat dan bukan konsep di dalam Islam. Di dalam Islam, sebagaimana sejarahnya adalah tentang satu konsep yang disebutnya sebagai isytihadiyah atau secara lengkapnya disebut sebagai harakah isytihadiyah, yang secara etimologis disebut sebagai gerakan mati syahid. Harakah isytihadiyah itu berbasis pada pengalaman sejarah di Mesir, Palestina, Irak, Syria, Afganistan, yang memang negara yang pernah berada di dalam konteks “perang” saat itu.
Sayangnya bahwa ceramah UAS ini “rawan” untuk dipotong dan diambil yang dianggap relevan dengan kepentingannya. Bagi kelompok yang mengaitkan jihad itu terkait dengan perang, maka ucapan UAS dengan menyatakan orang yang melakukan bunuh diri dengan bom itu tidak disebut pelaku bom bunuh diri akan tetapi mati syahid, maka akan dapat menjadi “pembenar” atas bom bunuh diri. Namun bagi yang anti bom bunuh diri, maka gerakan mati syahid yang disampaikan UAS tentu mengandung kesalahan mendasar. Alih-alih akan menjadi “pengendali” atas gerakan jihadis, tetapi justru akan mendorong tumbuhnya gerakan tersebut.
Bagi kelompok jihadis, bahwa Indonesia layak dijadikan sebagai arena peperangan. Negara Indonesia bukan negara yang menerapkan hukum Tuhan. Konsepsinya adalah la hukma illa lillah, maka negara yang tidak menerapkan hukum Tuhan, maka dianggap sebagai negara kafir, maka wilayahnya bisa dijadikan sebagai area pertempuran, dan ini artinya jihad. Itulah sebabnya di Indonesia sering terdapat bom bunuh diri terutama wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai pengaruh barat di dalamnya.
Indonesia disebut sebagai negara thaghut atau negara yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai hukum negara. Meskipun di Indonesia sudah menjadi negara yang banyak regulasinya berbasis ajaran Islam, misalnya Undang-Undang Wakaf, Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Perkawinan, dan perda-perda syariat, dan sebagainya, tetapi tetap dianggapnya bukan negara yang menjadikan hukum Islam sebagai dasar hukumnya. Sungguh tidak bisa memahami penerapan konsepsi la hukma illa lillah tersebut, bagaimana penerapannya dan bagaimana mengimplementasikannya. Teks-teks di dalam al-Qur'an hanya memuat hal-hal yang umum, sementara itu untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan aturan yang terperinci. Bagi mereka yang bisa meredamnya adalah para ulamanya saja.
Pandangan NU dan Muhammadiyah bahwa Indonesia yang damai dan bertujuan untuk membangun kesejahteraan masyarakat dianggap sebagai konteks kesalahan dan praksis. Bagi kaum jihadis, pandangan NU dan Muhammadiyah adalah kesesatan baru di tengah kurang mendirikan negara dengan dasar Islam yang jelas dan undang-undang yang berasal dari hukum Allah SWT tersebut.
Pemikiran ilusionis seperti ini juga terus mendapat tempat di tengah hiruk pikuk hiruk pikuk negara moderen yang masih menyisakan persoalan dalam penguatan kesejahteraan masyarakatnya. Bagi mereka jika sebuah negara tidak menggunakan sistem islami dengan undang-undang yang islami dalam menggali mereka, maka tidak akan pernah mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Makanya semboyannya adalah “khilafah adalah satu-satunya solusi”.
Saya menyatakan bahwa pemikiran mengenai negara seperti itu adalah sebuah ilusi, sebab dikecualikan tidak dijumpai negara dengan konsep sebagaimana digagas oleh kaum jihadis tersebut. Negara-negara yang mengklaim sebagai negara Islam juga tidak sepenuhnya menerapkan hukum Islam secara ketat. Dipastikan bahwa negara-negara tersebut tetap mengadaptasi sistem hukum duniawi yang digagas melalui sistem parlemen atau sistem musyawarah dengan menjadikan tafsir atas hukum yang dimaksud Allah. Lagi pula negara-negara Islam juga menggunakan sistem pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan kesepakatan sejarah bangsanya.
Berpijak dari pemeikiran tersebut, maka pantaslah jika banyak ahli yang kenyatakan bahwa membentuk negara Islam dengan prinsip la hukma illa lillah adalah sebuah ilusi, dan tidak mungkin diterapkan kecuali mendirikan negara dengan pemerintahan yang otoriter. Memang, di balik Gerakan transnasional dan upaya mendirikan khilafah maka di dalamnya terdapat upaya untuk mendirikan otoriterisme baru di tengah masyarakat yang semakin demokratis.
Wallahu a'lam bi al shawab.