(Sumber : Kumparan)

Korupsi, Mentalitas dan Tindakan Permissiveness

Opini

Saya bertanya dengan pertanyaan mendasar, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Di antara pertanyaan tersebut tertuju tentang bagaimana ada prilaku yang sedemikian tidak manusiawi, mengoplos bahan bakar minyak, pertalite dan pertamax, yang sesungguhnya sudah diketahui bagaimana dampaknya bagi masyarakat dan pemilik mobil. Bagi kita tindakan seperti ini sungguh merupakan the extra ordinary crime. 

   

Mereka tentu orang yang berpendidikan tinggi, memiliki status dan jabatan yang mentereng dan juga beragama. Ada apa dengan keberagamaannya? Benarkah pernyataan bahwa iman kepada Tuhan hanya lapisan tipis dalam kesadaran manusia-manusia di Indonesia? Mengapa ada paradoks sebagai manusia yang percaya Tuhan dengan prosentasi tertinggi di dunia, sebesar 97%,  berbanding terbalik dengan negara-negara di Eropa yang level kepercayaannya kepada Tuhan di bawah 30 %. 

  

Saya selalu bertanya di dalam relung hati saya yang paling dalam. Mengapa masih ada banyak orang yang melakukan tindakan koruptif dan yang terlibat adalah orang-orang yang memiliki status, kedudukan dan jabatan yang tinggi di dalam pemerintahan? Bahkan orang-orang yang secara ekonomis sudah sangat memadai bahkan menjadi bagian dari kaum the have, orang kaya. Ada ironi di negeri ini.

  

Bisa dibayangkan seseorang dengan gaji sebulan Rp4,6 Milyar bukan Rp4,6 juta dan melakukan tindakan koruptif. Bayangkan dengan gaji professor atau dosen yang rasanya tidak mungkin mencapai angka tersebut dalam beberapa tahun. Secara kalkulatif, angka itu dapat dicapai oleh seorang guru besar dalam waktu 20 tahun. Tetapi kita bersyukur bahwa mayoritas guru besar tetap memberikan darmabaktinya kepada negeri ini, tanpa memandang berapa besaran gaji yang diterimanya. Di dalam konsepsi “matematika supra rasional”, maka apa yang tidak didapatkan di dunia tentu akan bisa didapatkan di akherat, selama terdapat keikhlasan di dalam berbuat.

  

Korupsi sekarang telah menjadi fenomena social yang menyesakkan. Tidak hanya di dalam birokrasi,  tetapi juga di dunia swasta dan elemen-elemen masyarakat lainnya. Di dalam birokrasi tidak hanya aparat pemerintah di lembaga eksekutif (para pejabat di Kementerian/Lembaga), akan tetapi juga di legislatif (DPR dan DPRD) dan yudikatif (hakim dan jaksa). Dunia bisnis (Direktur, Komisaris dan pejabat-pejabat lainnya) juga masuk dalam area korupsi. Sungguh korupsi sudah memasuki semua level kehidupan di dalam masyarakat. Ada meme atau info grafis, yang menyatakan: “Di Era Orde Baru korupsi itu di bawah meja, di Era Reformasi korupsi ada di atas meja, dan Era sekarang yang juga dikorupsi adalah mejanya. 

  

Pada akhir-akhir ini terdapat tindakan korupsi jumbo, yang mencengangkan masyarakat. Kasus korupsi Timah sebesar Rp320 trilyun, yang melibatkan actor-aktor terkenal dan pejabat di dalamnya. Harvey Moeis semula hanya dituntut selama 6,5 tahun tetapi karena desakan masyarakat melalui media social akhirnya dihukum 20 tahun penjara. Lama hukuman bisa naik turun tergantung pada bagaimana factor eksternal ikut melakukan kritisisme atas penetapan hukuman. 

  

Hal yang baru saja  terjadi adalah korupsi bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pejabat tinggi di Pertamina. Rentang waktunya juga panjang semenjak 2018 sampai 2024.  Direktur Utama anak Perusahaan Pertamina, PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Product PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin, Direktur PT Pertamina Internasional Shipping, Yoki Firnandi dan Vice Presiden Feedstock Management PT KPI, Agus Purwono, lalu broker minyak PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Adrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, Gading Ramadlan Joede sudah ditetapkan sebagai tersangka. 

  

Mereka ini adalah orang-orang yang sangat terpelajar, memiliki kemampuan memenej perusahaan dengan sangat baik dan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan perusahaan yang seharusnya untuk menguntungkan negara. Sayangnya bahwa semua talenta baik tersebut berhasil dikalahkan oleh nafsu serakah untuk melakukan tindakan korupsi dalam jumlah yang sangat besar, Rp193,7 Triliun. 

  

Kita nyaris tidak bisa percaya lagi dengan pengelola negara.  Tindakan koruptif bisa menimpa siapa saja. Namun tindakan melawan hukum seperti ini sungguh menodai amanah yang diberikan oleh negara untuk kepentingan rakyat. Nyaris bisa dinyatakan di mana ada uang di situ ada tindakan korupsi.  Sungguh ngeri mendengarkan informasi di media social tentang bagaimana tingkat korupsi yang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat. 

  

Kita sungguh tidak memahami bagaimana mereka bersekongkol untuk merencanakan, mengeksekusi dan mendistribusikan hasil rampokan terhadap uang negara. Apakah sama sekali tidak terbersit bahwa yang dilakukan tersebut tidak saja merugikan negara akan tetapi juga merugikan masyarakat pengguna BBM. Konon penggunaan BBM oplosan Pertalite dengan Pertamax dalam waktu panjang akan dapat merusak mesin mobil. Jika memang demikian, pantaslah jika masyarakat menaruh perhatian besar atas kasus ini.

  

Untunglah masyarakat Indonesia tidak melakukan tindakan kekerasan atas masalah ini, misalnya dengan membuat tagar Boikot Pertamina atau #BoikotPertamina. Melalui kearifannya masyarakat Indonesia menyerahkan persoalan korupsi ini kepada Aparat Penegak Hukum. Tetapi jangan lupa bahwa kasus ini sudah menjadi milik masyarakat, sehingga penetapan hukumannya mesti tidak menodai kepercayaan masyarakat.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.