(Sumber : Nur Syam Centre)

Masalah Perhajian di Indonesia

Opini

Di dalam acara yang diselenggarakan di Asrama Haji Provinsi NTB, 21 September 2022, pada acara Sertifikasi Pembimbing Jamaah Haji, maka saya sampaikan tentang problema yang dihadapi oleh jamaah haji Indonesia. Selain masalah pemahaman jamaah haji tentang fikih haji, maka yang juga menonjol adalah mengenai usia jamaah haji yang rata-rata tua, rendahnya pengatahuan tentang wilayah haji,  Pendidikan  yang rendah dan kebanyakan mereka juga hanya menguasai Bahasa daerah. Problem tersebut saya bahas di dalam acara dimaksud.

  

Pertama, secara operasional, maka pelayanan haji harus berbasis pada lima hal penting, yaitu: harus jelas tempatnya, harus jelas alurnya, harus jelas waktunya, harus jelas pembiayaannya dan harus jelas siapa yang melaninya. Lima hal ini adalah prosedur kunci di dalam setiap pelayanan pemerintah. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, maka lima hal ini dapat direduksi menjadi tiga saja, yaitu: jelas prosedurnya (sesuai dengan aplikasi yang sudah disediakan), jelas waktunya (sesuai apilikasi), jelas dan mudah pengisian aplikasi dimaksud. Pelayan atau pegawai dan tempat sudah direduksi oleh system aplikasi yang bisa dilakukan di rumah masing-masing. 

Secara operasional, maka pelayanan tersebut harus berbasis pada lima hal penting, yaitu: harus jelas tempatnya, harus jelas alurnya, harus jelas waktunya, harus jelas pembiayaannya dan harus jelas siapa yang melaninya. Lima hal ini adalah prosedur kunci di dalam setiap pelayanan pemerintah. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, maka lima hal ini dapat direduksi menjadi tiga saja, yaitu: jelas prosedurnya (sesuai dengan aplikasi yang sudah disediakan), jelas waktunya (sesuai apilikasi), jelas dan mudah pengisian aplikasi dimaksud. pelayan atau pegawai dan tempat sudah direduksi oleh system aplikasi yang bisa dilakukan di rumah masing-masing. 

  

Kedua, Kementerian Agama telah menggunakan manajemen baru yang disebut sebagai manajemen kinerja atau performance management. Berubah dari POAC ke PDCA. Planning ke Organizaing ke Actuating ke Controlling berubahn menjadi Plan ke Do ke Check ke Action. Melalui perubahan system manajemen ini, maka semuanya menjadi serba cepat dan terukur. Setelah perencanaan selasai dengan diterbitkan Pagu Definitif, maka langsung dikerjakan tidak menunggu koordinasi antar lini, masing-masing sudah punya programnya sendiri, dan pada waktu tertentu dilakukan monitoring atau pengawasan (check) dan hasil cheking kemudian ditindaklanjuti jika ada yang belum on the track. Maka dikenal ada Sistem Informasi Pelaporan  Kinerja Anggaran (SIPKA)  yang harus diupload dalam masa tri wulanan sebagai bahan checking atas kinerja masing-masing unit dalam pelaksanaan kinerjanya. 

  

Ketiga, kebanyakan calon jamaah haji adalah masyarakat pedesaan yang belum memiliki pengetahuan dim luar daerahnya. Kebanyakan mereka orang yang belum mengetahui pelabuhan udara. Bahkan mereka belum tahu ibukota provinsinya. Kebanyakan mereka orang yang belum pernah bepergian menggunakan pesawat terbang. Bagaimana praktek naik pesawat terbang belum dirasakannya. Bagaimana cara ke toilet untuk buang air kecil atau buang air besar, bagaimana membersihkan toilet, dan bagaimana cara membersihkan tangan pasca buang hajad. Bagaimana cara menggunakan sabuk pengaman, dan lain belum dipahaminya.

  

Kebanyakan calon jamaah haji adalah orang desa, yang belum memiliki seperangkat pengetahuan di luar daerahnya. Mereka tiba-tiba menjadi manusia internasional dengan pergi keluar negeri dalam jangka lama. Bisa terjadi psychological shock. Secara mental mengalami ketakutan dan kegalauan. Mereka harus menempati hotel yang sebelumnya tidak atau belum diimpikannya. Bagaimana mereka harus berada di hotel merupakan problem tersendiri. Mereka hidup dari budaya seadanya menjadi hidup dalam budaya modern. Mandi menggunakan shower, toilet modern, bahkan juga menggunakan wastafel dan sebagainya. Mereka secara tiba-tiba harus mengubah gaya hidup pedesaan ke gaya hidup perkotaan. 

  

Kemudian problem transportasi. Kebijakan yang diambil pemerintah bahwa jamaah haji yang tempatnya di ring I kira-kira 1 sampai 1,5 KM maka dapat ke masjidil haram dengan jalan kaki. Jamaah haji yang jaraknya 1,5-10 KM dapat naik bus shalawat yang berputar semalaman. Jamaah haji yang tidak memiliki pengetahuan kewilayahan, maka akan mengalami kesulitan. Terutama untuk menuju tempat atau stasiun bus shalawat. Jamaah haji dipastikan berada di tempat pemberhentian bus shalawat pada titik tertentu. Sebenarnya sudah ada petugas haji yang berada di area-area ini. Hanya karena membludaknya jumlah jamaah haji terkadang tidak terpantau secara keseluruhan jamaah haji Indonesia.

  

Problem yang tidak kalah menarik bahwa kebanyakan jamaah haji adalah orang dengan tingkat pendidikan rendah. Kebanyakan juga hanya menguasai bahasa daerahnya saja. Kebanyakan tidak memiliki kemampuan menggunakan alat komunikasi. Pemisahan lelaki dan perempuan di Masjidil Haram juga potensial terjadinya problem tersesat.

  

Disebabkan oleh antrian yang lama dan kemampuan membiayai perjalanan haji pada usia tua, maka kebanyakan usia calon jamaah haji adalah orang yang usainya di atas 50 tahun bahkan ada di atas 70 tahun. Faktor usia tentu berpengaruh terhadap kemampuan menjalankan ibadah haji sebab ibadah haji adalah ibdah fisik. Faktor usia tua tentu membebani terhadap jamaah haji lainnya, karena harus memberikan pertolongan kepada jamaah haji yang tua.

  

Sesungguhnya, selalu ada usulan dari Komisi VIII agar jamaah haji yang usia tua didahulukan, akan tetapi terkendala oleh regulasi penerbangan bahwa dalam satu penerbangan jamaah usia tua maksimal 30 persen. Sehingga usulan yang sebenarnya ideal ini tentu tidak bisa dilakukan. Maskapai tidak mau mengambil resiko dengan banyaknya penumpang yang berusia tua, karena terdapat sejumlah resiko di dalam perjalanan udara. 

  

Untuk menanggulangi faktor usia, factor kebahasaan dan factor literasi penerbangan dan literasi kewilayahan tersebut, sebaiknya memperkuat kepala regu dan kepala rombongan untuk mengkoordinasikan dan mengkomunikasikan kepada para jamaah. Selain itu juga diperlukan upaya untuk memperbaiki system manasik haji yang memang memerlukan sentuhan baru, yang disebut sebagai rekonstruksi manasik haji.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.