MBS, Salafi Wahabi dan Modernisasi Arab Saudi
OpiniSungguh telah terjadi perubahan yang sangat luar biasa di Arab Saudi. Kala Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) diangkat menjadi Putera Mahkota, maka banyak gebrakan yang dilakukannya. Tidak hanya perubahan kebijakan luar negeri, akan tetapi juga secara internal melakukan banyak perubahan. Semua dilakukan dalam kerangka mendukung Arab Saudi agar bisa bersaing dengan negara-negara barat.
Visi tersebut hanya akan tercapai jika modalitas ekonomi, SDM dan kekayaan alam bisa dioptimalkan untuk mencapai visi dimaksud. Itulah sebabnya secara internal, pemerintah Saudi tidak lagi bertumpu pada minyak dan gas bumi menjadi devisa negara. Disadari betul bahwa minyak dan gas bumi sebagai potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak bisa diperbaharui, maka suatu ketika akan habis jika dieksploitasi secara terus menerus. Makanya pemerintah menggenjot upaya pendapatan negara melalui pajak, investasi asing dan juga diversifikasi usaha yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Semua jenis usaha yang bisa menghasilkan devisa dioptimalkan agar pendapatan nasional Arab Saudi bisa lebih baik. Kebijakan untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada minyak dan gas bumi dilakukan agar ke depan akan terjadi keseimbangan dalam pendapatan negara. Dalam kerangka pembangunan ekonomi baru, maka Arab Saudi juga menggandeng China yang tentu akan menguntungkan kedua belah pihak.
Arab Saudi sudah berubah. Keterbukaan mulai diterapkan. Misalnya dengan memberikan peluang bagi perempuan untuk bisa mengekspresikan diri. Perempuan boleh menyetir sendiri, bisa menonton konser music, bahkan juga diperkenankan untuk menonton olahraga. Perempuan harus berada di ruang domestic. Di masa lalu, perempuan tidak memperoleh peluang untuk melakukan hal-hal yang selama ini menjadi domain lelaki.
Sesuai dengan visi baru tersebut, maka pemerintah Arab Saudi akan membangun kota baru dengan bangunan yang didesain seperti Ka’bah. MBS akan membangun kota futuristic, Neom dan Gedung pencakar langit The Mukaab. Bangunan itu akan dapat menjadi pusat perkantoran dan pertokoan modern, bahkan juga akan menjadikan beberapa area untuk menjadi tempat wisata internasional. Hal ini tentu terkait dengan Arab Saudi sebagai wisata ziarah dan wisata ibadah yang luar biasa potensinya. Bangunan yang menyerupai ka’bah tersebut sontak mendapat kecaman dari kaum Salafi Wahabi di dunia internasional, tidak terkecuali kaum Salafi Wahabi di Indonesia. Oleh sejumlah kalangan pembangunan The Mukaab dianggap sebagai pertanda semakin dekatnya kiamat.
Penolakan kaum Wahabi atas proyek-proyek prestisius itulah yang kemudian mendasari perubahan arah kebijakan terhadap Salafi Wahabi di Arab Saudi. Sekarang sedang dilakukan upaya untuk melakukan pembersihan di institusi pendidikan di Arab Saudi. Ajaran-ajaran yang berisi intoleransi juga dibuang jauh-jauh. Menurut penuturan Prof. Sumanto Al Qurtubi, bahwa sekarang ini sedang dilakukan upaya untuk membuang sebanyak 360.000 konten pembelajaran yang mengandung unsur intoleransi. Sebuah upaya luar biasa sebab konten pembelajaran seperti itu sudah bertahun-tahun dipertahankan.
Jika mendengarkan you tube Gus Miftah, bahwa sekarang ini, melalui MBS, pemerintah Arab Saudi sudah melakukan ratifikasi perjanjian dengan Syekh Abdul Wahab. Sebagaimana dipahami bahwa di dalam mendirikan Negara Arab Saudi, maka ada perjanjian bahwa Ajaran Wahabi akan menjadi dasar dan moralitas pemerintah melalui penerapan ajaran Wahabi dan pemerintah akan dilakukan oleh Muhammad bin Saud. Perjanjian itu terus berlangsung, sehingga paham keagamaan dan praktik pengamalan keagamaan seluruh masyarakat Saudi harus menggunakan ajaran Wahabi, yang kemudian dikenal sebagai Salafi Wahabi.
Sebagai akibat “penolakan” kebijakan untuk memoderenkan Arab Saudi, maka ajaran Salafi Wahabi tidak dijadikan sebagai satu-satu paham keagamaan. Pemerintah Arab Saudi dapat juga mengakomodasi terhadap paham keagamaan yang relevan dengan perubahan zaman. Akhirnya otoritas kekuasaan Arab Saudi akan bisa memilih berbagai pilihan paham keagamaan yang memiliki relevansi dengan paham keagamaan di sini. Jika selama ini paham keagamaan itu dipaksakan oleh kekuasaan, maka ke depan masyarakat akan dapat memilih paham keagamaan yang dianggapnya cocok dalam pilihan paham keagamaannya.
Pada tulisan terdahulu, saya menyatakan bahwa dengan adanya upaya eliminasi paham keagamaan Salafi Wahabi di Arab Saudi oleh otoritas kekuasaan, maka akan terjadi migrasi besar-besaran ulama Salafi Wahabi ke dunia internasional. Sebagaimana di Soviet dan juga beberapa negara Eropa lainnya, bahwa paham keagamaannya sudah dipengaruhi oleh Salafi Wahabi. Demikian pula di Indonesia. Negara ini juga sudah menjadi tempat bagi pengembangan ajaran Salafi Wahabi. Mereka menguasai media social, radio dan televisi, sehingga akan bisa menjadi tampat yang nyaman untuk para ulama Salafi Wahabi. Termasuk juga institusi Pendidikan, misalnya Lembaga-lembaga Pendidikan umum yang berafiliasi dengan kaum Salafi Wahabi dan juga pesantren yang bergabung dengan kelompok Salafi Wahabi.
Jika di masa lalu hanya ada pesantren Salafiyah, yang dikelola oleh kaum Nahdhiyin, maka sekarang sudah banyak dijumpai pesantren Salafi yang didirikan dan dikembangkan oleh kaum Salafi Wahabi. Lembaga-lembaga Pendidikan ini adalah tempat strategis untuk menampung para ulama Wahabi dan tempat penyemaian paham Wahabi yang ideal. Rasanya, Indonesia akan dapat dijadikan sebagai tempat tujuan untuk mengembangkan paham keagamaan yang bisa menyebabkan terjadinya disharmoni sosial.
Oleh karena itu, tantangan Islam ke depan tentu akan semakin rumit. Gerakan-gerakan moderasi beragama yang dilakukan di Indonesia ke depan akan mendapatkan tantangan yang lebih hebat, jika hipotesis Indonesia akan menjadi tempat bagi penyemaian paham Wahabi yang dibawa oleh ulama-ulama Wahabi. Jadi, para ulama Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah akan makin sibuk di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.