(Sumber : Dokumentasi Penulis)

Memilih Dengan Pikiran Jernih dan Hati Bersih

Opini

Tema “Menjadi Pemilih Yang Berpikir Jernih dan Berhati Bersih”   dipilih oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang menyelenggarakan forum diskusi di GKI Diponegoro, yang diikuti oleh jamaah GKI se Surabaya. Acara ini diinisiasi oleh Sahabat saya, Pendeta Simon Pilantropa, dan dilaksanakan pada Hari Jum’at, 01/12/2023, dari jam 19.00 sampai jam 21.30 WIB. Sebagai narasumber saya dan Prof. Dr. Anita Lie dari Universitas Widya Mandala Surabaya. Acara diskusi dimoderatori oleh Pendeta Sigit Natanael. 

  

Acara yang  menarik sebab menghadirkan para jemaah gereja yang usianya bervariasi dari usia muda, dewasa dan tua.  Yang generasi muda, adalah mahasiswa dan aktivis gereja pada GKI masing-masing. Acara ini memang didesain untuk memberikan pemahaman kepada jamaah gereja agar pada pemilu yang akan datang, 2024, dapat memilih pimpinan yang benar untuk Indonesia ke depan. Saya menyampaikan tiga hal mendasar terkait dengan upaya untuk memilih dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih.

  

Pertama, pemilu yang akan datang ini merupakan fondasi untuk menyongsong Indonesia Emas tahun 2045, genap 100 tahun kemerdekaan Indonesia, yang sering dikonsepsikan sebagai Bonus Demografi. Negara Indonesia semakin muda, sebab mayoritas warga negaranya  adalah generasi muda. Oleh karena itu, kita berharap agar pemilu yang datang dapat memilih pemimpin negara yang baik dan dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik. Namun demikian, kita masih menghadapi masalah yang terkait dengan kelompok yang berpikir politik agama (baca politik Islam) versus agama politik (baca Islam politik) sehingga di sana sini menghasilkan politik identitas, yang berargumentasi bahwa agama dapat dijadikan sebagai dasar ideologi negara dan hukum agama sebagai basis hukum negara. 

   

Pemikiran Islam politik sebenarnya tidak genuine lahir dari negeri ini, akan tetapi merupakan produk pemikiran kaum Islamis di Timur Tengah. Yaitu ikhwanul muslimin yang lahir di Mesir dengan Hasan Al Banna sebagai ideolognya. Ikhwanul Muslimin kemudian melahirkan Jama’ati Islami di Pakistan, Hizbut Tahrir di Libanon, Hamas di Palestina, dan Hizbut Tahrir Indonesia yang berkembang di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Mereka semua ini yang mendengungkan tentang gerakan khilafah, dan mempengaruhi pikiran generasi muda.

  

Kedua, di belahan dunia mana saja dipastikan bahwa ada dua pemilahan mengenai aktivitas politik, yaitu  high politics and low politics. Di dalam realitas social politik, dunia social politik kita masih diwarnai dengan berbagai penyimpangan atas kesucian demokrasi. Di antaranya masih berlangsungnya politik uang. Untuk menjadi anggota legislative, maka harus mengeluarkan sejumlah uang. Tidak sedikit. Akibatnya, kala menjadi anggota legislative, maka para anggota legislative pasti akan berusaha mengembalikan modalnya. Inilah yang saya konsepsikan sebagai politik kleptomania. Akibat lanjutannya adalah negeri ini akan dikuasai oleh sekelompok pemodal yang hanya melihat keuntungan  bagi dirinya dan bukan untuk masyarakat.

  

Politik seharusnya berbasis etika yang diturunkan dari ajaran agama. Tidak boleh kita menerapkan mental hazard dalam politik. Jangan sampai berpikir tujuan menghalalkan segala cara. Cara berpikir Machiavelisme ini tidak boleh terjadi. Harus dihindari jika kita menginginkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Terjadinya banyak tindakan korupsi tentu bisa diakibatkan oleh kesalahan procedural dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Demokrasi sebagai instrument politik seharusnya dapat menggambarkan tentang eksistensi politik yang sesungguhnya bukan aktivitas yang kotor. Jargon politik kotor disebabkan oleh prilaku politikus yang berbasis pada ketiadaan etika politik. 

  

Ketiga, saya tentu tidak akan memberikan gambaran siapa capres dan cawapres yang akan dipilih, akan tetapi sekedar untuk memberikan indicator umum tentang siapa yang selayaknya dipilih berdasar atas pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Indicator tersebut adalah tentang seberapa wasasan kebangsaan atau nasionalismenya itu mengakar kuat di dalam pasangan dimaksud. Kemudian tingkat toleransinya, apakah pasangan tersebut dikenal sebagai pasangan yang telah memiliki seperangkat perilaku yang toleran. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana penghargaannya atas kemajemukan budaya bangsa dan berusaha untuk menghargai dan menghormati atas budaya bangsa serta yang terakhir adalah bagaimana tindakannya yang anti kekerasan, baik kekerasan simbolik maupun kekerasan actual.

  

Tentu ada mekanisme untuk memahami  empat hal di atas yaitu melalui rekam jejak. Kita bisa mengetahui  rekam jejaknya, bagaimana ucapannya, bagaimana tindakannya dan bagaimana kebijakan-kebijakannya semasa menjadi pejabat public. Bisa jadi semuanya memiliki rekam jejak yang baik atas empat hal di atas, akan tetapi tentu bisa dilihat grade-nya. Dipastikan ada yang lebih baik jika dibandingkan antara satu dengan lainnya. Melalui mekanisme seperti ini, maka kita akan bisa memilih mana yang baik di antara yang tersedia. 

  

Kita semua dikaruniai empat kecerdasan, yang saya kira bisa menjadi instrument untuk memilih, yaitu kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, kecerdasan social dan kecerdasan spiritual. Melalui empat kecerdasan tersebut, maka kita akan bisa menimbang tidak hanya dengan rasio semata, tetapi juga dengan perasaan dan hati serta  spiritualitas yang dipandu oleh keyakinan. Pastikan bahwa kita akan memilih yang terbaik.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.