Memperkuat Ekosistem Publikasi
OpiniAda sebuah anekdot di lingkungan PTKIN, bahwa jika birokrat berpikir maka akan menghasilkan proyek, sementara jika dosen berpikir akan menghasilkan artikel, buku atau makalah. Gurauan seadanya ini memberikan penegasan bahwa dunia dosen adalah dunia pemikiran yang tertuang di dalam karya akademik, sedangkan dunia birokrasi adalah dunia kerja praksis untuk menghasilkan karya-karya fisikal maupun non fisikal sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Tetapi keduanya sebenarnya bertemu pada titik yang sama yaitu melakukan pengabdian untuk umat, bangsa dan negara.
Ekosistem publikasi bukanlah istilah yang baru dalam dunia akademik. Di dalam dunia akademik terdapat istilah yang sudah popular yaitu untuk bekerja secara sistemik dari pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang dikenal dengan konsep konvergensi tri darma perguruan tinggi. Seorang dosen harus melakukan proses pembelajaran yang bisa dipadukan dengan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dari pengajaran ke penelitian dan ke pengabdian masyarakat yang berlaku secara sistemik atau satu kesatuan. Bisa saja dari penelitian ke pengabdian masyarakat ke pembelajaran. Selain kata konvergensi tri darma perguruan tinggi, maka juga dikenal diksi “kolaborasi”. Jika konvergensi merupakan ungkapan untuk menggambarkan satu kesatuan sistemik dalam tri darma perguruan tinggi, maka kata kolaborasi lebih terfokus pada pola kerja bersama-sama.
Ekosistem publikasi tentu terkait dengan upaya para dosen atau kaum akademis dalam melakukan publikasi karya akademiknya. Ada beberapa pola yang bisa dilakukan untuk bekerjasama dalam kerangka publikasi karya ilmiah. Yaitu: pertama, publikasi artikel ilmiah. Sesuai regulasi, setiap dosen yang memiliki jabatan professor harus menghasilkan karya ilmiah atau artikel dalam tiga tahun dengan ketentuan 1 artikel terindeks internasional, bisa terindeks di Scopus, WoS, Thomson atau lainnya, atau 3 artikel yang terakreditasi di Sinta, bisa Sinta 2, 3, dan seterusnya.
Bagi professor atau doktor yang memenuhi syarat untuk membimbing disertasi atau tesis, maka hasil disertasi atau tesis akan dapat diekstrak menjadi artikel ilmiah. Karena disertasi atau tesis merupakan karya kolaboratif atau melalui bimbingan terstruktur oleh promotor atau pembimbing, maka di dalam karya artikel yang dipublikasikan akan dapat ditulis berdua atau bertiga. Bukankah secara regulative memang dibenarkan untuk menulis karya artikel dan bahkan buku secara kolaboratif. Bahkan dalam jurnal terindeks di Scopus atau terakreditasi di Sinta juga diperbolehkan untuk menulis secara kolektif. Jadi, seberapa banyak disertasi dan tesis yang diselesaikan maka akan bisa dihitung berapa banyak jumlah publikasi artikelnya.
Kedua, publikasi buku karya individual. Karya-karya ulama Timur Tengah atau karya ulama Nusantara di masa lalu, kebanyakan merupakan karya perseorangan, misalnya karya Ilmu Fikih Imam Syafi’i, karya filsafat Ibnu Rusyd, dan Al Kindi, atau karya ilmu kalam Ibnu Taimiyah, ilmu hadits Imam Nawawi, ilmu tasawuf Athoillah Sakandari, Ilmu tafsir Ibnu Katsir, ilmu tasawuf Imam Ghazali, karya tafsir Bisri Musthofa, Tafsir al-Qur'an Hamka, karya tafsir Quraisy Syihab. Semua dapat diidentifikasi sebagai karya individual yang cemerlang. Mereka ini adalah sekelompok kaum polymath, yang tidak hanya menguasai satu ilmu tetapi banyak ilmu pengetahuan. Selain itu juga terdapat karya sosiologis, antropologis dan ekonomi dengan penulis tunggal seperti Antropologi ekonomi Huub de Jonge, sosiologi ekonomi Stiglitz, Antropologi keluarga Hildred Geertz, Antropologi politik Heffner, Antropologi social Koentjaraningrat, Sejarah Sosial Sartono Kartodirjo, Antropologi Kyai Horikoshi, Sosiologi Hukum Soetandyo Wignyosubroto, dan sejarah agama-agama Karen Amstrong.
Ketiga, karya buku kolaboratif. Saya membagi dua atas karya buku kolaboratif, yaitu: 1) Karya kolaboratif dalam bentuk editor, di mana satu atau dua orang akademisi berperan sebagai editor buku. Memang hanya sebagai editor dan memberikan pengantar atas buku dimaksud. Di antara yang dapat diidentifikasi adalah karya Meenakshi dan Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies, W.G. Runciman, R. John McGee and Richard L. Warms, Anthropological Theory, an introductory history, dan di Indonesia banyak sekali karya-karya seperti ini. Misalnya, Suhartini, Agama dan Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi Agama, Imron Rosyadi dan Mevy Nurhalizah, Upacara Liminalitas di Indonesia: Upacara Kenegaraan, Keislaman dan Tradisi Nusantara, Chabib Musthofa dan Mevy Nurhalizah, Menggelorakan Moderasi Beragama untuk Indonesia Hebat, dan banyak lainnya. 2) karya kolaboratif dalam bentuk editor dan penulis atau book chapter. Selain sebagai editor juga penulis subbabnya, misalnya James E. Banks, The Routledge International Companion to Multicultural Education, James E. Banks and Cheery A. McGee Banks, Multicultural Education, Issues and Perspectives, dan Stephen May, Critical Multiculturalism, Rethinking Multicultural and Antiracist Education.
Keempat, karya terjemahan, baik individul maupun kolaboratif. Ada sangat banyak karya-karya terjemahan yang sudah dihasilkan oleh para akademisi Indonesia, baik yang dilakukan oleh individu maupun kolaborasi. Perkembangan ilmu-ilmu di dalam khazanah umat Islam di masa lalu tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk menerjemahkan karya-kaya para pemikir masa lalu dari Yunani, dan kemudian ilmuwan barat juga berkembang dari keberhasilannya untuk menerjemahkan karya-karya intelektual Islam ke dalam Bahasa Inggris, Perancis dan lainnya. Di antara karya yang dapat dikategorikan sebagai karya terjemahan, misalnya Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi sosiologis yang diberi kata pengantar oleh Parsudi Suparlan, John L. Esposito, Islam Warna Warni diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Arief Maftuhin, Robert N. Bellah, Beyond Belief, Esai-Esai tentang Agama di Dunia Modern, diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam dengan kata pengantar Olaf Schumann.
Tidak ada yang baru di dalam tulisan ini, hanya saja bahwa dewasa ini sangat memungkinkan untuk bekerja sama. Di era integrasi ilmu, maka kehebatan seseorang tidak hanya diukur dari kemampuannya secara individual dalam menulis sebuah karya, akan tetapi justru bisa dinilai dari karya yang bercorak kolaboratif, apalagi jika ilmu yang ditulisnya itu memang “mengharuskan” upaya untuk sinergi dan kolaborasi.
Dari riset kolaboratif yang dilakukan maka akan menghasilkan tiga publikasi, yaitu buku, artikel dan bahkan modul pengabdian masyarakat. Jika buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka juga akan menghasilkan karya tersendiri, jika kemudian diberi kata pengantar oleh ahli atas buku tersebut, maka juga akan menghasilkan karya lain, dan jika tulisan tersebut kemudian diekstrak dalam artikel lain dan diedit bersama artikel-artikel lain atau book chapter, juga akan menghasilkan karya lain lagi. Maka marilah kita melakukan kerja sama untuk menulis. Selamat datang sinergi dan selamat datang kolaborasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.