(Sumber : Dokumentasi Penulis )

Memperkuat Prodi Ilmu Keislaman di Masa Depan

Opini

Setiap Rektor PTKIN yang masih berstatus IAIN atau STAIN memastikan diri berkeinginan untuk melakukan transformasi kelembagaan ke UIN. Jika sudah menjadi UIN maka kurang afdhal jika tidak memiliki Fakultas  Kedokteran. Program studinya di bidang ilmu umum makin banyak dan mahasiswanya juga semakin berkembang. Keberadaan program studi umum memang dapat mendongkrak jumlah mahasiswa pada PTKIN. 

  

Pernyataan ini saya sampaikan di dalam acara yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN Sayid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung, 04/07/2024, di Hotel Azana Style Hotel Tulungagung. Hadir dalam acara ini Direktur Program PPs UIN SATU, Prof. Dr. Akhya’, MAg, Asisten Direktur dan Ketua Prodi, para Profesor dan juga staf tenaga kependidikan pada PPs, dan Prof. Dr. Abdul Mustaqim, Direktur PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, selaku narasumber. Saya mengapresiasi atas beberapa IAIN yang dalam waktu cepat bisa berubah menjadi UIN, UIN SATU merupakan salah satu contoh. 

  

Institusi pertama yang mengembangkan Islamic Studies dengan caranya sendiri adalah pesantren. Pesantren merupakan garda depan pengembangan ilmu keislaman sebelum lahir PTKI pada tahun 1960.  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hadir tahun 1960 dan IAIN Jakarta tahun 1963. Dari dua IAIN ini kemudian lahirlah berbagai institusi pendidikan Islam formal di seluruh Indonesia. Melalui Institusi pendidikan Islam formal ini,  negara terlibat di dalamnya. Sementara pesantren tetap menjadi institusi publik yang bercorak private. Pesantren kemudian juga bergerak dari pendidikan khas keislaman menjadi lembaga pendidikan umum berciri khas keagamaan.

  

Kita mengenal ada tiga corak pengembangan Islamic Studies, Kajian atas Teks Suci terkait dengan ilmu hadits dengan menggunakan metodologi yang relevan, misalnya metode tekstual dan kontekstual. Di dalam memahami teksnya maka dapat dilakukan dengan menentukan hadis yang akan dikaji, mentakhrij hadis, melakukan kritik hadis, jarh wa ta’dil dan sebagainya. Secara kontekstual adalah memahami hadis yang berada dalam  konteks. Yaitu hadis yang hidup di dalam kehidupan individu dan masyarakat, misalnya  Hadis sedekah yang hidup di dalam masyarakat. Kajian hadis bisa berada  dalam kajian yang bercorak monodisipliner, jika  mengkaji ilmu hadis dari teori dan metodologi kajian hadis.

  

Sama halnya dengan kajian ilmu tafsir bisa  bercorak monodisipliner  jika mengkaji tafsir Alqur’an dengan teori dan metodologi  tasir. Kajian ini dapat diberlakukan atas penafsiran para ulama  ahli Alqur’an. Misalnya penafsiran Alqur’an sebagaimana karya Prof.  Hamka dalam tafsir Al Azhar atau tafsir Al Misbah karya Prof. Quraisy Syihab. Bisa dikaji secara tematik atau  maudhui. Kajian atas penafsiran para ulama tentang hadis Nabi, maka yang  dikaji adalah penafsiran atas hadis, misalnya kajian atas Kitab Bulughul Maram karya Imam Nawawi. Bisa memanfaatkan metodologi tekstual atau kontekstual. Tentu dengan subyek kajian yang sesuai dengan metodologi yang digunakan.

  

Jika yang dikaji adalah dunia konteks Alqur’an atau Hadis, maka dapat menggunakan metodologi sesuai dengan kajian ilmu sosial pada umumnya. Bisa menggunakan metode penelitian kualitatif atau  kuantitatif atau bisa juga mixed methods. Penelitian tafsir yang dilakukan oleh Abdul Jalal (Prof. Dr. Alm), IAIN Sunan Ampel, tentang Tafsir Al Azhar dan Tafsir Al Manar menggunakan Exploratory Mixed Method Design. Kajian kontekstual atas Alqur’an atau Hadis akan melahirkan sejumlah ilmu baru yang menantang. Misalnya Antropologi Alqur’an, Sosiologi Teks Alqur’an, Hermeneutika Teks Alqur’an, Semiotika teks Alqur’an dan sebagainya.

  

Kita memiliki empat  rumpun ilmu yang menjadi ukuran mengenai komposisi keilmuannya, yaitu: rumpun ilmu agama, rumpun ilmu humaniora, rumpun ilmu sosial dan rumpun sains dan teknologi. Dari rumpun ilmu agama, maka dapat digambarkan tentang pure Islamic studies, applied Islamic studies dan integrative Islamic studies. Mari kita petakan tentang Islamic studies murni, Islamic studies terapan dan Islamic studies integratif.

  

PMA No. 36 tahun 2009 yaitu: bidang ilmu agama dengan cabang ilmu usuluddin dan program studi ilmu Alqur’an dan tafsir, ilmu hadis, ilmu aqidah, Ilmu akhlak dan tasawuf, Perbandingan agama dan filsafat agama. Cabang Ilmu Syariah dengan program studi hukum keluarga (akhwal al syakhsiyah), hukum pidana Islam (jinayah), hukum tatanegara (siyasah), perbandingan madzab, hukum ekonomi syariah, zakat dan wakaf, dan ilmu falaq. Cabang Ilmu Adab dengan prodi sejarah dan kebudayaan Islam serta bahasa dan sastra Arab. Cabang ilmu dakwah dengan prodi manajemen dakwah, pengembangan masyarakat Islam, bimbingan dan konseling Islam dan komunikasi dan penyiaran Islam. Cabang Ilmu Tarbiyah dengan prodi: pendidikan agama Islam, pendidikan bahasa arab, manajemen pendidikan Islam, pendidikan guru madrasah ibtidaiyah, pendidikan guru raudlatul athfal. 


Baca Juga : Najeela Shihab Ungkap Strategi Move One Dari Mantan

  

Cabang Ilmu Ekonomi dengan prodi: managemen, manajemen perusahaan, manajemen keuangan, akuntansi, ilmu ekonomi, studi pembangunan, ekonomi syariah, perbankan syariah dan asuransi syariah. Cabang Ilmu Komunikasi dengan prodi ilmu komunikasi, jurnalistik dan ilmu komunikasi jurnalistik. Cabang Ilmu Sosiologi dengan prodi sosiologi, sosiologi agama dan kesejahteraan sosial. Cabang ilmu politik dengan prodi ilmu politik, administrasi negara dan  hubungan internasional. Lalu terdapat cabang sains: cabang ilmu matematika, cabang Ilmu Kimia, cabang ilmu farmasi, cabang ilmu kedokteran, cabang ilmu pertanian, cabang ilmu peternakan, cabang ilmu teknik, cabang ilmu arsitektur dan cabang ilmu Perencanaan Tata Kota.  

  

PMPK No. 154  Tahun  2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi. Rumpun humaniora, yang terdiri dari cabang Seni (seni, kajian film, fotografi, film dan televisi, seni pertunjukan, seni pedalangan, musik etnomusikologi, seni kedaerahan, tari, seni rupa dan sebagainya). Cabang Bahasa (Mandarin, Belanda, Inggris, Prancis, Bahasa Indonesia dan sebagainya). Cabang Sastra (sastra Arab, Inggris, Cina, Belanda, sastra kedaerahan dan seterusnya). Cabang Filsafat (filsafat Keilahian, Filsafat Hindu dan sebagainya). Cabang Antropologi (antropologi budaya, antropologi sosial, Antropologi, Kajian Amerika, Timur Tengah, Jepang,  Kajian Eropa dan sebagainya). 

  

Cabang ilmu ekonomi (ekonomi syariah, ekonomi pembangunan, ekonomi sumber daya, ekonomi terapan. Cabang gender (kajian gender, kajian perempuan). Cabang Geografi, Cabang ilmu Politik, Cabang Psikhologi, Cabang Sosiologi, Cabang Kriminologi, Cabang Ilmu Kimia, Cabang ilmu lingkungan, Cabang Ilmu kelautan, cabang ilmu biologi, Cabang fisika, Cabang imu Komputer, Cabang Matematika, Cabang Statistika, Cabang Ilmu pertanian, Cabang ilmu perikanan, Cabang Arsitektur, Cabang akuntansi,  Cabang ilmu manajemen, cabang ilmu administrasi, Cabang Ilmu Pendidikan, dan sebagainya. 

  

Hingga hari ini, masih terdapat dualitas pembagian ilmu, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Kewenangan ilmu umum terdapat di Kemendikbudristek, sedangkan kewenangan ilmu agama berada di bawah kemenag. Kekhasan pendidikan tinggi di Indonesia adalah terdapat sebanyak 17 Kementerian/lembaga yang mengelola pendidikan. Yang terbesar adalah Kemenag dan Kemendikbudristek. Kemenag melalui  mandat Presiden, maka tidak hanya mengelola ilmu agama tetapi juga ilmu umum. UIN dapat mengembangan ilmu keislaman dan ilmu lain yang mendukung pengembangan ilmu keislaman. Disebut sebagai program pengembangan ilmu integratif. 

  

Berdasarkan regulasi, PMA No. 36 tahun 2009 dan PMPK No. 154 tahun 2014, maka kewenangan pengembangan ilmu pengetahuan diserahkan kepada instansi yang menaungi pendidikan tinggi dimaksud. Konsekuensinya PTN yang terdapat ilmu keagamaan seperti prodi sastra Arab, pendidikan Bahasa Arab, sosiologi agama, antropologi agama, studi kawasan Timur Tengah, ekonomi syariah, perbankan syariah dan akuntansi syariah dapat disahkan oleh Rektor PTN. Lalu, prodi kelautan, kesehatan masyarakat, ilmu kedokteran, sains dan teknologi di bawah PTKIN juga dapat diabsahkan oleh rektor PTKIN. 

  

Namun demikian, ada semacam kegalauan, bahwa Rektor PTKIN di bawah Menteri Agama bisa mengabsahkan lulusan prodi Kedokteran, prodi  kesehatan masyarakat dan prodi  sains dan teknologi. Sementara itu, rektor PTN juga dapat mengesahkan prodi ilmu keagamaan, seperti pendidikan agama Islam,  filsafat keilahian, prodi ekonomi syariah dan sebagainya, sehingga terdapat dualitas di dalam pengelolaan pendidikan tinggi. 

  

Posisi ilmu umum dan ilmu keislaman sudah jelas sebagaimana tertuang di dalam PMA No. 36 Tahun 2009 maupun PMPK No. 154 Tahun 2014. Yang tersisa adalah prosentase antara ilmu umum dan ilmu agama. Kemendikbudristek menghendaki proporsinya 60:40 persen. Di  UIN, jumlah ilmu umum sebesar 40 persen dan ilmu agama 60 persen.  Jika jumlah prodi umumnya sudah mencapai di atas angka 40 persen, maka sudah berada di dalam kewenangan tata kelola Kemendikbudristek. 

  

Yang juga menarik untuk dibahas adalah  tiga corak dimensi ontologis dan epistemologis untuk integrasi kurikulum, yaitu pendekatan otoritas, pendekatan dialogis dan pendekatan integratif. Pendekatan otoritas merupakan penempatan posisi kurikulum yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu umum dan ilmu agama. Saya menyebut sebagai kurikulum parsial. Pendekatan dialogis merupakan corak mendialogkan antara ilmu umum dan ilmu agama, dalam bentuk memberikan justifikasi tentang kebenaran ilmu umum berdasar atas teks suci. Bisa disebut sebagai ayatisasi ilmu pengetahuan. Pendekatan integratif merupakan upaya untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama berbasis pada epistemologi yang tepat dengan menjadikan problem akademik ilmu agama lalu didekati dengan ilmu umum yang relevan. Kurikulum seperti ini disebut sebagai integrated curriculum. Mungkinkah dilakukan pola dialog-integratif?

  

Sebagai solusi, maka diperlukan untuk mengembangkan potensi ilmu keislaman yang potensial bagi PTKIN, baik dari sisi peluang mahasiswa, peluang kerja dan potensi pengembangan di masa depan. Lalu, memetakan perbandingan posisi ilmu keislaman dan ilmu umum pada PTKIN dalam rangka mempertahankan prinsip otoritas Kemenag dalam pengelolaan Ilmu Keislaman integratif. Secara institusional, Direktorat Pendidikan Islam perlu melakukan inovasi terkait dengan potensi ilmu keislaman integratif yang memiliki peluang berkembang di masa depan untuk memperluas cakupan input mahasiswa dengan memberikan peluang untuk pembelajaran campuran atau blended learning, bukan distance learning. Juga memberikan peluang pengembangan prodi keagamaan melalui program pembelajaran yang fleksibel dengan menihilkan jarak yang selama ini mengikat. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.