(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Mencermati Launching ADP: Menyikapi Relasi Pemerintah dan Masyarakat (Bagian Lima)

Opini

Akhir-akhir ini ada banyak sekali ragam sikap masyarakat terkait dengan relasi antara pemerintah dan masyarakat. Dan sebagaimana lazimnya tentu ada yang pro dan kontra. Ada yang mendukung pemerintah dan ada yang menolak apa pun yang datang dari pemerintah. Semuanya memiliki dalil dan logika yang dianggap dan diyakini sebagai kebenaran, sehingga bisa juga memengaruhi terhadap masyarakat yang bertepatan mengikuti perkembangan pembicaraan dalam diskusi publik yang sedang menghangat.

  

Saya akan memulai dari yang bersikap kritis “berlebihan” terhadap apa saja yang dilakukan pemerintah. Misalnya tentang rencana menambah masa jabatan presiden  dengan upaya melakukan lobi politik dengan  mengubah Undang-Undang Dasar. Termasuk juga kebijakan vaksin yang dianggapnya tidak relevan dengan tujuan mengurangi tingkat keterpaparan Covid-19, lalu tentang isu-isu masuknya pekerja China ke Indonesia yang dinilainya sebagai upaya untuk penguasaan atas Indonesia di masa depan, dan juga perbandingan hukuman Habib Rizieq dengan para pelanggar undang-undang lainnya. Lalu dukungan kepada Taliban yang dianggap sebagai kemenangan pribumi atas penjajahan Amerika Serikat dan perpindahan ibu kota negara sebagai proyek China, serta   yang baru saja mencuat adalah mengenai kerumunan karena memperebutkan bantuan presiden. 

  

Di sisi lain adalah kelompok yang membela secara mati-matian atas semua kebijakan pemerintah.   Di antara yang membela memang kebanyakan merupakan orang dalam pemerintahan.  Misalnya unggahan tentang keberhasilan PPKM dalam menanggulangi penyebaran Covid-19, keberhasilan program vaksinasi dengan berbagai penjelasannya, keberhasilan pemberian insentif bagi masyarakat miskin dan terutama yang diakibatkan oleh wabah Covid-19, recovery ekonomi yang relatif lebih cepat dibandingkan negara tetangga, dan keberhasilan sosialisasi protokol kesehatan dan kemampuan menekan angka kematian akibat Covid-19 dan juga meningkatnya jumlah pasien Covid-19 yang sembuh.

  

Pro-kontra ini juga melibatkan para profesor, praktisi hukum, politisi, aktivis organisasi keagamaan dan juga para politisi. Jika dicermati, maka kelompok yang kritis terhadap pemerintah ini terdiri dari berbagai komponen masyarakat yang selama ini “kecewa” terhadap pemerintah. Ada kaum akademis, politisi, tokoh agama, dan juga tokoh-tokoh organisasi yang bahkan sudah dilarang oleh pemerintah. Kelompok ini bertali temali dengan aktivitas politik yang di masa lalu menjadi rival Jokowi dan juga mereka yang berada di balik layar gerakan radikal, seperti HTI, FPI dan juga yang selama ini selalu melihat cacat kebijakan Jokowi. Sementara itu, para pendukung Jokowi adalah kelompok yang berada di dalam lingkaran kekuasaan dan para aktivis organisasi sosial dan politik yang memang selama ini menjadi pendukung Jokowi.

  

Sementara itu, kelompok akademisi NU, PMII dan eksponen organisasi lain di bawah NU  juga bersikap mengayuh di antara dua kelompok ini. Ada terkadang tekanannya lebih ke Jokowi dan jarang yang kita lihat berseberangan dengan pemerintah. Sikap seperti ini bisa dipahami, sebab di dalam pemerintahan terdapat Wakil Presiden, Kiai Ma’ruf Amin, yang selama ini  menjadi tokoh NU dengan segala identitasnya. Keberadaan Kiai Ma’ruf Amin tentu menjadi semacam pengikat di antara politisi NU, akademisi NU dan juga kaum intelektual NU. Meskipun tidak selalu sama dan sebangun. Artinya juga ada beberapa tokoh NU yang mencoba untuk mengambil jarak dengan pemerintah. 

  

Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP) tentu menjadi bagian secara kultural dan struktural NU sehingga posisinya menjadi rumit. Di satu sisi dituntut untuk tetap kritis sebagai konsekuensi kebebasan akademis yang disandangnya, di satu sisi juga dituntut untuk terlibat dengan kebijakan pemerintah yang memang relevan dengan kepentingan masyarakat. 

  

Oleh karena itu, para dosen PMII tetaplah harus berada di dalam jalur kemitraan strategis dan bukan kemitraan praksis dengan pemerintah. Di dalam kemitraan strategis diandaikan bahwa masih terdapat sikap kritis atas kebijakan pemerintah yang dirasakan kurang atau tidak memihak kepada rakyat, misalnya mengenai tenaga kerja asing, upaya untuk mengubah Undang-Undang Dasar menuju ke arah kepentingan sekelompok orang, adanya upaya untuk mengaburkan Pancasila dengan manuver politik yang bertujuan untuk membelokkannya dalam satu lakon tertentu atau juga kebijakan yang dirasakan akan membonsai terhadap penguatan civil society. Di dalam konteks menjaga marwah bangsa, dosen PMII tentu tetap menyuarakan pesannya kepada pemerintah dan juga kepada siapa saja yang bertujuan untuk mengubah Indonesia  dengan ideologi lain atau politik lain. Jika terdapat kecenderungan seperti di atas, maka dosen PMII tentu harus menyuarakan pandangannya sesuai dengan posisi kemitraan strategis. Jika dosen PMII tidak bersuara justru akan merugikan bangsa secara umum.

  

Namun demikian, jika kebijakan pemerintah itu berada di dalam jalur yang benar berdasarkan tujuan untuk perbaikan kehidupan masyarakat atau meningkatkan kesejahteraan rakyat, atau memperkuat civil society, maka tidak salah jika para dosen PMII juga terlibat secara kemitraan strategis. Membela pemerintah dalam konteks seperti ini tentu merupakan keharusan. Melalui kemitraan strategis, maka dosen PMII tidak boleh melihat semua kebijakan pemerintah salah, dan juga tidak boleh menganggap semua kebijakan pemerintah tepat. 

  

Makanya, sikap kritis dalam nuansa independensi untuk menjadi mitra strategis kiranya sangat dibutuhkan dalam kerangka menjaga Indonesia agar tetap menjadi Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan oleh founding fathers negeri ini. Indonesia yang masyarakatnya cerdas, kehidupannya sejahtera, memperoleh perlindungan negara dan dapat menjaga perdamaian abadi.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.