(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Mencermati Launching ADP: Tetaplah Speak Up Islam Wasathiyah (Bagian Empat)

Opini

Di WAG yang saya terlibat di dalamnya terdapat gugatan bahwa “Kelompok minoritas Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dibiarkan untuk melakukan tindakan ekstrim, sementara itu yang mayoritas diminta untuk moderat”. Kelompok PSI ini yang akhir-akhir ini sering mengritik Anies Baswedan, Gubernur DKI, terkait dengan pembangunan di Jakarta. Jumlah mereka memang tidak banyak tetapi mereka terus melakukan manuver dengan kritik-kritiknya yang tajam terkait dengan kepemimpinan Gubernur DKI, Anies Baswedan.

  

Secara sengaja saya memang menjadikan ungkapan  ini sebagai angle untuk menuliskan tentang bagaimana seharusnya posisi Dosen PMII di tengah gejolak munculnya berbagai ideologi yang berebut otoritas dan pengaruh dan juga semakin menyeruaknya sikap-sikap anti moderasi beragama yang juga terus dihembuskan melalui media sosial, di antaranya dengan cara mengunggah konten-konten yang menyebarkan kebencian, menggugat tradisi yang tidak sesuai dengan tafsir agamanya dan juga berbagai unjuk rasa yang terus dilakukan untuk mengritisi perilaku keberagamaan kaum wasathiyah.

  

Pertarungan untuk memperebutkan wilayah, otoritas, SDM, dan penguasa agama tentu tidak akan pernah berhenti. Sejak dahulu kala medan seperti ini terus menjadi arena pertarungan yang melibatkan banyak pihak. Di dalam sejarah Islam, pertarungan antara penganut sunni dan syiah juga terus berlangsung. Sampai sekarang juga tidak pernah surut. Meskipun tensinya fluktuatif, tetapi sebenarnya tetap berada di dalam ruang antagonis. Saling mengintip dan selidik.

  

Pertarungan melalui media sosial juga keras. Antara yang menyerang dan bertahan. Yang berlaku sebagai attacker adalah kalangan Salafi Wahabi, Salafi Jihadi dan Salafi Takfiri. Jika Salafi Jihadi melakukannya secara tersembunyi dan dalam sekali waktu melakukan attacking terhadap kepentingan pemerintah, Salafi Takfiri dengan ungkapan-ungkapan mengafirkan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengan tafsir agamanya, maka Salafi Wahabi menyerang dengan ungkapan melalui media sosial tentang amalan-amalan agama yang dianggapnya mengandung aspek takhayul, bidh’ah dan khurafat. Media sosial menjadi ajang yang sangat efektif dan efisien untuk melakukan serangan demi serangan tentang paham agamanya. Sementara itu bagi kelompok defender, maka juga melakukan upaya secara optimal melalui media sosial untuk mempertahankan otoritas tafsir agamanya, meskipun kelihatan sporadis. Artinya, melakukan unggahan sanggahan saja. Andaikan permainan sepakbola, maka penguasaan bola itu 60 persen oleh kelompok attacker dan 40% untuk kelompok defender.

  

Mengamati terhadap pertarungan melalui media sosial yang “sudah dikuasai” oleh mereka tersebut, maka sebaiknya para dosen PMII yang tergabung di dalam Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP) harus melakukan upaya tidak sekedar bertahan tetapi juga bukan menyerang tetapi memberikan penjelasan kepada umatnya agar tidak terprovokasi dengan unggahan-unggahan yang bisa memanaskan situasi sebagaimana akhir-akhir ini. Para dosen yang well educated ini harus melakukan gerakan untuk moderasi agama. Kita tidak bisa diam seribu bahasa, sebagaimana karakter mayoritas. Secara sosiologis, bahwa kelompok mayoritas disebut sebagai “silent majority”. 

  

Dosen PMII baik yang senior maupun yunior, harus memasuki area media sosial. Harus menjadikan media sosial sebagai area untuk berdakwah dalam coraknya yang wasathiyah. Harus semakin banyak yang speak up untuk menyuarakan moderasi beragama. Islam itu indah, Islam itu rahmat bagi semua, Islam itu menyejukkan, Islam itu penuh dengan kedamaian, dan Islam itu membangun peradaban dunia. Islam bukan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban umat manusia. Islam itu merangkul bukan memukul.

  

Ada banyak hal yang bisa dijadikan sebagai speed writing, meme, infografis, kontens instragram, Whatsapp, twitter, dan sebagainya. Betapa banyak kata-kata bijak dari teks al-Qur\'an dan sunnah, betapa banyak ungkapan para ulama yang bisa dijadikan sebagai konten Youtube, pernyataan para tokoh masa lalu yang bisa mengisi ruang-ruang media sosial, dan sebagainya. Dosen PMII yang alumni pondok pesantren bisa mengembangkan konten media sosial berbasis kearifan sosial pesantren, kearifan para kiainya, kearifan para tokohnya dan ungkapan-ungkapan bijak dari teks-teks kitab klasik karya para ulama.

  

Para dosen PMII harus memasuki ruang media sosial. Misalnya membuat vlog, blog, podcast, memasuki konten IG, Twitter, dan lainnya dengan unggahan yang terkait dengan gerakan moderasi beragama. Seandainya para dosen PMII yang jumlahnya cukup  banyak, misalnya 100.000 orang dosen (sayang saya tidak memiliki data tentang jumlah dosen PMII), maka bisa dibayangkan bahwa akan terdapat 100.000 x 6 unggahan (vlog, blog, web, IG, twitter) dalam satu pekan, maka dalam sebulan akan didapatkan 100.000 x 6 x 4 = 2.400.000 unggahan baik di kanal youtube, web, dan media sosial lainnya. Jika semua unggahan tersebut bersearah dengan gerakan moderasi beragama, maka kita akan bisa melihat besaran konten tentang moderasi beragama dimaksud.

  

Para dosen PMII tidak boleh lengah menghadapi attacking dari kelompok anti moderasi beragama, sebab meskipun jumlahnya tidak sebanding tetapi mereka didukung oleh generasi muda dengan talenta hebat di bidang teknologi informasi. Itulah sebabnya mereka tampak digdaya di media sosial sebab mereka terus bermanuver dengan berbagai unggahan di media sosial. Melalui ADP sungguh para senior PMII berharap bahwa kita semua harus menegakkan dan menggelorakan semangat moderasi beragama untuk Indonesia hebat.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.