(Sumber : Nur Syam Centre)

Menggelorakan Moderasi Beragama untuk Indonesia yang Lebih Baik

Opini

Sebagai bangsa besar, tentu saja Indonesia memiliki sejumlah tantangan khususnya relasi antara agama dan masyarakat yang multikultural. Secara teoretik dinyatakan bahwa tidak ada ruang kosong budaya dan ketika suatu agama masuk ke dalam masyarakat itu tentu sudah terdapat sejumlah tradisi dan bahkan budaya yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, ada banyak hal yang kemudian harus bersesuaian. Bisa saja agama beradaptasi dengan budaya lokal dan ada kalanya budaya lokal beradaptasi dengan agama yang datang.

  

Inilah keunikan relasi antara agama dan masyarakat di dunia ini. Artinya, bahwa setiap agama baru yang datang di dalam suatu wilayah kebudayaan, pasti akan mengalami hal ini. Ditolak atau diterima. Namun demikian di dalam sejarah agama-agama,  kebanyakan  yang terjadi adalah adanya proses adaptasi di antara keduanya. Termasuk agama-agama di Indonesia. Agama besar yang hadir di Indonesia adalah agama yang datang dari wilayah lain, misalnya Hindu dan Budha datang dari India, Islam datang dari Timur Tengah dan Katolik atau Kristen datang dari Eropa Barat. Namun demikian, proses adaptasi itu terjadi sedemikian rupa sehingga nyaris tidak terjadi kekerasan yang mengakibatkan masalah-masalah sosial yang krusial.

  

Agama Hindu dan Buddha yang datang tentu dibawa oleh para Pinandita yang sangat memahami agamanya dan juga akhirnya memahami tradisi atau kebudayaan setempat. Lalu dengan kemampuannya dapat menyebarkan agama itu ke dalam masyarakat. Kala Islam datang ke Nusantara, juga mengalami hal yang sama. Islam disebarkan oleh para pedagang atau ahli tasawuf yang sengaja menjadi pendakwah, dan dengan kemampuan berbaur dengan masyarakat lokal akhirnya Islam dapat diterima dan menjadi agama mayoritas. Kemudian Katolik dan Kristen juga mengalami hal yang sama. Agama ini dibawa oleh kaum missionaris yang memang sengaja menyebarkan agama ini ke Nusantara, sehingga akhirnya juga banyak orang Indonesia yang memeluk agama ini.

  

Sungguh merupakan rahmat Tuhan yang Maha Esa, Allah swt, bahwa meskipun di negeri ini banyak sekali agama itu, baik yang diakui sebagai agama berdasar atas regulasi negara, juga terdapat banyak agama lokal yang memang telah tumbuh dan berkembang semenjak lama. Agama-agama lokal ini tentu saja memiliki hak untuk hidup di negeri yang masyarakatnya plural dan multikultural. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu nyaris bisa hidup rukun tanpa gangguan berarti dalam kehidupan bersama. Hal ini lalu dikonsepsikan sebagai kerukunan antar umat beragama.

  

Catatan penting lainnya adalah mayoritas penganut agama ini ternyata bisa hidup rukun, harmoni dan selamat. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka ternyata suasana damai lebih banyak mewarnai kehidupan antar pemeluk agama ketimbang masa konflik di dalamnya. Jika ada konflik pun kemudian bisa dilokalisir sehingga tidak menjadi konflik komunal atau bahkan konflik sosial. Tentu saja ada riak-riak kecil yang menandai dinamika kehidupan beragama di Indonesia, namun tentu tidak mempengaruhi relasi antar umat beragama secara umum. 

  

Dewasa ini kita memasuki era teknologi informasi, dengan salah satu anaknya adalah media sosial. Melalui media sosial terjadi hiruk pikuk informasi yang luar biasa. Bahkan ada banyak orang yang menyatakan: “everyone want to be a journalist”. Inilah kekuatan media sosial yang luar biasa di tengah dinamika kehidupan masyarakat di dalam  dinamika perubahan sosial cepat sebagai akibat teknologi informasi. Bisa  dilihat ada beberapa kasus yang terjadi karena pemberitaan yang menyebabkannya. Misalnya kasus relasi umat Islam dan Buddha di Sumatera Utara, dan juga pembelaan terhadap seorang Habib di Pasuruan dan sebagainya. Bahkan di media sosial juga terjadi berbagai ancaman dan kekerasan simbolik yang menandai kehadiran media sosial di tengah masyarakat.

  

Hal yang sungguh mengkhawatirkan adalah relasi intern umat beragama, misalnya di dalam Islam. Melalui media sosial sesungguhnya sedang terjadi “pertarungan” yang bisa menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Di media sosial, misalnya ada seorang yang mengaku sebagai ustadz lalu mengunggah pernyataan bahwa: “mencium mushaf Al-Qur’an itu bid’ah karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ungkapan ini digunakan untuk “menyerang” terhadap tradisi sebagian umat Islam di Indonesia yang sesudah membaca Al-Qur’an lalu menciumnya. Serta, dipastikan ungkapan seperti ini akan mempengaruhi sejumlah umat. Lalu, seorang Kiai yang merasa umatnya dituding dengan ungkapan itu menjawabnya dengan  sangat strategis, bahwa; “Nabi Muhammad saw tidak mencontohkan seperti itu karena memang waktu itu mushaf Al-Qur’an yang dicetak seperti sekarang belum ada”. Al-Qur’an baru dibukukan sebanyak enam buah pada zaman Khalifah Utsman bin Afwan. Al-Qur’an menjadi mushaf yang seperti sekarang pasca  ditemukan mesin cetak Al-Qur’an. Mencium AlQ-ur’an merupakan lambang penghormatan, dan jangan dihukumi sebagai haram karena tidak dicontohkan Nabi Muhammad SAW.”

  

Tentu sangat banyak “pertarungan” yang terjadi di media sosial akhir-akhir ini. Maka yang dibutuhkan adalah literasi media, supaya masyarakat tidak mudah terjebak pada pertarungan yang tidak produktif dan bisa mengakibatkan rusaknya kesatuan dan persatuan bangsa. Bangsa Indonesia yang besar ini jangan sampai terkoyak dengan keinginan-keinginan untuk menyatakan hanya “kebenarannya” sendiri yang harus ada dan yang lain harus dinihilkan. Hal inilah bahaya terbesar yang harus dipikirkan oleh segenap komponen bangsa  di tengah keinginan menyongsong Indonesia Emas, 2045, yang menjadikan Indonesia lebih baik dibandingkan dengan hari ini.

  

Di sinilah makna “menggelorakan Moderasi Beragama Melalui Media Sosial untuk Indonesia yang Lebih Baik”. Semua komponen bangsa ini,  apapun agamanya, apapun suku bangsanya, apapun etnisnya dan apapun daerahnya harus bergerak sinergis untuk menyongsong Indonesia di masa depan yang lebih baik. Negeri ini bukan warisan dari generasi sebelumnya, tetapi titipan dari generasi yang akan  datang terhadap generasi yang sekarang.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.