Menghargai Kalender Islam Jawa
OpiniAda satu konsep yang penting untuk dipahami, yaitu tradisi Islam Jawa. Tradisi Islam Jawa memiliki dua pola, yaitu tradisi yang diciptakan oleh orang Jawa tetapi dibingkai oleh nilai ajaran Islam, dan tradisi yang berasal dari ajaran Islam yang dibingkai oleh tradisi Jawa atau tradisi Islam yang dilakukan dalam konteks Kejawaan. Dengan demikian, maka akan dapat dipahami apakah tradisi tersebut memang berasal dari tradisi Islam atau berasal dari tradisi Jawa.
Hal ini saya sampaikan pada jamaah Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada Masjid Al Ihsan, pada 16 Juli 2024. Acara mengaji ini merupakan pengajian rutinan yang selalu dilakukan ba’da shubuh setiap hari Selasa. Pada kesempatan ini, saya menyampaikan materi tentang menghargai tradisi Islam seperti ajaran Islam tentang penghormatan pada bulan Muharram, yang bagi orang Jawa disebut sebagai bulan Suro. Ada tiga hal yang saya sampaikan terkait dengan ceramah ini, yaitu:
Pertama, penanggalan Jawa merupakan penanggalan kreasi Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma. Kalender Jawa merupakan kalender khas Jawa yang diinspirasikan oleh kalender Islam. Selama itu, kerajaan dan masyarakat menggunakan kalender Saka yang berasal dari India dengan system solar dan kemudian atas insiatif Kanjeng Sultan Agung kemudian direka ulang menjadi Kalender Jawa dengan system lunar sebagaimana Kalender Islam. Tentu saja dengan perhitungan dan nama-nama bulan dan hari yang sedikit berbeda. Kalender ini menggunakan system perhitungan tahun dimulai dengan Alih, Eha, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakhir sebagai siklus delapan tahunan. Sedangkan hari mengikuti tradisi Islam dengan sepekan tujuh hari, yaitu Ngahat, Senin, Selasa, Rebo, Kemis, Jemuah dan Setu. Ngahat adalah perubahan dari hari Ahad, sedangkan hari Jemuah adalah perubahan dari hari Jum’at. Nama-nama bulan ada yang sama dan ada yang berbeda. Selaian itu juga dikenal nama pasaran dari hari-hari yang sudah ada, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Dikenal misalnya hari Jemuah Legi, Setu Kliwon dan seterusnya.
Di dalam tradisi Kalender Islam disebut dengan Muharram, Safar, Mulud, Ba’da Mulud, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Sedangkan di dalam tradisi Kelender Jawa disebutkan dengan Suro, Sapar, Mulud, Ba’da Mulud, Jemawal, Jemakhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo dan Besar. Kalender Jawa dibuat oleh Kanjeng Sultan Agung pada tahun 1633 M atau 1555 Saka. Kalender Jawa dimulai dengan tahun 1555 Saka. Kalender Jawa inilah yang dipakai oleh penganut ajaran leluhur Jawa, misalnya kaum agama Kapitayan dan agama-agama dunia lainnya.
Sebagian masyarakat Jawa lebih hafal nama-nama bulan dalam tradisi kalender Jawa dibandingkan dengan nama-nama bulan dalam kalender Islam. Hal ini semata-mata karena pengalaman sehari-hari saja bukan karena ketidakpahaman tentang ajaran Islam. Bahkan saya juga lebih banyak menggunakan nama-nama bulan dalam kalender Jawa. Hal ini semata-mata karena pergaulan dengan masyarakat pedesaan Jawa di masa lalu. Penyebutan hari dengan Minggu untuk menyebut hari Ahad baru terjadi akhir-akhir ini. Tetapi kalender yang dicetak oleh Percetakan Al Ma’arif Kudus, masih tetap menggunakan kata Ahad untuk menyebut hari-hari dalam sepekan. Kata sepekan di masa lalu digunakan untuk menyebut bilangan dalam tujuh hari. Sekarang banyak yang menggunakan kata seminggu. Tetapi untuk hari Sabtu sering dinyatakan sebagai akhir pekan, bukan akhir minggu.
Kedua, nama bulan dapat dikaitkan dengan tanggal peristiwa terjadinya beberapa peristiwa di dalam konsepsi Islam. Di dalam kelender Islam Jawa disebut sebagai Suro dan bukan Muharram. Kata Asyura menjadi Suro, sama dengan kata salamatan menjadi slametan, atau barakah menjadi berkat. Kata Asyura di dalam Bahasa Arab berasal dari kata ‘asyara atau ‘asyar yang berarti sepuluh. Jadi kata asyura terkait dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Muharram dan sekaligus juga ada sebanyak 10 peristiwa yang terjadi di dalam cerita keislaman.
Ada banyak peristiwa yang menggambarkan atas terjadinya peristiwa yang membahagiakan terutama yang dirasakan oleh Para Nabi dan Rasulullah. Peristiwa pengampunan Nabi Adam, Keselamatan Nabi Nuh dari banjir besar, keselamatan Nabi Ibrahim dari api Namrud, keselamatan Nabi Yunus dari perut ikan, Rezeki Nabi Isa yang berupa makanan dari langit, dan sebagainya. Semua menandakan kasih sayang Allah kepada hambanya, khususnya kepada Nabi dan rasulnya.
Ketiga, masyarakat Jawa mengambil makna Suro dengan peristiwa kelabu dalam sejarah Islam, yaitu terbunuhnya Sayyidina Hussain Cucu Baginda Nabi Muhammad SAW. Sayyidina Hussain dan 72 kerabat dan pengikutnya terbunuh di Padang Karbala pada tanggal 10 Muharram. Itulah sebabnya, masyarakat Jawa menjadikan bulan Suro sebagai bulan prihatin. Bulan yang penuh dengan upaya untuk memohon ampunan kepada Allah, dan memohon keselamatan kepada Allah SWT. Pada bulan Suro, maka orang Jawa melakukan berbagai ritual yang khusus, misalnya puasa khas Jawa, seperti puasa mutih, puasa ngrowot, puasa pendem dan sebagainya. Bulan Suro dianggap sebagai bulan untuk melatih kejiwaan dan spiritualitas yang agung. Puasa 40 hari dinisbahkan dengan masa Muhammad berada di Gua Hira’ untuk mendapatkan wahyu Allah SWT.
Bagi orang Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang kurang baik melakukan upacara pernikahan, upacara mendirikan rumah, pindah rumah, mencari pekerjaan dan juga hal-hal yang terkait dengan hajat kekeluargaan. Tetapi juga bulan Ruwah dan Selo. Sedangkan bulan baik untuk hajad adalah Sapar, Mulud, Ba’da Mulud, Rejeb, Poso, Sawal, dan Besar. Tradisi ini masih dipedomani oleh orang Jawa yang masih merasa menjadi “Jawa”.
Bulan Suro bagi orang Jawa adalah saat untuk berdoa kepada Allah. Misalnya dengan membaca doa sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, seperti Hasbunallah wa ni’mal wakil”, atau doa Nabi Yunus “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dhalimin” atau doa Nabi Adam: “Rabbana dhalamna anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna la nakunanna minal khasirin.
Sebagai umat Islam yang berada di Jawa tentu tidak ada salahnya kita menghormati kreasi kanjeng Sultan Agung, kreasi para waliyulah dan juga ulama-ulama yang telah memberikan pedoman di dalam kehidupan yang sedang kita lakukan. Jika kita menggunakan pedoman sebagaimana diajarkan oleh Rasul, Nabi, diteruskan para Wali dan para ulama insyaallah kita akan selamat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bi al shawab.