(Sumber : Facebook)

Menjadi Muslim Kaffah di Indonesia

Opini

Menjadi muslim artinya menjadi orang Islam atau orang yang menyerahkan diri kepada Allah SWT. Menjadi orang muslim artinya menjadi orang yang meyakini tentang arkanul iman dan kemudian menjalankan arkanul Islam. Menjadi muslim itu tidak terhenti di dalam meyakini tentang keberadaan Allah SWT dan meyakini kerasulan Nabi Muhammad SAW serta hal-hal yang diatribusikan kepada Allah dan Rasulullah, akan tetapi menjalankan seluruh ajaran Islam sesuai dengan kemampuannya. 

  

Di dalam konsep Islam sering disebutkan agar umat Islam menjadi orang Islam yang kaffah atau yang sempurna, yaitu dengan menjalani kehidupan sebagaimana contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Tidak hanya di dalam kehidupan social, ekonomi dan budaya tetapi juga politik. Kaffah itu memasuki totalitas ajaran Islam. Yaitu dengan menjadikan Islam sebagai pedoman tidak hanya peribadahan kepada Allah tetapi juga mengatur kehidupan social, ekonomi, budaya dan politik. Islam itu paket komplit terkait dengan peribadahan yang bermakna ukhrawi dan juga peribadahan terkait dengan keduniaan. 

  

Ada dua pendapat yang terkait dengan relasi Islam dan politik. Bagi kaum fundamentalis menyatakan bahwa Islam merupakan panduan yang komplit untuk mengatur negara. Islam tidak hanya mengatur secara total mengenai hubungan dengan Allah melalui rituak-ritualnya, akan tetapi juga mengatur tentang relasi antar manusia atau muamalah, ijtimaiyah, iqtishadiyah dan siyasiyah. Semuanya sudah diatur di dalam Islam. Islam merupakan agama yang lengkap. Dalam bidang ekonomi terdapat system yang jelas bagaimana perekonomian diatur di dalam Islam. Di dalam bidang kemasyarakatan, islam mengatur tentang bagaimana seharusnya relasi antar manusia yang sama atau berbeda keyakinan, etnis, dan suku bangsa. Dan Islam juga mengatur politik dengan tegas berdasar atas hukum Allah. Makanya, negara harus berdasar Islam atau negara Islam. Bahkan secara tegas dinyatakan: “la hukma illa lillah”. Melalui pemahaman seperti ini, maka Islam adalah agama dan ideologi sekaligus.

   

Bagi kaum moderat, Islam tidak mengatur secara teknis tentang relasi antara agama dan negara. Islam mengajarkan prinsip-prinsipnya saja. Misalnya prinsip musyawarah, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para sahabat Nabi di kala memilih Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali sebagai khalifah. Mereka dipilih berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang yang terpilih dan memiliki kontribusi yang besar di dalam proses Islamisasi kala itu. Mereka memiliki wewenang yang besar untuk memilih siapa yang layak menjadi khalifah. Hal itu dilakukan karena jumlah umat Islam belum seperti sekarang. Mereka adalah orang yang berada di lingkaran Nabi Muhammad atau para sahabat Nabi. 

  

Para moderatis menjadikan Islam bukan sebagai ideologi tetapi sebagai basis moralitas di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengatur negara tentu dibutuhkan pedoman moral yang diturunkan di dalam ajaran Islam. Untuk mengatur roda pemerintahan, maka dirumuskan regulasi yang sebagai substansial tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bisa saja regulasi tersebut tidak harus bernama Islam, akan tetapi secara substansial regulasi tersebut dapat dijadikan sebagai instrument untuk mengatur umat dari berbagai suku, etnis, agama  dan antar golongan. 

   

Indonesia memang bukan negara Islam. Indonesia merupakan negara yang menjadikan agama sebagai moralitas di dalam penyelenggaraan negara. Jika kita cermati perkembang regulasinya, maka pada era Orde Baru, maka didapatkan Undang-Undang perkawinan yang mengatur relasi di dalam perkawinan. Peran Islam sebagai moralitas bagi penyelenggaraan negara menjadi semakin kuat pada Orde reformasi. Pada era ini maka ada banyak regulasi yang secara tegas menyatakan peran agama di dalamnya. Misalnya UU Zakat, UU Haji dan Umrah, UU Keuangan Haji, UU Wakaf , UU Pendidikan Pesantren dan UU Jaminan Produk Halal. Undang-undang tersebut secara langsung terkait dengan bagaimana mengelola relasi agama, masyarakat dan negara. Sementara itu juga terdapat undang-undang yang secara tidak langsung terkait dengan moralitas agama sebagai pedomannya, misalnya UU Pendidikan Tinggi, UU ITE, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Miras, UU Pornografi, dan UU Anti Terorisme. Semua undang-undang ini secara substansial menjadikan agama sebagai basis moralitasnya. 

  

Bagi saya, menjadi Islam kafah tidak harus berada di dalam negara dengan ideologi keagamaan. Misalnya negara berdasar agama atau harus menjadi negara Islam. Negara bisa saja berdasar Pancasila yang di dalamnya terdapat regulasi yang memberikan jaminan bagi warga negaranya untuk mengamalkan ajaran agamanya dengan benar sesuai dengan fatsir agamanya. Tidak ada paksaan untuk mengamalkan ajaran dengan tafsir tunggal. Negara memberikan jaminan umat beragama untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Yang Islam bisa menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan madzhabnya, yang Katolik dan Kristen bisa beribadah sesuai dengan imamnya, demikian pula yang Buddha, Hindu dan Konghucu. 

  

Jika negara berdasar agama, misalnya Islam, maka juga akan terjadi tarik menarik, Islam dalam tafsirnya siapa, Islam dalam madzhab siapa, Islam dalam kekuatan yang mana, Islam dalam paham politik yang mana dan sebagainya. Disebabkan oleh varian dalam memahami ajaran atau teks agama, maka perbedaan tersebut akan berimplikasi pada pilihan paham politik yang mana. Implikasi yang paling berat jika kemudian perbedaan pilihan politik tersebut kemudian menimbulkan disharmoni bahkan konflik social. Memang tidak bisa dijadikan rujukan, misalnya Vatikan yang paham politiknya nyaris sama, atau Arab Saudi yang paham keberagamaannya nyaris sama yaitu Salafi Wahabi. 

  

Akan tetapi bagi negara bangsa dengan pluralitas dan multikuturalitas yang sedemkian heterogin seperti Indonesia, maka hal itu akan sangat sulit dilakukan dan jika dipaksakan dipastikan akan terdapat disharmoni dan konflik social. Ingat kasus Ambon, Poso dan sebagainya. Itulah sebabnya masyarakat Indonesia tidak memilih agama sebagai ideologi tetapi menjadikan agama sebagai basis moralitas di dalam penyelenggaraan negara. 

  

Sesungguhnya untuk menjadi muslim kaffah di Indonesia bukan sesuatu yang mustahil. Bukan pilihan yang salah. Untuk menjadi muslim kaffah di Indonesia, maka yang diperlukan adalah menjalankan ajaran agama sesuai dengan paham agama yang memiliki basis kuat di dalam genealogi ilmu keislaman dan pengamalan keislaman sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Jika pemahaman dan pengamalan keberagamaannya sudah seperti itu, dan kemudian memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang berbasis pada komitmen nasionalisme, maka yang muslim kaffah itu sesungguhnya sudah dapat diraih. 

  

Dengan demikian, untuk menjadi muslim kaffah tidak harus menjadi warga negara Islam, akan tetapi bisa juga menjadi warga negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya. Yang penting kita dapat menempatkan ajaran dan pengamalan Islam yang memiliki relevansi dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.