Menjaga Karisma Pesantren: Hindari Kekerasan Pada Institusi Pendidikan
OpiniDunia pesantren akhir-akhir ini berada di dalam sorotan. Bukan karena prestasi dan perannya yang luar biasa, akan tetapi karena tindakan kekerasan yang dilakukan, seperti kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyah Jombang dan kekerasan fisik hingga meninggal seperti yang terjadi di Pesantren Gontor Ponorogo. Peristiwa ini dapat mendegradasi pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama, yang mengandung dimensi sakralitas ke institusi social lainnya yang sarat dengan dimensi profanitas.
Memang pesantren merupakan institusi social yang mengajarkan pendidikan agama dan keagamaan yang sarat dengan nilai moralitas dan pemahaman serta tindakan keagamaan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bisa menjadi barometer bagi pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Tetapi tentu konsekuensinya, lembaga pendidikan pesantren tidak boleh lalai atau melakukan kesalahan karena claim masyarakat sebagai penjaga moralitas dimaksud. Apalagi yang dianggap lalai dan melakukan kesalahan adalah pesantren Gontor Ponorogo yang memiliki sejarah panjang dan peran penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), yang berkualitas dalam ilmu pengetahuan umum, agama dan moralitas keagamaan.
Sebagai institusi Pendidikan Islam, Pesantren Gontor Ponorogo telah menghasilkan lulusan yang luar biasa peranannya pada masyarakat Indonesia. Banyak tokoh nasional yang lahir dari rahim pesantren ini. Demikian pula banyak tokoh regional yang memiliki peran social keagamaan di masyarakat yang di masa lalu belajar di pesantren ini. Yang menjadi tokoh, misalnya Kiai Hasyim Muzadi (alm), mantan Ketua Umum PBNU, Prof. Dien Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama, Hidayat Nur Wahid, politisi yang malang melintang dalam perpolitikan di Indonesia dan masih banyak tokoh lain yang tidak bisa disebutkan.
Dunia pesantren memang sedang mengalami masa sulit karena tindakan yang dilakukan oleh warganya sendiri. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang ramah bagi perempuan justru menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan seksual. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk membina ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariyah justru menjadikan siswa lelakinya sebagai korban kekerasan fisik hingga meninggal. Rasanya tidak ada lagi yang bisa dikatakan terkait dengan pengalaman negative yang mengusik kemanusiaan yang dilalui oleh dunia pesantren ini.
Peristiwa tersebut terjadi dari pelaksanaan Perkaju atau Perkemahan Kamis Jum’at yang diselenggarakan sebagai kegiatan ekstra kurikuler di Pondok Pesantren Gontor. Sebenarnya berangkat dari masalah yang sangat sederhana. Sebagai panitia pelaksana Perkaju, maka AM dan dua orang kawannya bertanggung jawab atas semua peralatan yang digunakan untuk Perkaju. Pada saat dikembalikan kepada bagian perlengkapan tanggal 22 Agustus 2022, ternyata tidak lengkap sehingga AM dan dua kawannya diwajibkan untuk menemukannya dan harus dikembalikan pada saatnya. Sampai jam 6.00 WIB pada tanggal yang ditentukan pasak yang hilang tersebut tidak ditemukan. Dua orang bagian perlengkapan semula menghukumnya memakai cambuk dengan tongkat pramuka di pahanya, dan kemudian datang satu orang lagi yang menendang bagian dadanya, sehingga AM terjatuh dan kejang. Akhirnya dibawalah ke Rumah Sakit Yasyfin dan menghembuskan nafasnya pada pukul 6.30 WIB. RS Yasyfin memberikan keterangan bahwa jenazah meninggal karena kelelahan. (detik.com diunduh 10/09/22).
Jenazah itu kemudian dikirim ke rumah duka, Ibu Soimah, dengan keterangan bahwa korban meninggal karena kelelahan. Namun Ibu AM curiga sebab ada bercak darah dalam kain kafan, sehingga mendesak apa yang sesungguhnya terjadi. Akhirnya dipaparkan kejadiannya dan diketahui penyebab kematian AM karena dianiaya oleh kawannya. Keluarga korban menyesalkan bahwa pesantren tidak secara terus terang menyatakan penyebabnya dan kenapa tidak melakukan tindakan melaporkan para pelaku kekerasan ke kepolisian. Dan 14 hari setelah kematian korban barulah pesantren melaporkannya kepada kepolisian. Laporan ini dilakukan karena menjadi viral informasi kematian santri dimaksud di media sosial.
Kita menduga bahwa tindakan kekerasan tersebut tentu bukan kesengajaan. Meskipun hal ini tentu menjadi kewenangan kepolisian untuk menyelidikinya. Apakah ada kesengajaan atau tidak. Yang jelas bahwa kematian sudah terjadi, dan santri yang melakukan kekerasan sudah dipecat, dan sekarang tentu menunggu proses kepolisian untuk menyelidiknya dan menetapkan apa hukumannya. Yang jelas informasi seperti ini menjadi viral di tengah dunia social yang tidak bisa dibendung informasinya. Berkat media sosial maka semuanya menjadi terang benderang, semua menjadi serba terbuka. Dan akhirnya terjadilah opini publik melalui media sosial.
Peristiwa ini sungguh menampar dunia pendidikan khususnya pendidikan pesantren. Kasus ini bisa mendegradasi peran social pesantren yang selama ini menjadi penyangga moralitas bangsa. Banyak masyarakat yang berharap di tengah “dunia pendidikan tanpa etika”, maka pada pesantrenlah kita semua berkiblat. Benarkah pesantren akan tergradasi pengaruhnya di dunia pendidikan? Saya kira tidak. Kasus kekerasan di Pesantren Gontor Ponorogo adalah kasus personal dan bukan kasus kelembagaan. Artinya sama dengan lembaga-lembaga pendidikan lain seperti kasus kekerasan pada IPDN dan juga lembaga pendidikan lain, yang akhirnya memang merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang perorang. Dengan demikian, yang bersalah adalah pelaku kekerasan. Hanya saja yang menjadi catatan adalah keterlambatan pesantren dalam melakukan tindakan pelaporan atas kasus tersebut ke pihak berwajib.
Kasus ini tentu menjadi kaca benggala bagi dunia pendidikan, khususnya pesantren agar semakin keras menegakkan kedisiplinan dan menihilkan hukuman-hukuman personal yang menggunakan kekerasan fisik. Sebaiknya sebagai lembaga pendidikan, maka jika ada kesalahan maka haruslah dengan hukuman yang mengandung unsur pendidikan. Meskipun seandainya keputusannya, bahwa tindakan menendang dada bukanlah “kesengajaan” untuk mematikan, akan tetapi tetap saja bahwa tindakan ini sungguh menciderai institusi pendidikan yang mengusung prinsip etika atau moralitas dan menjadikan nilai religiositas sebagai basis pendidikannya.
Dunia pesantren harus semakin memperketat pengawasan kepada santrinya, agar tindakan seperti ini tidak terulang. Siapapun pasti menyesalkan model hukuman kekerasan fisik. Sudah bukan zamannya lagi hukuman fisik. Apalagi dilakukan oleh individu dalam institusi pesantren yang diharapkan menjadi model bagi pendidikan berbasis nilai agama sebagai pattern for bahavior.
Wallahu a’lam bi al shawab.