(Sumber : Republika.id)

Menjaga Marwah NU

Opini

Saya memang bagian dari warga NU meskipun tidak menjadi bagian dari jabatan structural NU. Tetapi perkara ke-NU-an, saya tidak meragukan diri saya sendiri sebagai warga NU yang tentu memiliki pemikiran, sikap dan tindakan yang sesuai dengan Islam ahli sunnah wal Jama’ah, khususnya Nahdlatul Ulama. Banyak orang yang seperti saya dan  tetap menjadi bagian dari paham dan pengamalan keagamaan yang berciri khas NU. 

  

Di Indonesia, saya kira tidak ada organisasi kemasyarakatan keagamaan (ormas keagamaan) sebagaimana NU. Memiliki anggota mulai dari kelas paling atas sampai akar rumput. Sebuah organisasi yang sedemikian kuatnya ikatan ideologis ke-NU-an melebihi organisasi lainnya. Jika kita flash back pada perayaan genap satu abad NU di Sidoarjo, maka dapat menggambarkan demikian dahsyatnya ormas keagamaan yang bernama NU tersebut. Sidoarjo kala itu menjadi lautan manusia yang secara kuantitatif nyaris tidak dapat dihitung. Jumlah bus, kendaraan pribadi dan sepeda motor yang tumplek bleg di alun-alun Sidoarjo dan sekelilingnya. Luar biasa.

  

Saya kira tidak ada ormas keagamaan lain yang melebihi NU dalam kapasitas dan kuantitas dalam ikatan ideologis yang sedemikian membara. Oleh karena itu jika NU kemudian dijadikan sebagai symbol kekuatan Islam di Indonesia tentu sangatlah pantas. Akibatnya, warga NU lalu dapat dijadikan sebagai komoditas, dalam arti positif, untuk dijadikan sebagai instrument bernegosiasi di dalam banyak aspek kehidupan. Ruang politik sering kali memainkan peran NU dalam kapasitas sebagai organisasi besar yang menentukan atas pemilihan politik actor dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan. 

  

Sebagai organisasi besar dengan actor-aktor yang bervariasi kepentingan, seringkali NU kedodoran dalam menghadapi manuver-manuver kepentingan yang terdapat di dalamnya. Tentu terdapat in order to motives di dalam konsepsi Weber, atau because of motives di dalam konsep Schutz yang memerankan peran penting. Ada motif ekonomi, politik, social, pendidikan dan keagamaan yang bisa menjadi motif tujuan atau motif penyebab. Dan yang rumit adalah motif-motif tersebut saling berkait kelindan. Tidak satu-satu tetapi sistemik. Dimensi ekonomi menyatu dengan politik dan sebagainya. Ada kepentingan pribadi, kepentingan ke-NU-an, kepentingan social dan juga kepentingan berbangsa. 

  

Sesungguhnya yang paling bermasalah adalah manakala kepentingan pribadi kemudian dipigura dengan kepentingan ke-NU-an, Kebangsaan dan sebagainya. Saya kira yang paling penting adalah tidak mengedepankan kepentingan pribadi melebihi kepentingan ke-NU-an. Jadi problemnya adalah membangun keseimbangan. Jika aktivis NU mengedepankan ke-NU-an dipastikan bahwa kepentingan pribadi akan ikut serta, tetapi jika kepentingan pribadi yang mengedepan, maka saya khawatir bahwa kepentingan ke-NU-an tidak akan terbawa.

  

NU sebagai wadah artikulasi kepentingan untuk menjadikan Islam ala ahli sunnah wal jamaah sebagai roh dalam kehidupan tentu sangat penting. Islam yang dapat menjadi spirit di dalam membangun kehidupan dalam relasi individu, social dan kemasyarakatan. Menjadikan nilai-nilai Aswaja sebagai fondasi di dalam kehidupan yang lebih luas merupakan tugas mulia kaum Nahdhiyin di dalam merenda kehidupan di negeri Indonesia. Negeri ini akan menjadi damai, rukun dan selamat jika warganya, terutama warga Nahdhiyin, tetap mengedepan spirit keislaman  wasathiyah. Kita harus bersyukur bahwa Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, sebab di Asia Tenggara hanya tinggal tiga negara saja, yaitu Malaysia,  Brunei Darus Salam  dan Indonesia,  yang masih menjadikan Islam  basis pemahaman  dan praksis kehidupan. sementara negeri lain, seperti Filipina, Muangthai dan Burma sudah tidak lagi menjadikan Islam sebagai basis pemahaman dan praksis kehidupan kecuali sebagian kecil dari warganya. Dan saya kira NU memegang peran penting di dalam keterlibatannya untuk menjaga Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islamya. 

  

Oleh karena itu, kita semua harus Menjaga Marwah NU. Marwah dengan huruf besar. Menjaga Marwah NU merupakan kewajiban jam’iyah dan ijtima’iyah. Menjaga Marwah NU merupakan kewajiban semua warga NU, baik secara kultural maupun structural. Sebagai artikulasi untuk Menjaga Marwah NU, maka ada beberapa substansi yang penting untuk direnungkan. Pertama,  semua warga NU harus menempatkan NU dengan prinsipnya yang utama sebagai basis nilai dalam pemahaman dan tindakan di dalam kehidupan social. Tidak hanya dalam ritual-ritual saja atau kesalehan individual tetapi juga kesalehan social. Warga NU harus menjadikan prinsip NU sebagai basis etika dan falsafah kehidupan. Warga NU bisa beraktivitas dalam bidang politik, ekonomi, social kemasyarakatan dengan  basis moralitas yang  harus tetap dipegang teguh.

Kedua, menghormati para ulama NU, muassis NU dan para ulama NU penerusnya, yang sedemikian besar ghirah dan etosnya di dalam mengembangkan Islam ala ahli sunnah wal jamaah, khususnya NU dengan segala upaya positifnya. Misalnya: Syaikhona Kholil, Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah, Kyai Ma’shum, Kyai As’ad Syamsul Arifin, Kyai Ilyas Ruhiyat, KH. Sahal Mahfudl, Tuan Guru Ambodalle, Tuan Guru Zainuddin Majdi, Tuan Guru Sekumpul, Kyai Hasyim Muzadi, Kyai Tholhah Hasan, Gus Dur, KH. Shalahuddin Wahid, Kyai Saifuddin Zuhri dan juga ulama-ulama NU yang masih hidup sekarang seperti: Tuan Guru Turmudzi, Kyai  Said Aqil Siraj, Habib Luthfi, Kyai Ma’ruf Amin, Kyai Miftahul Achyar, dan sedemikian banyak ulama yang telah mewakafkan hidupnya di dalam NU. Saya tidak mampu untuk menyebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa ta’dzim dan penghormatan saya kepada beliau-beliau yang mulia tersebut. Mereka semua adalah ulama NU yang tidak diragukan kebangsaan dan keindonesiannya.

  

Ketiga, warga NU harus menyatukan langkah di dalam menghadapi tantangan yang sedemikan besar, dalam Bahasa Jawa disebut sebagai kinepung wakul binoyo mangap terkait dengan upaya sistematis dari kelompok Salafi Wahabi atau kelompok Salafi Takfiri,  yang semakin massif di dalam dunia pendidikan umum berbasis Islam salafi bahkan pesantren dan organisasi-organisasi berbasis media social, seperti Komunitas-Komunitas yang menggurita di media social. Jadi seharusnya warga NU, terutama yang memiliki literasi media social, hendaknya speak up untuk menggelorakan Islam wasathiyah untuk ke-Indonesia-an. Media social hendaknya dapat dijadikan sebagai medium untuk menggalang kekuatan ke-NU-an dengan prinsip Islam wasathiyahnya. 

  

Keempat, kritik bukan haram dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Dia juga bukan makruh di dalam berorganisasi. Jangan diartikan macam-macam. Ini hanya diksi untuk menguatkan saja. Kritik tentu sangat diperlukan, memfalsifikasi atau memverifikasi tentang tafsir atas ajaran agama juga masih diperkenankan sejauh tidak menyalahi prinsip utamanya. Harus diingat bahwa  semua  produk manusia terkait dengan ajaran agama, teks suci, adalah dunia tafsir yang bisa berbeda-beda. Bahkan membaca data yang sama, bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda. Tidak ada kebenaran mutlak dalam dunia tafsir. Oleh karena itu jangan mendewakan tafsir secara berlebihan. Biasa-biasa saja. Makanya kritik menempati posisi penting dalam dinamika kehidupan. Yang penting tidak  membuat disharmoni social apalagi sesama warga NU.

   

Kelima, sebagai warga NU, kita telah memiliki prinsip di dalam komunikasi social di ranah public. Seperti qaulan layyinan (pernyataan lemah lembut) , qaulan balighan (pernyataan yang jelas), qaulan sadidan (perkataan yang benar), qaulan maysuran (perkataan yang memudahkan), qaulan kariman (perkataan yang memuliakan), dan qaulan ma’rufan (perkataan yang baik). 

  

Warga NU  tentu sudah memahami prinsip etika dalam berkomunikasi ini. Oleh karena itu, di tengah gelegak media social yang semakin bebas, maka aktivis dan warga NU harus menegakkan etika islami di dalam relasi social baik internal warga NU maupun lainnya. 

  

NU harus menjadi penyangga atas media social baru atau new social media, yang humanis, nir kekerasan baik actual maupun simbolis dan juga mengedepankan prinsip kesetaraan, keadilan dan kebaikan bagi semua. Jika sebuah unggahan akan dapat memicu harmoni social, maka check and recheck, check   before sharing agar kehidupan yang rukun, harmoni dan slamet akan bisa terjaga.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.