Menziarahi Makam Suci: Pangeran Arya Dillah
OpiniSalah satu keberuntungan saya pada waktu mengantar cucunda ke Jakarta adalah bisa berkunjung ke Serang. Lama sekali saya berkeinginan untuk berkunjung ke rumah Chuzaemi, yang di masa lalu pernah menemani saya di Sekretariat Jenderal Kementerian Agama. Jemi, begitulah panggilannya, sudah berkali-kali datang ke rumah saya di Surabaya, sementara itu saya belum pernah ke rumahnya.
Pada waktu saya di Bekasi dengan ananda dan cucunda itulah saya menyempatkan diri ke Serang. Sabtu, 29/06/2024. Biasa ke Serang mengalami kemacetan. Di Jakarta kalau tidak ada kemacetan itu luar biasa, karena yang macet adalah kebiasaan di Jakarta itu. Di daerah sekitar Tangerang Selatan, maka terjadi kemacetan, bahkan sepanjang jalan ke Serang juga macet. Sedang dilakukan perbaikan jalan. Tetapi itulah realitanya. Yang penting bisa sampai tujuan.
Setelah shalat magrib dan Isyak secara jama’ qashar, lalu makan malam dan setelah itu melanjutkan perjalanan yang sudah lama saya inginkan, yaitu ziarah waliyullah di telatah Banten. Banten merupakan pusat penyebaran Islam yang awal di Nusantara, khususnya di Jawa. Tentu masih ingat sejarah Islam di Banten yang dimulai di Padepokan Giri Amparan Jati, dengan Datuk Kahfi sebagai tokoh utama yang melahirkan banyak wali di telatah Banten. Termasuk juga kanjeng Sunan Gunung Jati atau yang juga disebut sebagai Syarif Hidayatullah. Satu nama yang dijadikan sebagai dua nama PTKIN, UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ada rasa bahagia kala di Serang, sebab saya bisa mengunjungi Makam Suci para penyebar Islam di telatah Banten. Saya bersama Jemi, Istri dan anaknya, serta Ustadz Furqon dapat melakukan ziarah istimewa ke Makam Kanjeng Sultan Hasanuddin dan Makam Kanjeng Eyang Pangeran Arya Dillah. Dua orang ini merupakan generasi kedua dan ketiga dari Kanjeng Eyang Sunan Gunung Jati. Sultan Hasanuddin adalah raja Kerajaan Banten pada tahun 1552-1570 M dan Pangeran Arya Dillah adalah panglima perang Kerajaan Banten. Nama Syarif yang melekat kepada Kanjeng Eyang Syarif Hidayatullah menunjukkan Beliau adalah kuturunan Sayyidina Hasan Cucu Nabiyullah Muhammad SAW. Keturunan Sayyidina Hussein disebut sebagai sayyid. Kanjeng Sultan Hasanuddin juga menyandang nama Syarif.
Kira-kira 30 menit sampailah ke Makam Suci Pangeran Arya Dillah. Di dalam tradisi Banten, menziarahi makam bukan dimulai dari yang tua, akan tetapi dari yang muda. Maka kala berziarah di dua makam ini, harus didahulukan berziarah ke Makam Arya Dillah dan baru ke Makam Kanjeng Sultan Hasanuddin. Saya tentu harus mengikuti kaidah ziarah ini, meskipun saya semula berkeyakinan harus berziarah yang tua lebih dahulu dan baru yang muda. Saya singkirkan pikiran itu dan mengikuti tradisi di sini.
Berdasarkan cerita-cerita yang didapatkan di berbagai tulisan di media social atau lainnya, maka diyakini bahwa Kanjeng Pangeran Arya Dillah adalah putra Kanjeng Sultan Hasanuddin yang lahir dari istri makhluk halus. Kita tentu yakin saja, sebab yang seperti ini berasal di dalam kawasan mitologi atau area “empiric transcendental”. Dunia keyakinan yang harus diyakini sebagai kebenaran. Saya kira ada banyak cerita di seputar para wali yang berada di dalam dunia mitos yang sungguh diyakini oleh sebagian masyarakat Islam.
Untuk meyakinkan bahwa Arya Dillah adalah putra raja, maka dilakukan sayembara, jika bisa meruntuhkan semua daun beringin tanpa ada yang rusak, maka akan diakui sebagai putra raja. Akhirnya sayembara tersebut dapat diselesaikan, sehingga Arya Dillah diakui sebagai putra Sultan Hasanuddin. Karena kesaktiannya, maka Arya Dillah diangkat sebagai Senapati Kerajaan Banten, dan pernah juga dikirim ke Palembang dalam misi penaklukan kerajaan Palembang.
Makam Arya Dillah tidak jauh dari makam Ayandanya, Sultan Hasanuddin. Jika makam Sultan Hasanuddin berada di pusat kerajaan di dekat Masjid besar Serang, yang di masa lalu adalah keraton, maka makam Arya Dillah berjarak kira-kira dua kilo meter. Makam yang bersih dengan karpet hijau dan bangunan permanen. Ada beberapa makam di dalam cungkup makam. Hanya sayangnya saya tidak bertanya ke Ustadz Furqon tentang siapa saja yang berada di makam dimaksud. Asumsi saya pasti kerabat Keraton Banten.
Di bangunan depan makam terdapat bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu. Yang jaga adalah Kang Ali. Dialah yang memimpin tahlil dan doa di makam Pangeran Arya Dillah. Sedangkan pada waktu ziarah di Makam Kanjeng Sultan Hasanuddin, yang memimpin tahlil dan doa adalah Ustadz Furqon pendiri pesantren Kelelet, Serang, Banten. Pesantren yang didirikannya sudah mulai berkembang dengan jumlah santri yang lumayan banyak. Kira-kira 500-an santri, baik yang santri mukim atau santri kalong.
Saya tentu sering menjalani ziarah ke Makam para penyebar Islam generasi pertama atau kedua di Nusantara. Saya pernah berziarah ke Makam Habib Al Aidrus di Ambon, Tanah Merah, pernah berziarah ke Datuk Karama di Palu, berziarah ke Makam Sultan Malikus Saleh di Aceh. Pengalamannya bermacam-macam. Nuansanya berbeda-beda. Ada pengalaman religious yang tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan empiris sensual maupun empiris rasional. Pengalaman yang sungguh-sungguh empiris transcendental. Tidak bisa diduplikasi oleh orang lain meskipun dalam waktu berziarah yang sama. Religious experience merupakan pengalaman pribadi yang sangat khas. Hanya dirasakan dan dialami seorang diri.
Demikian pula yang saya alami di Pesarean Kanjeng Pangeran Arya Dillah. Secara sengaja saya tidak mengakhiri ziarah di makam ini meskipun tahlil dan doa sudah selesai. Tetapi saya melanjutkannya sendiri dengan bacaan-bacaan kalimat thayyibah yang saya pahami dan saya hayati. Saya tentu memiliki ukuran khusus dalam berziarah di makam para waliyullah. Ada nuansa khusus yang sungguh dapat dirasakan tetapi tidak mampu diceritakan.
Jika mengacu pada silsilah ketarekatan Kanjeng Sunan Gunung Jati, maka Kanjeng Sultan Syarif Maulana Hasanuddin dan Pangeran Arya Dillah adalah penganut tarekat Syatariyah. Berdasarkan genealogi ketarekatan, Kanjeng Sunan Gunung Jati tidak hanya mengikuti satu aliran tarekat. Setidak-tidaknya dua tarekat, tarekat Syatariyah dan tarekat Syahadatain. Di dalam penelitian saya di Mayong Jepara, Jawa Tengah, saya temukan jalur silsilah kedua tarekat yang bersanad kepada Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Tanpa terasa kunjungan ke makam sudah berlangsung selama tiga jam setengah. Jam 22.30 WIB saya harus ke hotel sebab besuknya pagi-pagi harus kembali ke Bekasi untuk berkumpul dengan keluarga. Sungguh saya merasa sangat berbahagia dapat melakukan perjalanan ritual untuk menziarahi makam orang yang yang memiliki “kedekatan” khusus kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.