(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Moderasi Beragama di Tengah Tantangan Media Sosial

Opini

Dunia mengalami perkembangan revolusi Industri dalam empat tahapan. Revolusi industri 1.0 atau ditemukannya mesin uap, sehingga terjadi perpindahan barang atau orang ke tempat lain secara lebih cepat melalui ditemukannya kereta api. Revolusi industri 2.0 dimulai dengan ditemukannya listrik, sehingga memicu perkembangan industri manufaktur, ditemukannya berbagai peralatan hidup yang didasarkan pada kehadiran listrik. Revolusi industri 3.0 dimulai dengan hadirnya personal komputer sehingga memicu percepatan kerja di berbagai sektor kehidupan, terutama perdagangan. Juga ditemukan faximile dan surat elektronik. Revolusi industri 4.0 dimulai dengan hadirnya teknologi informasi, sehingga memicu perubahan cepat dalam perubahan sosial. Hadirnya teknologi android, artifisial inteligen dan perubahan bisnis ke digital Ekonomi. Munculnya artifisial inteligen, misalnya robot dengan berbagai kecanggihan dan fungsinya. Dari  robot untuk rumah tangga sampai robot untuk bidang kesehatan. Dari  robot untuk pelayanan personal sampai pelayanan publik. Robot untuk membantu urusan pribadi sampai mobil tanpa sopir dan  dari robot untuk kepentingan sosial sampai perang. Di masa depan perang akan dilakukan oleh robot yang didesain secara khusus. 

  

Terjadi perubahan yang sangat cepat dan terkadang  tidak terduga. Oleh para ahli disebut sebagai VUCA. Volatility atau terjadi guncangan yang datang tiba-tiba. Bisa dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya tiba-tiba terjadi Covid-19 yang harus mengubah seluruh performance kehidupan. Pendidikan tiba-tiba berubah. Mendadak IT. Ekonomi yang mapan lalu berubah total. Hancurnya Matahari Department Store dan Ramayana pada waktu yang nyaris  bersamaan.

  

Uncertainty atau tidak menentu. Zaman ini ditandai dengan ketidakmenentuan. Tidak ada yang mapan dan stabil. Perencanaan pembangunan yang rigit tiba-tiba harus berubah. Zaman yang serba berubah cepat. Complexity atau terjadinya kompleksitas. Dunia makin sophisticated dan tidak makin simpel. Problem kehidupan bersifat kompleks sehingga penyelesaiannya juga membutuhkan pendekatan dari berbagai sisi atau perspektif. Di dalam dunia Pendidikan, maka betapa semakin menguatnya tantangan, misalnya perdagangan narkoba, dan  pornografi. Ambiguity atau ambiguitas. Banyak masalah yang terjadi dan bersifat ambigu. Antara yang benar dan salah itu sangat tipis selubung sekatnya. Orang ditantang untuk memilih di antara dua atau tiga pilihan yang sama-sama sulitnya. Ibaratnya seperti buah simalakama.

  

Munculnya media sosial merupakan berkah tetapi juga mafsadah. Sebagai berkah karena mengandung kebaikan dan mafsadah karena mengandung keburukan. Berkah karena media sosial bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun silaturahmi dan juga menyebarkan konten positif untuk kehidupan umat manusia. Tetapi juga mafsadah karena media social bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun kebencian, hoaks dan tindakan jelek lainnya.

  

Era kita ini disebut dengan era perang media atau cyber war. Perang sosial ini juga dahsyat pengaruhnya kepada manusia sebab yang diserang adalah dimensi psikologis, ujaran kebencian, dan pembunuhan karakter. Ada beberapa jenis perang di era sekarang, di era penggunaan teknologi informasi.

  

Psy war atau Psychological Warfare atau perang urat syaraf yaitu perang di antara dua atau lebih individu atau kelompok dengan tujuan untuk melumpuhkan lainnya melalui tekanan psikologis. Dilakukan melalui propaganda yang bertujuan untuk menjatuhkan mental lawannya. Selain itu juga ditujukan untuk memecah konsentrasi dan fokus atas orang atau kelompok yang diserangnya. Digunakan tidak hanya di bidang politik tetapi juga social, pertahanan dan bahkan olahraga. Dalam bidang politik biasanya digunakan menjelang pilpres, dan pilgub. Perang yang dilakukan tidak menggunakan alat-alat perang yang berupa senjata otomatis, tetapi menggunakan konten-konten psikologis.

  

Proxy War adalah jenis perang baru yang tidak memanfaatkan senjata fisikal tetapi menggunakan berbagai strategi bisa ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Proxy war tidak menggunakan kekuatan militer dengan segenap instrumennya, tetapi perang dengan menggunakan berbagai sisi kehidupan. Secara konseptual dinyatakan bahwa Proxy War merupakan konfrontasi di antara dua kekuatan besar tetapi menggunakan pioneer-pioneer lainnya yang lebih kecil dengan tujuan menghindari dampak negatif yang lebih besar. Meminimalisir akibat yang lebih buruk. Proxy war dilakukan bukan oleh negara tetapi di bawah komando negara. 

  

Indonesia menjadi incaran proxy war, sebab letak Indonesia secara geografis yang berada di tengah kelompok utara dan selatan, timur dan barat. Indonesia menjadi incaran negara-negara lainnya karena SDA yang melimpah. Penguasaan dilakukan dengan tidak melalui kekuatan negara atau militer tetapi menggunakan kekuatan ekonomi, politik, budaya dan agama.  Bentuk proxy war di Indonesia agar dikenali, misalnya kerusuhan, radikalisme, hoax, masalah SARA, demonstrasi dengan tuntutan yang tidak jelas. Cermati gerakan seperti ini dengan memahami siapa aktor utamanya. 

  

Cyber war merupakan serangan antar negara yang menggunakan cyber space. Yaitu serangan yang dilakukan oleh negara atau sekelompok orang yang menggunakan media ruang maya atau cyberspace. Serangan dilakukan terhadap infrastruktur pemerintahan atau cyber Infrastructur sehingga pemerintahan akan lumpuh karena infrastruktur di cyberspace rusak atau hancur. Sebagai contoh adalah serangan terhadap infrastruktur KPU pada waktu pilpres, atau serangan terhadap infrastruktur keuangan, administrasi pemerintahan, bahkan administrasi kependudukan. Pada waktu pilpres misalnya terjadi pembunuhan karakter, berita bohong atau disinformasi atau hoaks. 

  

Di antara sisi negatif media social adalah dapat digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan terutama kekerasan simbolik. Misalnya dengan ujaran kebencian yang dilakukan secara sengaja untuk melukai dan merusak prinsip yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat termasuk paham keagamaan. Contoh lain adalah pembunuhan karakter atau character assasination yaitu upaya untuk melakukan dengan sengaja menjelekkan individu atau kelompok tentang kejelekan perilakunya, tabiatnya, sebagai tindakan yang negatif. Hal ini dilakukan secara sengaja tanpa melihat apakah tindakan itu dilakukan oleh pelaku yang diserang. Yang penting muncul opini publik bahwa yang diserang itu orang jahat atau jelek atau tidak bermoral. 

  

Sekarang berseliweran di media sosial tentang berbagai konten, baik yang positif maupun negative. Yang positif adalah penyebaran agama dengan penuh kasih sayang dan membahagiakan. Konten yang seperti ini kurang menarik sebab dikemas tidak dengan kecanggihan teknologi. Yang negative adalah penyebaran agama dengan konten kekerasan, baik simbolik atau actual yang banyak diminati dan mudah menjadi viral. Viewer terbesar adalah atas konten yang tidak mendidik dan merusak moral masyarakat luas. Misalnya konten yang mengarah ke seksualitas. Viewer terbesar juga  pada konten-konten yang saling berbenturan antara satu dengan yang lain.

  

Akhir-akhir ini bisa dilihat di dalam tayangan Youtube betapa sedang terjadi pertarungan panas di antara berbagai penggolongan paham keagamaan. Yang mengedepan adalah antara kaum Salafi Wahabi dengan NU. Ada banyak ujaran yang dibuat secara sengaja untuk melakukan tindakan disintegratif. Misalnya serangan kaum Salafi Wahabi kepada warga NU bahwa paham keagamaan dan perilaku keagamaannya tidak ditemui semasa Nabi sesuai dengan pahamnya. Contoh tentang bidh’ah atas pembacaan surat Al Fatihah ba’da shalat, atau mencium mushaf al-Qur’an sebagai bidh’ah, dan sebagainya. Pembunuhan karakter atas da’i NU atau non NU yang menyuarakan atas moderasi beragama.  Contoh Gus Miftah, Gus Muwafiq, Gus Baha’ dan sebagainya.

  

Para elit, termasuk dunia kampus, khususnya IAIN Bukittinggi (sebagaimana paparan saya di hadapan pimpinan, dosen dan mahasiswa),  harus turun agar mendidik atau membimbing masyarakat agar tidak terjebak pada konten-konten yang tidak baik. Para elit harus turun agar mendidik atau membimbing masyarakat agar bisa memilah dan memilih mana  konten yang baik dan buruk. Agar masyarakat cerdas untuk menghindari konten-konten yang mengadu domba antar suku, agama, Ras dan antar golongan (SARA). Di tengah merebaknya media sosial sebagai media interaksi sosial, maka semuanya harus memberikan perhatian atas konten-konten yang merusak persatuan dan kesatuan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.