(Sumber : nursyamcentre.com)

Nadiem A. Makarim Dalam Pusaran Politik Pendidikan

Opini

Oleh : Prof. Dr. Nur Syam, MSi

 

Menteri muda kita yang satu ini memang menjadi banyak perbincangan semenjak pertama diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Kabinet Indonesia Maju tahun 2019 yang lalu. Nadiem A. Makarim mewakili sosok generasi muda yang menjadi anggota kabinet yang tentu saja diharapkan dapat mengangkat citra pendidikan Indonesia terutama dalam kerangka isu pendidikan berkualitas di dalam RPJMN 2019-2024.

 

Sebagai orang muda tentu memiliki kekayaan gagasan, apalagi dia dianggap sebagai sosok muda yang berbakat dan berkemampuan sangat baik, terutama dalam mengangkat citra ekonomi digital melalui penggunaan aplikasi Gojek, sebuah perusahaan transportasi yang sangat maju dengan hanya menggunakan aplikasi teknologi informasi. Berbeda dengan perusahaan transportasi lainnya yang harus memiliki alat transportasi, maka Nadiem hanya perlu aplikasi untuk mengembangkan usaha transportasi. Sebuah perusahaan online yang berkembang cepat: dari Gojek, ke Gofood, ke Gosend, ke Gopay, dan sebagainya. Perusahaannya ini bisa menjadi pesaing bagi Grabb yang bermarkas di Malaysia.

 

Pemilihan atas Nadiem A. Makarim sebagai Mendikbud tentu didasari oleh pertimbangan yang matang, bahwa keahliannya di dalam teknologi informasi tentu sangat dibutuhkan pada  Era Revolusi Industri (ERI) 4.0 atau era disruptif. Sebagaimana dipahami bahwa ERI 4.0 merupakan era yang tidak bisa ditolak kehadirannya dan yang ada hanyalah bagaimana menjawab terhadap era krusial ini. Bahkan sekarang era itu sudah menjadi kenyataan sosial termasuk di dunia pendidikan. Lalu, juga hadir di tengah-tengah pendidikan Indonesia, Wabah Covid-19, yang juga mengharuskan pendidikan Indonesia berjibaku untuk menanggulanginya. Pendidikan mendadak berbasis IT atau program pembelajaran yang harus difasilitasi oleh teknologi informasi. Tiba-tiba pendidikan Indonesia harus berubah dari program pembelajaran tatap muka (off line) ke non tatap muka (on line).

 

Harapan masyarakat tentu amat besar dengan kehadiran Nadiem A. Makarim. Melalui talenta muda berbakat termasuk dalam  aplikasi teknologi informasi diharapkan akan bisa memberikan solusi cerdas atas problema pendidikan yang merunyamkan tersebut.  Ternyata memang tidak mudah untuk mengubah secara mendadak program pembelajaran dengan Zoom, Google Classroom, Google Meet dan WAG. Selain kendala SDM juga kendala infrastruktur yang tidak merata di Indonesia. Ada wilayah yang dengan mudah terjangkau akses informasi dan ada yang sulit.

 

Program pembelajaran yang "kurang berhasil" rasanya  tidak menjadi "dosa sosial" Nadiem A. Makarim. Yang krusial justru ketika Nadiem A. Makarim meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP) untuk   penguatan pendidikan, yang dirasakan tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dan NU tidak memperoleh peluang yang terbuka dalam akses program dimaksud. Konon katanya terkendala waktu dan aplikasi yang tidak terkejar. Akibatnya dipastikan ada banyak lembaga yang tidak memiliki sejarah panjang justru mendapatkan program ini, sementara lembaga pendidikan Muhammadiyah dan Maarif justru kurang mendapatkannya. Sontak, dianggaplah bahwa Nadiem A. Makarim tidak memahami sejarah pendidikan Indonesia. Bagaimana mungkin lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah dan NU yang memiliki sejarah panjang dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia justru tersingkir dalam program ini.

 

Kemudian, kala merumuskan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, maka juga terdapat kesalahan fatal, sebab tidak mencantumkan kata "agama" di dalamnya. Peta Jalan Pendidikan Indonesia memang menyebutkan kata akhlak atau budi pekerti serta iman dan taqwa, tetapi dengan tidak mencantumkan kata agama, maka dianggap ini merupakan kesalahan fatal. Nadiem mengubah rumusan Peta Jalan Pendidikan Indonesia setelah para ulama bersuara keras menentangnya. Yang kedua kali, Nadiem mengubah rumusan kebijakannya, dengan akhirnya memasukkan frasa agama di dalam rumusan Peta Jalan Pendidikan Indonesia.

 

Yang tidak kalah menarik adalah tatkala Kemendikbud sebagai leading sektor perumusan PP. No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Pendidikan Nasional. Di dalamnya tidak terdapat program Pendidikan Pancasila. Kesalahan yang dilakukan Nadiem adalah tidak menjadikan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai lex specialis atas UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU No 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa Pendidikan Pancasila dimasukkan di dalam pendidikan kewarganegaraan, sedangkan di dalam UU No.12 Tahun 2012, pasal 35 (ayat 3) dinyatakan bahwa mata kuliah wajibnya adalah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Artinya, bahwa program pendidikan tinggi di Indonesia mestilah memiliki kurikulum yang sesuai dengan regulasi dimaksud. Di dalam konteks hukum, maka terdapat lex specialis derogate legi generalis.  Jadi semua peraturan di bawah UU No. 12 Tahun 2012 harus sinkron dengannya.

 

Satu hal yang saya kira tidak diperhatikan oleh Nadiem  bahwa pendidikan itu mengandung dimensi politis. Artinya, bahwa setiap kebijakan dari manapun datangnya terkait dengan pendidikan mestilah dikaitkan dengan dimensi politik yang memang tidak bisa dipisahkan. Antara pendidikan dan politik bagaikan dua sisi mata uang. Maknanya bahwa kebijakan pendidikan selalu melibatkan kepentingan public yang harus dipenuhi berbasis pada regulasi. Pendidikan akan terlaksana untuk kepentingan public dengan basis regulasi yang jelas. Pendidikan sebagai upaya pemenuhan kepentingan public harus bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki dasar regulasi.

 

Penyusunan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 tidak hanya sekedar bagaimana merumuskannya atas kebutuhan masyarakat yang akan datang, akan tetapi juga harus mengaitkannya dengan regulasi yang mendasarinya. Bisa dibayangkan bahwa Peta Jalan Pendidikan tersebut tanpa menggunakan frase agama meskipun di dalamnya terdapat frase akhlak serta iman dan taqwa. Ketiganya pastilah berbasis "agama". Dan rawannya lagi, bahwa akan agama akan dapat disingkirkan sebab tidak memiliki basis regulasi.

 

Sama halnya dengan meniadakan Pendidikan Pancasila, maka bisa menjadi dasar bahwa lembaga pendidikan tidak perlu  mengajarkan Pancasila, sebab pemahaman dan pelaksanaan Pancasila tidak menjadi kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk mengajarkannya. Bisa dibayangkan bahwa pendidikan akan mencetak orang yang pintar dan berkemampuan kompetisi tetapi tidak memiliki semangat nasionalisme dan kebangsaan.

 

Jadi tujuan akhir pendidikan tentu adalah bagaimana mencetak manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif serta memiliki kepribadian Indonesia berdasar atas Pancasila dan berakhlak mulia sebagaimana diajarkan oleh agama.

 

Jadi, Nadiem A. Makarim rasanya kurang hati-hati dan kurang konprehensif dalam merumuskan   kebijakan pendidikan, bisa jadi karena hanya berpikir pendidikan untuk pendidikan dan bukan pendidikan untuk kemaslahatan masyarakat  berbasis pada agama, nasionalisme dan kebangsaan.

 

Wallahu a'lam bi al shawab.