(Sumber : https://nursyamcentre.com/)

Pemerataan Pendidikan: Perspektif Sosiologis

Opini

Salah  satu di antara problem besar masyarakat Indonesia adalah bagaimana memeratakan pendidikan dalam berbagai aspeknya. Secara faktual bahwa terdapat disparitas dan kesenjangan yang masih cukup tinggi antar daerah dalam program pemerataan pendidikan. Ada kesenjangan kualitas pendidikan, yang meliputi kualitas guru, program pembelajaran, siswa, kebijakan dan supporting masyarakat terhadap pendidikan. Belum lagi factor internal yang berupa rendahnya kesadaran masyarakat di daerah tertentu, misalnya Indonesia Timur untuk mengakses pendidikan. Semua ini membentuk relasi sistemik antara keinginan melakukan pemerataan pendidikan dengan variable-variabel lain yang saling berkorelasi.

  

Saya ingin menyoroti tentang relasi antar variable dalam pemerataan pendidikan tersebut. Misalnya variable kualitas guru. Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia sudah diberlakukan sangat lama, semenjak terbit UU No 14 tahun 2008 tentang Guru dan Dosen, namun secara factual  masih terdapat perbedaan kualitas guru di Indonesia, misalnya di Indonesia Barat dan Timur. Guru di wilayah Indonesia bagian barat tentu sudah sangat menyadari tentang betapa pentingnya kualitas guru, sehingga banyak guru yang tidak cukup dengan pendidikan strata satu (program sarjana), sebagaimana persyaratan untuk mendapat sertifikat guru professional, akan tetapi sudah banyak yang mengambil pendidikan lanjutan, misalnya strata dua (program magister)  atau bahkan strata tiga (program doctor).

  

Jumlah guru di Indonesia berdasarkan survey BPS, sebanyak 2,91 juta orang. Mereka adalah yang memiliki kelayakan mengajar karena sudah lulus D4 atau S1. Di antara para guru tersebut, 53, 91 persen atau 1,56 juta, di sekolah menengah pertama sebanyak 689.313 orang, dan dan di SMA sebanyak 321.964 orang. Sementara itu dari aspek wilayah, maka Jawa Barat adalah provinsi dengan guru layak mengajar terbesar, yaitu guru SD sebanyak 215.121, di SMP 93.141, dan SMA 37.833 orang (databoks, 26/11/2021). Dari  kualifikasi profesionalitas dan gelar tambahan bagi para guru memberikan indikasi, bahwa kualitas profesonal guru di wilayah Indonesia bagian barat lebih baik dibandingkan dengan kualitas professional guru pada wilayah Indonesia bagian Timur.

  

Di sini lain, kualitas program pembelajaran pada Lembaga Pendidikan di wilayah barat juga relative lebih baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya Lembaga Pendidikan di wilayah bagian barat yang terakreditasi lebih baik dibandingkan dengan akreditasi Lembaga Pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur. Jika dibaca lebih mendalam maka akan memberikan gambaran bahwa semakin tinggi background pendidikan para guru tentu akan berkorelasi dengan proses belajar mengajar yang dilakukan. Basis asumsinya bahwa semakin tinggi pendidikan maka tingkat kesadaran untuk melakukan perubahan dan kemampuan melakukan inovasi juga akan lebih tinggi. Jika semakin banyak guru yang berpendidikan lebih baik, maka akan semakin besar peluang untuk mencapai standart kualitas pembelajarann.

  

Sebenarnya pemerintah sudah menetapkan program yang berorientasi pada pemerataan pendidikan. Misalnya di RPJMN tahun 2014-2019, maka di antara visi Pendidikan Indonesia adalah peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan. Artinya, bahwa pemerintah akan berupaya secara maksimal untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan sebagai basis pelayanan pada sector pendidikan nasional. Itulah sebabnya, pemerintah tetap menyelenggarakan wajib belajar Sembilan tahun dan pada akhir RPJMN atau pada 2013 dilakukan upaya untuk mengubah kurikulum dengan Kurikulum 13 dan ditindaklanjuti dengan Pendidikan Menengah Universal (PMU) untuk tidak menyebut sebagai wajib belajar 12 tahun. Melalui konsep pendidikan universal, maka peran masyarakat untuk penuntasan pendidikan 12 tahun atau setaraf pendidikan  menengah. Selain juga dilakukan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).

  

Pada pemerintahan Presiden Jokowi, maka upaya ini juga dilanjutkan dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk merangkum seluruh program pendidikan di masa Presiden SBY. Melalui program ini diharapkan bahwa pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia akan terjadi, sebab tidak lagi terkendala biaya pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan. Melalui program ini maka tidak ada lagi anak Indonesia yang tidak sekolah pada usianya.

Namun demikian, program pemerataan pendidikan masih belum bisa terlaksana secara memadai. Secara sosiologis, bahwa ada kendala kewilayahan, kualitas SDM, dan relasi social di dalam dunia Pendidikan. Di kalangan masyarakat masih kuat anggapan, bahwa sekolah bukan upaya untuk penyiapan tenaga kerja. Masih kuat anggapan bahwa untuk menyiapkan anak Indonesia yang bisa bekerja adalah sejumlah pengalaman yang dijalaninya.

  

Jika ini yang terjadi, maka ada beberapa variable yang perlu dipertimbangkan  untuk melakukan kajian dan produk penelitian yang dapat memiliki signifikansi social. Di antara penelitian tersebut adalah: analisis factor relasi social dalam peningkatan pemerataan pendidikan, kualitas profesionalitas guru, program pembelajaran berbasis student centered dan perubahan social mind set masyarakat dalam penuntasan program pemerataan pendidikan. Pemerataan pendidikan terkait dengan indicator pemerataan kualitas lembaga pendidikan,  siswa yang terkait dengan  akses pendidikan, dan social respon masyarakat atas program pemerintah dalam bidang pendidikan.

  

Dengan demikian ada lima  variable yang dikaji, yaitu empat  variable bebas dan satu variable terikat. Saya kira hal ini bisa dilanjutkan sebagai penelitian utuk tesis atau untuk kepentingan pengembangan pendidikan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.