(Sumber : PPs PI)

Pendekatan Dialogis dan Integratif Islamic Studies

Opini

Jika kita baca kembali  Keputusan Presiden RI tentang transformasi institusi PTKIN dari IAIN ke UIN, maka di antara diktumnya adalah untuk mengembangkan ilmu keislaman dan ilmu lain yang mendukung ilmu keislaman. Jadi mandate Presiden atas pendirian UIN adalah mengembangkan ilmu keislaman sebagai core bisnisnya dan mengembangkan ilmu umum sebagai pendukung pengembangan ilmu keislaman. 

  

Keputusan  Presiden tentang alih status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, No. 31 Tahun 2002, maka di dalam salah satu diktumnya berbunyi: “Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mempunyai tugas utama menyelenggarakan program pendidikan tinggi bidang agama Islam dan program pendamping non agama Islam.” Artinya bahwa PTKIN dapat mengembangkan ilmu umum atau non agama Islam, selain ilmu-ilmu keislaman. 

  

Mandate UIN adalah mendirikan prodi keislaman dan  prodi ilmu umum  serta  ditambah dengan    prodi yang bercorak integrative. Pendekatan integrative artinya masalah dalam ilmu keislaman kemudian didekati dengan ilmu social, humaniora, serta sains dan teknologi. Ada fenomena social keislaman, kultur keislaman, ekonomi keislaman, sains keislaman yang bisa didekati dengan teori atau konsep-konsep dalam ilmu yang relevan. Misalnya fiqih social merupakan masalah dalam  kehidupan social umat Islam yang didekati dengan ilmu fiqih, atau fiqih ketenagakerjaan merupakan masalah ketenagakerjaan umat Islam yang didekati dengan teori-teori social, dan sebagainya. 

  

Sekali lagi mari kita bedakan antara ilmu keislaman, ilmu social, humaniora, serta sains dan teknologi pada PTKIN. Ilmu keislaman adalah ilmu yang dikaitkan dengan dunia teks suci dan non teks suci serta konteks kehidupan umat Islam. Sudah  sangat dipahami, bahwa ilmu keislaman itu tentu haruslah didekati dengan konsep atau teori ilmu keislaman. Lalu ilmu social, humaniora, sain dan teknologi adalah ilmu yang terkait dengan kehidupan umat manusia, tidak hanya umat Islam, sebab di sini ada grand concept atau grand theory yang bisa berlaku untuk umat manusia pada umumnya. Umat Islam hanya menjadi bagian saja dari grand theory atau grand concept dimaksud. 

  

Apa yang  terjadi adalah relasi antara agama dan sains yang bercorak otoritatif. Ilmu keislaman berdiri sendiri dengan teori, konsep dan masalahnya, sedangkan ilmu umum adalah ilmu yang berdiri sendiri dengan teori, konsep dan masalahnya sendiri. Sampai di sini belum tampak adanya upaya untuk melakukan integrasi ilmu. Masing-masing ilmu berkuasa untuk dirinya sendiri. Konsep ini dapat dikonotasikan dengan pendekatan monodisipliner, karena masing-masing ilmu secara otoritatif akan menyelesaikan problem akademiknya sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Program studi strata satu tentunya berada di sini. 

  

Untuk program studi strata satu, baik secara ontologis atau hakikat ilmu dan epistemologis atau metodologis ilmu  memang harus berada di dalam kawasan masing-masing. Untuk strata satu belum saatnya diberlakukan integrasi ilmu terutama dalam coraknya yang interdisipliner, crossdisipliner atau multidisipliner apalagi transdisipliner. Tugas seorang mahasiswa strata satu adalah menyelesaikan problem akademik dalam tataran monodisipliner. 

  

Sejauh yang bisa dilakukan adalah mengembangkan program saling menyapa atau  dialogis. Selama ini corak dialogis  ilmu dimasukkan dalam integrasi ilmu yang bernuansa interdisipliner, crossdisipliner, multidisipliner atau transdisipliner. Padahal pola dialogis “hanyalah” menemukan pembenaran atas gejala, fenomena, fakta atau realitas social berdasar atas kajian teks suci atau nonteks suci dengan cara membandingkan atau mendialogkan di antara cabang ilmu. Program ayatisasi fenomena, fakta atau realitas social keagamaan yang dilakukan oleh PTKIN adalah contoh pendekatan dialogis, sebagai tataran awal integrasi ilmu. 

  

Di dalam Al-Qur’an terdapat konsep ashabul yamin yang dapat diperbandingkan untuk menjelaskan atau memahami atas fakta atau fenomena prilaku baik atau prilaku kesalehan dan konsep ashabusy syimal yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan memahami perilaku buruk atau perilaku menyimpang. Jadi dalam mata kuliah sosiologi agama untuk program strata satu, maka tugas dosen dan mahasiswa adalah untuk memahami masalah-masalah akademis dalam kehidupan social dan kemudian diperbandingkan dengan teks suci atau nonteks suci. 

  

Lalu kapan integrasi ilmu akan dapat diberlakukan? Integrasi ilmu merupakan tugas pendidikan bagi mahasiswa strata dua dan strata tiga. Program magister atau doctor tidak lagi membicarakan pendekatan dialogis akan tetapi pendekatan integrative yang menghubungkan antara ilmu keislaman dengan ilmu umum. Jika ingin menjadi ilmu keislaman integrative, maka harus menjadikan masalah akademis dalam ilmu keislaman sebagai subyek kajian dan ilmu lain sebagai pendekatan. 

  

Program magister dan doctor PTKIN tentu sudah memasuki ranah integrasi ilmu. Misalnya dalam disertasi perilaku ekonomi masyarakat Islam dan didekati dengan teori fenomenologi, atau disertasi dalam manajemen pendidikan yang menjadikan masalah akademis dalam dunia pendidikan Islam dan didekati dengan teori-teori manajemen, atau tesis tentang tindakan komunikasi dakwah yang didekati dengan teori critical discourse analysis, atau masalah akademis dalam masyarakat Islam, misalnya keadilan berpoligami lalu didekati dengan teori konstruksi social. 

  

Studi ini akan menghasilkan teori baru, misalnya fenomenologi prilaku ekonomi syariah, teori religiositas menajemen Pendidikan Islam, teori kritis komunikasi dakwah, teori keadilan negositatif dalam perkawinan, dan sebagainya. Ini hanya sebagian kecil dari temuan-temuan teoretik yang dihasilkan oleh PTKIN dalam program integrasi ilmu. Jika prodi sarjana, maka dapat  menggunakan konsep otoritas dan dialogis, sedangkan untuk program magister dan doctor, maka harus menggunakan  pendekatan  integrative. 

  

Jika  seperti ini yang dipikirkan, maka diperlukan upaya untuk melakukan rekonstruksi kurikulum yang akan menggambarkan bagaimana kinerja pendekatan monodisipliner, interdisipliner, crossdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Untuk program sarjana maksimal berada di dalam  konteks pendekatan otoritas dan dialog, sedangkan untuk program magister dan doctor harus menggunakan pendekatan integratif. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.