Pendidikan Indonesia Terpuruk: Benarkah?
OpiniDiyakini atau tidak bahwa wabah Covid-19 memang memperparah kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Tidak hanya pada aspek ekonomi yang dirasakan masyarakat seluruh dunia, akan tetapi juga pada aspek pendidikan. Banyak analisis yang menyatakan bahwa dunia Pendidikan sungguh terpuruk dan bisa berpeluang menyebabkan terjadinya loss generation. Pendidikan yang sesungguhnya menjadi tulang punggung peningkatan SDM, akhirnya juga harus menyatakan bahwa terdapat kelemahan yang tidak bisa ditutupi dengan program pembelajaran daring, yang tiba-tiba saja harus dilakukan.
Pada program pendidikan dasar dan menengah sungguh terasa bagaimana pengaruh pandemi Covid-19. Sistem daring yang dipersiapkan tiba-tiba pada awalnya dan kelemahan infrastruktur pada level berikutnya menjadi salah satu yang dituduh untuk memperparah penguatan dan perbaikan program pendidikan nasional. Bagi program Pendidikan dasar, program daring sungguh tidak mudah karena kekurangsiapan siswa di dalam mengikuti program ini. Ada banyak keluhan orang tua ataupun guru terkait dengan kematangan mental siswa untuk mengikuti program daring. Berbeda halnya dengan kalangan mahasiswa yang tentu sudah memiliki kemampuan rasional untuk memilih mana yang terbaik di dalam kehidupannya, sehingga pilihan program daring tentu tidaklah masalah.
Yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia itu tertinggal tentu bukanlah orang sembarangan. Mas Menteri Nadiem A. Makarim, yang menyatakan bahwa pendidikan Indonesia di dalam 20 tahun terakhir mengalami penurunan kualitas. “sebelum pandemipun kita sebenarnya sudah ketinggalan, terutama dalam hasil Porgramme for International Student Assesment (PISA). Kita ketinggalan dari negara lain dalam bidang numerasi, literasi dan sains. Skor Indonesia tergolong rendah karena berada di peringkat 74 dari 79 negara. Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke enam dari bawah atau posisi 74 dengan skor 371. Dalam kategori kinerja sains berada di peringkat ke sembilan dari bawah atau posisi ke 71 dengan rata-rata nilai 396. Kemudian dalam bidang matematika, Indonesia berada di peringkat 73 dengan skor 379”. (Tribunnews.com, 28/09/2021).
Pendidikan Indonesia memang selama ini relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia, bahkan Asia Tenggara. Di antara faktornya tentu adalah kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Untuk wilayah Indonesia barat tentu tidak diragukan kualitasnya, akan tetapi untuk wilayah Indonesia timur tentu masih bisa dipertanyakan. Gap kualitas pendidikan tersebut yang selama ini belum bisa dipecahkan oleh pemerintah. Kesenjangan kualitas tersebut saling terkait dengan kualitas infrastruktur pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, dan kualitas pembelajaran yang memadai. Dan di era Covid-19, maka kualitas pendidikan tersebut semakin turun disebabkan oleh ketidaksiapan penyelenggaraan pendidikan berbasis teknologi informasi.
Sebenarnya, pemerintah sudah menyiapkan transformasi pendidikan dalam rangka menghasilkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Di antaranya adalah dengan menyiapkan platform-platform digital. Kemendikbud sudah merumuskan aplikasi-aplikasi pembelajaran untuk peningkatan kualitas pendidikan, akan tetapi problemnya adalah pada implementasi kebijakannya. Artinya, bahwa tidak semua institusi pendidikan telah siap untuk menggunakan platform digital sebagaimana yang diinginkan.
Pada masa Nadiem Makarim juga sudah dilakukan perubahan mendasar terkait dengan Ujian Nasional (UN), dan mengarahkan agar penilaian akan didekatkan dengan soal-soal dalam PISA, khususnya untuk numerasi, literasi dan sains. Soal untuk ujian akhir adalah soal-soal yang selama ini menjadi standart PISA khususnya untuk siswa usia di bawah 15 tahun. Soal-soal yang berstandart PISA akan diberlakukan untuk siswa SD/SMP/SMA. Harapannya bahwa pemetaan pendidikan bersifat local tetapi standartnya internasional.
Selain itu juga telah menerapkan kebijakan kurikulum merdeka belajar. Kurikulum ini yang diharapkan akan bisa menjadi pintu masuk untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kurikulum ini akan digunakan untuk mengganti atas kurikulum 13 (kurtilas) yang di masa lalu diagendakan untuk mengubah kurikulum KTSP yang juga dianggap sudah ketinggalan zaman. Kurikulum merdeka belajar ini akan lebih mengarah pada upaya untuk memperbaiki pembelajaran yang bersearah dengan kemajuan teknologi informasi. Makanya lembaga-lembaga pendidikan didorong untuk memperbesar kapasitas teknologi informasi dengan keberadaan WF, laptop/computer dan infrastruktur IT lainnya.
Sesungguhnya upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan sudah dilakukan secara optimal terutama pada level kebijakan, akan tetapi realitas empiris penerapannya ternyata tidak gampang. Ada banyak kendala yang dihadapi di lapangan, sehingga di sana-sini kebijakan tersebut belum optimal di lapangan. Sebagai akibat rendahnya kualitas implementasi kebijakan pada aras bawah, maka kebijakan-kebijakan Kemendikbud akhirnya tidak memiliki signifikansi perubahan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Dan problem lanjutannya adalah masih tetapnya kualitas pendidikan Indonesia yang berada di level bawah.
Wallahu a’lam bi al shawab.