Perjalanan Umrah: Thawaf Wada\' Pun Penuh Sesak (Bagian Keenam)
OpiniDi masa lalu, terutama pada waktu saya haji tahun 2000 dan 2003, jamaah haji tidak secrowded sekarang pada saat umrah atau haji kecil. Ketepatan waktu itu saya selalu berada di kloter-kolter akhir, sehingga jamaah sudah pada pulang. Tinggal kloter-kloter akhir saja sehingga nuansa di Kota Mekkah sudah tidak seramai pada saat puncak ibadah haji. Masjid sudah longgar dan bagi yang berkeinginan untuk mencium Hajar Aswad juga sudah berpeluang lebih terbuka.
Pada waktu saya menjabat di Kementerian Agama, maka tugas saya dalam kaitannya dengan jamaah haji Indonesia adalah melakukan penjemputan untuk jamaah dalam kloter akhir. Penjemputan ini dilakukan sekaligus untuk evaluasi di tiga Daerah Kerja (daker) di Arab Saudi, yaitu Daker Jedah, Mekah dan Madinah. Bahkan juga evaluasi gabungan. Hanya sayangnya dalam waktu yang sangat terbatas, lima atau enam hari. Jadi acaranya memang putar-putar di tiga daker dimaksud. Selain itu juga koordinasi dengan Konsulat Jenderal Indonesia di Jedah. Tulisan-tulisan saya tentang acara perjalanan ritual dan birokrasi ini sudah saya tuangkan di dalam buku saya: “Perjalanan Etnografi Spiritual” (2019).
Berdasarkan pengalaman saya, sesungguhnya umrah kali ini memang sangat mendebarkan. Jika saya pantau dari layar televisi di kamar hotel, nyaris tidak ada waktu senggang untuk tidak terdapat orang melakukan thawaf. Pada waktu thawaf umrah beberapa hari yang lalu, saya pikir karena factor waktu yang memang nuansanya crowded. Tetapi dengan mengamati layar kaca TV saya sampai pada kesimpulan bahwa jumlah jamaah umrah memang lagi puncaknya, dan ketika melakukan thawaf wada’ akhirnya pun merasakan betapa jamaah umrah memang luar biasa banyaknya.
Benar-benar crowded. Jika usia masih muda tentu bisa mengatur irama jalan. Bisa mengambil celah-celah untuk masuk dan merangsek ke depan. Akan tetapi orang yang usainya sudah melampaui angka 60 tahun, maka harus bersabar berjalan sesuai dengan iramanya. Jika di depan jalan ikut dan jika berhenti ikut. Cuma yang paling berat jika berhadapan dengan jamaah rombongan yang memiliki kekuatan besar dan ikatan kelompok yang kuat. Model begini yang membuat jamaah umrah dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, harus melangkah cerdik.
Untuk memasuki area Ka’bah, jika kita berada di pintu 89, maka harus memutar. Perjalanan memang hanya kira-kira 400 langkah. Seharusnya bisa menaiki lift sebelum di area tanda hijau. Tetapi saya terus saja jalan sehingga harus turun tangga agar bisa masuk ke area thawaf. Kira-kira 20 langkah menuju ke lambang hijau untuk memulai thawaf. Mula-mula agak di luaran, tetapi lama kelamaan bisa masuk ke area dalam. Terus berputar sampai benar-benar di dekat hijir Ismail, dan pada putaran ketuju selesai maka kita mendekat ke Kiswah Ka’bah. Sekarang agak susah untuk masuk ke Multazam. Ada jamnya untuk lelaki dan untuk perempuan. Otoritas kekuasaan Masjidil Haram benar-benar berusaha untuk memisahkan jamaah lelaki dan perempuan. Untuk salat sudah berhasil dilakukan, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Kata kuncinya adalah kesabaran, pelan-pelan dan menghayati atas keteladanan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW. Langkah kaki dari Hotel Movenpick ke area Thawaf dan balik lagi ke Movenpick kira-kira 4.200 langkah.
Pada waktu berada di Kiswah dengan menempelkan tangan dan dahi, maka di situlah doa-doa yang sungguh-sungguh diperlukan akan bisa dilakukan. Dimulai dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Semua doa sebaiknya didahului dengan bacaan shalawat. Demikianlah pesan Kiai Zainul Ibad di dalam bimbingan sebelum upacara dilakukan. Melalui washilah kepada Nabi Muhammad SAW, maka doa itu akan diterima langsung oleh Allah SWT. Kita tidak dikenal oleh Allah SWT karena ibadah kita yang minimalis. Tanpa prestasi agar dikenal Allah SWT. Makanya dengan melalui washilah kepada Nabi Muhammad SAW, maka doa akan dikabulkan oleh Allah SWT. Doanya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah perantara doa tersebut.
Di dalam salah satu tulisannya, Kyai Bisri Mustafa menjelaskan bahwa orang yang bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW itu diibaratkan sebagaimana kita itu melamar pekerjaan. Jika lamaran itu langsung, maka kita tidak tahu apakah lamaran itu diterima atau tidak karena kita tidak dikenal oleh pemilik perusahaan. Makanya, kita mencari orang yang dikenal oleh pimpinan perusahaan. Dan melalui orang yang dikenal oleh pimpinan pesusahaan, maka lamaran itu dipastikan akan diterimanya. Begitulah perumpamaan washilah kepada Nabi Muhammad SAW.
Bardasarkan pengamatan dan pengalaman, maka di saat berada di Kiswah Ka’bah dipastikan ada tangisan dari jamaah umrah. Bukan tangis kesedihan akan tetapi tangis kebahagiaan karena bisa berdoa di Rumah Allah SWT. Jika kita selama ini hanya membayangkannya, maka sekarang saatnya jamaah umrah menumpahkan segalanya.
Kerinduan yang sangat lama dipendamnya, akhirnya kesampaian juga. Beribadah di dekat Rumah Allah yang mulia, sumber energi dunia, yang sesungguhnya menjadi kerinduan bagi semua umat Islam di seluruh dunia. Tangisan tersebut menjadi pertanda atas kebahagiaan atas karunia yang telah diberikan Allah SWT kepada Jamaah Umrah.
Wallahu a’lam bi al shawab.