(Sumber : Dokumentasi Penulis )

Perjalanan Umrah: Thawaf yang Mendebarkan (Bagian Kedua)

Opini

Dari Jeddah ke Makkah Al Mukarramah kita naik bus kelas bisnis. Jumlah kursinya sedikit dan ada meja untuk menaruh makanan dan minuman. Perjalanan ini dipandu oleh Hasanuddin dan Nurah Fitri, mukimin di Mekkah. Sudah lama kedua orang pemandu ini melayani para KBIH atau Biro Travel Haji dan Umrah. Lebih dari dua tahun. Memandu jamaah haji dan umrah merupakan pekerjaannya. Jadi setiap hari mereka berdua melayani para tamu Allah yang akan beribadah umrah dan juga pada saat musim haji. 

  

Semalaman mereka itu melaksanakan pekerjannya, dan menurut Nurah bahwa tidurnya adalah ba’da shubuh sampai dhuhur. Ketepatan pada hari Jum’at, Nurah tidur di kamar saya dan istri. Tidak jarang mereka harus melayani para jamaah, mulai dari bus sampai pelaksanaan umrah dan juga di pemondokan. Saya sungguh mengapresiasi atas kerja mereka yang membantu para jamaah umrah dengan kesungguhan. Jika ada masalah di Haramain, maka mereka berdua yang akan menyelesaikannya.

  

Kami sampai di Jeddah kira-kira pada pukul 20.00 WAS. Setelah menyelesaikan  pemeriksaan paspor, maka kami berkumpul di ruang khusus penumpang Garuda, Lion dan Citilink. Tanpa saya duga akhirnya bertemu dengan Mas Dodi, yang di masa lalu menjadi komandan EMIS untuk aplikasi data Pendidikan Islam di Kementerian Agama. Rupanya Mas Dodi dan kawan-kawan akan pulang ke Indonesia. Mekkah dan Madinah sudah dilampauinya. Cukup lama menunggu di ruang, sebab menunggu bagasi yang harus dikumpulkan menjadi satu dalam rombongan. Kami mengikuti fatwa yang membolehkan memakai pakaian Ihram dari Jeddah. Kami shalat berjamaah untuk shalat ihram. Kyai Ibad yang menjadi imamnya. 

  

Menyusuri jalan tanpa hambatan Jeddah ke Mekkah, akhirnya kami sampai di Hotel. Sejenak ke toilet dan kemudian turun ke lobbi untuk persiapan ibadah Umrah. Hotelnya dekat dengan Masjidil Haram sehingga cukup jalan kaki saja. Shalat jama’ ta’khir dulu sebelum menuju ke tempat thawaf. Dari lampu hijau itulah thawaf dimulai. Kyai Ibad yang menjadi pemimpinnya dan kami para jamaah, mula-mula lelaki di bagian luar dan perempuan di tengah barisan, yang paling belakang adalah Mas Hasanuddin. Makin lama  jamaah semakin membludak. Luar biasa. Jika kita memasuki lampu hijau sampai miqat Yamani maka jama’ah itu benar-benar berdesakan. Nyaris tidak ada ruang kosong. Semua penuh sesak. Jama’ah dari berbagai negara semuanya berebut agar dapat menyelesaikan thawafnya dengan cepat. Jika kita masuk ke wilayah hijir Ismail, suasanya semakin crowed. Orang-orang Indonesia yang rata-rata badannya kecil, maka tidak kuasa melawan orang-orang Turki, Mesir atau orang-orang Afrika lainnya. Kita berdesakan dengan langkah yang tertunda. Badan didorong ke depan, sementara itu kaki tertahan. Pontang-panting ke depan, ke kiri dan ke kanan. 

  

Saya sungguh mengagumi Kiai Ibad. Di dalam usianya yang sudah mencapai angka 80 tahun, tetapi fisiknya benar-benar sehat. Memimpin jamaah dengan ketegaran fisik dan melantunkan doa-doa thawaf. Sungguh sebuah pemandangan yang mengagumkan tentang sosok Kyai yang kharismatis dan berperan besar dalam pengembangan pendidikan, baik pesantren maupun pendidikan umum dan pendidikan tinggi Islam. 

  

Doa itu dilantunkan bersahut-sahutan. Doa itu rasanya akan sampai di Arasy dan dijemput oleh para Malaikat yang ditugaskan oleh Allah sesuai dengan peran dan fungsinya dalam urusan ibadah umat manusia. Doa itu bermacam-macam dengan langgam bacaan yang bervariasi sesuai dengan asal daerahnya. Tetapi semua doa yang dilantunkan itu merupakan puja dan puji kepada Allah SWT. Doa yang mengagungkan Nama-Nya, menyucikan Dzat-Nya, dan doa untuk memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. 

  

Saya merasakan bahwa thawaf umrah yang dilakukan oleh muthawwifin ini seperti thawaf yang dilakukan pada saat ibadah haji. Begitu sesak dan banyak orang yang melakukannya. Nyaris tidak ada waktu luang. Jika kita ingin thawaf ba’da shubuh,  maka nuansa thawaf juga padat dengan jamaah, jika dilakukan di malam hari sebelum shubuh juga penuh sesak dan demikian juga dilakukan ba’da isya’. Bagi saya, bahwa thawaf umrah di bulan Rajab itu sama halnya dengan thawaf pada saat bulan Dzulhijjah atau musim haji. Bulan Ramadlan juga sama. Hal ini menandakan bahwa keinginan umat Islam untuk beribadah di dekat rumah Allah itu sangat luar biasa. 

  

Demikian pula saat melakukan ibadah Sa’i. saya melakukan sa’i dari lantai tiga. Naik lift dan kemudian melakukan sa’i. Di tempat sa’i juga berjubel. Kita bisa melihat manusia yang melakukan sa’i dalam aneka ragam kulit dan kesukubangsaan. Mereka semua mengikuti perjalanan sejarah Sayyidatina Hajar dan kemudian disyariatkan oleh Nabi Ibrahim sebagai bentuk upacara dalam haji dan kemudian dilaksanakan kembali sesuai dengan syariat yang diberikan oleh Allah oleh Nabi Muhammad SAW. 

  

Perjalanan dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dalam tujuh putaran. Pada tahun 2000-an hingga 2013-an, maka kaki kita masih bisa menjejak gundukan bukit Shafa atau Marwah, tetapi semenjak tahun 2017-an, maka sudah dibatasi dengan terali besi sehingga orang yang sa’i hanya bisa melambaikan tangan saja.  Jika kita sa’i dari lantai dua atau tiga, maka kita hanya melihat lobang yang dibatasi dengan tembok saja. 

  

Perubahan demi perubahan memang banyak dilakukan oleh penguasa Haramain, tentu saja terkait dengan jumlah jamaah haji yang semakin banyak dan juga jamaah Umrah yang semakin banyak juga. Pada musim haji kota Mekah kehadiran jamaah haji kurang lebih empat juta orang, dan di musim-musim umrah jumlah jamaah haji dari seluruh dunia kira-kira satu juta orang. 

  

Sesuai dengan jumlah umat Islam yang semakin banyak di seluruh dunia, maka jamaah haji atau umrah juga akan meningkat. Semua membutuhkan fasilitas akomodasi, transportasi dan konsumsi. Subhanallah.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.