Petisi, Guru Besar dan Demokrasi
OpiniDemokrasi memang tidak selalu tegak lurus dengan kejujuran, keadilan, equalitas dan keterbukaan. Demokrasi merupakan tujuan antara baik jangka menengah maupun jangka panjang tentang sebuah pemerintahan yang transparan, akuntabel, aceptabel dan responsibel yang memadai dengan final goal atau terminal akhirnya adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Salah satu instrument demokrasi adalah pemilihan umum, misalnya pilihan presiden dan wakil presiden, pilihan gubernur dan wakil gubernur, pilihan bupati dan wakil bupati dan juga pilihan legislative, baik pusat maupun daerah. Kualitas demokrasi tentu sangat ditentukan oleh kualitas pemilihan umumnya. Jika pemilihan umumnya berkualitas, maka demokrasinya juga akan berkualitas.
Namun demikian, salah satu kelemahan demokrasi adalah rendahnya literasi atas orang yang akan memilih. Mereka kebanyakan tidak mengenal siapa yang akan menjadi pemimpin negaranya, atau wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka bahkan tidak perduli siapa yang akan menjadi tempat menggantungkan asanya atas kehidupan politik, social dan ekonomi. Bahkan ada yang lebih ekstrim, “setan juga tidak apa-apa jadi pemimpin asal bisa memberikan uang yang banyak”.
Mungkin agak berbeda dengan Negara Barat yang masyarakatnya sudah well-educated dan sudah melek politik. Di dalam pemilihan presiden, maka mereka sudah memahami tentang apa visi dan misi calon presiden. Misalnya di kala Barack Obama terpilih menjadi presiden dari Partai Demokrat, maka visi dan misinya adalah mengusung perubahan. Barack Obama menggunakan retorika perubahan untuk membuat Amerika lebih disegani di dunia internasonal, lalu Donald Trump menjadi presiden dari Partai Republik dengan visi dan misinya mengembalikan kebanggaan dan kehormatan Amerika dalam relasi internasional. Jadi masyarakat lebih cenderung memilih kepada calon presiden yang ada kesamaan dengan sentiment kebangsaan.
Indonesia memang sedang berada di dalam transisi demokrasi. Sedang mencari bentuk. Dan sebagaimana negara yang baru saja pulih dari otoritarianisme, maka kemudian melakukan tindakan dengan meniru demokrasi ala Barat, one man one vote. Di sinilah akhirnya memantik tumbuhnya berbagai macam problem di antaranya adalah semerbaknya politik uang atau money politics. Bisa dibayangkan ada seorang anggota DPR yang dipastikan tidak dikenal oleh masyarakat tentang siapa dia, namun terpilih dari wilayah yang sungguh tidak memiliki preferensi untuk dipilih. Hal semacam ini bukanlah sesuatu yang mengherankan sebab begitulah realitasnya. Money politics bukan lagi dianggap sebagai barang “haram”, akan tetapi telah menjadi tradisi dalam upacara liminal pilpres lima tahunan. Bagi masyarakat, politik uang adalah bunga-bunga politik, sehingga jika tidak melakukannya malah menjadi bahan cibiran. Wani piro adalah bahasa masyarakat yang semuanya sudah mengetahuinya. No free launch atau tidak ada makan siang gratis.
Hal yang juga sungguh merisaukan akhir-akhir ini adalah perihal politik oligarkhi. Sesungguhnya politik oligarkhi merupakan bagian dari sejarah perpolitikan di Indonesia. Soekarno yang memang sibuk untuk menata pemerintahan, maka tidak sempat untuk mendudukkan putra-putrinya untuk menempati jabatan politik pada masa pemerintahannya. Soeharto sempat menjadikan putrinya, Tutut, untuk menjadi menteri, namun habislah riwayatnya seiring dengan keruntuhan pemerintahannya. Putra-putri Soeharto lebih banyak berkecimpung dalam dunia ekonomi dan bisnis, akan tetapi juga runtuh pada saat kejatuhan pemerintahan Orde baru.
Setelah era reformasi, barulah politik oligrakhi menjadi semakin semarak. Megawati dengan menggunakan nama besar Soekarno, maka dapat menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai rakyat. Megawati kemudian memasuki area politik oligarkhi dengan menjadikan Puan Maharani menjadi Menteri dan pimpinan DPR. Demikian pula SBY juga menempatkan putra-putranya dalam legislatif dan pimpinan Partai Demokrat (PD). Jokowi juga melakukan hal yang sama menempatkan anak dan menantunya dalam dunia politik. Ada yang menjadi pejabat public dan pimpinan partai politik dan bahkan yang lebih menonjol adalah dengan menempatkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden melalui jalur perubahan persyaratan usia untuk menjadi wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh adik iparnya, Anwar Usman. Meskipun dilakukan upaya untuk mendelegitimasi pencalonan Gibran, akan tetapi realitas politiknya jalan terus.
Akibat politik oligarkhi itulah maka memunculkan berbagai petisi yang dilakukan oleh para Guru Besar dari perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dimulai dari UGM, almamater Jokowi, maka petisi tersebut terus menggelinding ke berbagai PT. Ada sebanyak 30 PT (04/02/2024) yang melakukan petisi atas perpolitikan nasional yang dinyatakannya menyimpang dari koridor demokrasi. Petisi sesungguhnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mengingatkan dan menyarankan agar kembali ke regulasi terkait dengan pelaksanaan pemilu.
Ada tiga tipologi terkait dengan petisi para guru besar, yaitu: pertama, mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak membunuh demokrasi yang diperjuangkan bersama-sama. Dinyatakannya bahwa Jokowi sudah melakukan tindakan nir-demokrasi dalam pilpres 2024. Dengan mengubah UU Pemilu melalui MK yang tidak mencerminkan asas keadilan dan kepatutan, dan sarat dengan kepentingan dan nepotisme, maka para Guru Besar dengan keras mengingatkan Jokowi agar kembali ke rel undang-undang.
Kedua, seruan moralitas politik. Himbauan agar para pelaksana, kandidat dan pengusungnya menggunakan moralitas politik. Sudah dinilai bahwa di dalam pilpres ini ada banyak pelanggaran konstitusi dan perilaku nir-moral yang terjadi. Jika tidak dilakukan upaya untuk meluruskannya, maka bisa jadi akan menodai hasil pemilu yang sampai sekarang masih mengedepankan slogan kejujuran dan keadilan. Para pelaksana pemilu agar tetap berada di dalam koridor undang-undang pemilu yang sudah disepakati bersama.
Ketiga, agar tidak mengarah ke disharmoni bangsa. Berbagai ungkapan, pertentangan dan pertarungan di dalam medan politik, terutama di media social sudah mengarah kepada upaya untuk memecah belah masyarakat, maka perlu kembali ke jati diri pilpres adalah dengan memilih mana yang terbaik dari capres dan cawapres. Hendaknya para pelaksana dan masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani. Dan masyarakat pasti bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.