Politik Berkeadaban, Mungkinkah?
OpiniPada 21 Mei 2023 pagi, saya tiba-tiba dikirimi pesan melalui WA oleh Tika Azis, presenter TVRI Jawa Timur. Tika menanyakan kepada saya tentang tulisan yang saya unggah cukup lama, tahun 2010-an yang berjudul “Kyai, Santri dan Politik”. Tulisan tersebut saya unggah di nursyam.uinsby.ac.id. Saya menyatakan benar itu tulisan saya dan sudah lama saya tulis. Menurut Tika Azis, meskipun tulisan itu cukup lama, akan tetapi masih relevan dibaca untuk menggambarkan tahun politik 2024 yang akan datang.
Tika Azis tertarik dengan tulisan itu sebagai inspirasi untuk melakukan dialog politik khususnya tentang suara santri dan kyai dalam politik tahun depan. Tika Azis menjadi pemandu dalam acara “Rumah Demokrasi” dan pada hari Senin, 23/05/23 akan melakukan dialog dengan santri, akademisi dan tokoh partai politik dengan tema “Antri Rebutan Suara Santri”. Jadilah acara Rumah Demokrasi itu mengundang saya, Pak Budi Setiawan dari Partai Hanura dan Gus Abdul Adzim, tokoh pesantren yang berhikmat di RMI Jawa Timur. Acara yang menarik terutama dalam kaitannya dengan visi pesantren, kyai dan santri dalam pemilu yang akan datang.
Saya dimintai komentar tentang bagaimana suara santri bisa berpengaruh signifikan di dalam pemilu. Saya nyatakan bahwa santri itu mengalami perluasan makna. Jadi, di Jawa Timur terdapat 6.438 pesantren dan 995.300 santri dalam arti sempit dan santri dalam arti luas yang akan menjadi rebutan partai politik. Oleh karena jumlah santri yang banyak itu, maka partai politik pada berebut suara santri. Selain itu juga ada kyai, yang berdasarkan penelitian ternyata masih memiliki pengaruh suara yang signifikan. Secara structural dan kultural kyai masih memiliki pengaruh atas pemilihan prilaku politik.
Suara santri itu sangat variative di dalam dunia perpolitikan. Pesantren merupakan institusi social yang sangat demokratis. Artinya pesantren itu tentu bisa memandang partai mana yang dapat dijadikan sebagai artikulasi kepentingan. Di dalam melihat pesantren dengan kyai dan santrinya dapat menggunakan teori rasional choice, atau pilihan rasional di mana kyai dan santri dapat memilih seorang tokoh politik. Meskipun berbeda-beda dalam pilihan, maka yang penting adalah bagaimana membangun orchestrasi yang memadai. Biarkan masing-masing memainkan alat music yang berbeda tetapi dapat menghasilkan music yang nikmat didengar. Yang penting adalah produk akhirnya yaitu tetap menegakkan empat pilar kebangsaan.
Santri adalah pemilih konsisten, artinya jika satri itu sudah menentukan pilihan yang jelas, maka tidak akan pindah ke lain personal. Santri itu tidak terpengaruh dengan politik uang. Santri itu tahu apa yang akan dilakukan. Dan tidak ada masalah jika para kyai berbeda-beda fatwanya, akan tetapi santri nanti akan memilih sesuai dengan pilihan rasionalnya. Para santri itu tahu bahwa ada yang bisa dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan. Makanya, para santri itu adalah orang yang memiliki kesadaran politik yang tinggi untuk memilih siapa yang dianggapnya terbaik.
Pesantren itu lembaga pendidikan, maka core business pesantren adalah bidang pendidikan. Jadi selama partai politik bisa menawarkan kepentingan pesantren, maka para politisi akan memperoleh simpati dari para santri dan kyainya. Siapa yang bisa menawarkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pesantren, maka merekalah yang akan memperoleh keuntungan dari suara santri dimaksud. Oleh karena itu para politisi harus menawarkan program yang distingtif kepada pesantren agar mereka yang akan dipilih dalam pemilu.
Santri itu merupakan individu yang benar-benar sadar bahwa yang harus dilakukan adalah politik berkeadaban. Yaitu politik yang berbasis pada etika politik, yaitu politik yang tidak semata-mata untuk mengejar kekuasaan akan tetapi bagaimana mendayagunakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat. Jadi politik bukan untuk semata-mata artikulasi kepentingan individu, akan tetapi adalah kepentingan umat. Yaitu untuk kepentingan masyarakat agar lebih sejahtera hidupnya berbasis pada agama, keamanan dan kedamaian bangsa dan negara.
Santri memiliki seperangkat pengetahuan untuk memilih siapa yang terbaik dalam mengartikulasikan kepentingan umat. Orang yang paling sadar bahwa kepemimpinan itu memiliki tanggungjawab individual, social dan ketuhanan itu adalah santri. Mereka paham hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “kullukum ra’in wa kullukum mas ulun ‘an ra’iyyatihi.” Yang artinya: “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyakan kepemimpinannya.”
Meskipun demikian, tetap saja bahwa para santri harus diajari agar melek politik atau literasi politik. Mereka harus menggunakan haknya untuk kemaslahatan umat, jangan sampai urusan ini diserahkan kepada orang lain dan ujung-ujungnya mereka sendiri yang rugi. Tentu saja yang harus dilakukan adalah pendidikan politik etis atau politik berkeadaban. Pesantren jangan dijadikan sebagai lahan politik praktis, misalnya kampanye partai politik. Semua lembaga pendidikan, tempat ibadah dan kantor-kantor jangan digunakan sebagai tempat kampanye sebagai bentuk politik praktis, tetapi di pesantren dapat digunakan untuk mendiskusikan tentang kepemimpinan nasional, kepemimpinan yang berbasis moral atau etika ajaran agama, dan politik yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Jika bisa dilakukan seperti ini, maka demokratisasi yang diharapkan oleh banyak orang akan muncul dari pesantren, karena dunia pesantren adalah tempat berkembangnya politik berkeadaban yang sesungguhnya diharapkan untuk Indonesia ke depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.