(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Politisasi Pembatalan Penyelenggaraan Haji 2021 dalam Media Sosial

Opini

Jika menyimak perbincangan di media sosial, maka akan diketahui betapa riuh rendahnya perbincangan dalam banyak hal, baik politik, sosial, budaya dan bahkan agama. Dalam dunia sosial, apa saja bisa menjadi hiruk pikuk disebabkan tidak hanya sekedar sharing informasi, baik yang positif maupun yang negatif tetapi di dalam kerangka untuk membuat viral sebuah informasi maka dipekerjakan juga para buzzer atau pendengung yang hebat sehingga sebuat informasi menjadi trending topik. Dan untuk kepentingan ini sangat mudah dilakukan oleh para ahlinya.

  

Media sosial tidak hanya menjadi sarana untuk sharing informasi namun juga menjadi bisnis yang menggiurkan. Di tengah pandemic Covid-19, maka yang digunakan oleh banyak kalangan untuk berbisnis adalah melalui media sosial, baik WAG, facebook, IG,  twitter dan medium informasi lainnya. Melalui kanal youtube, maka dengan mudah bisa diketahui banyaknya ragam iklan dari berbagai produk. Bahkan di dalam dunia politik, media sosial bisa menjadi lahan bisnis terutama jika mengerahkan para buzzer. Jadi media sosial telah menjadi produksi berbagai konten untuk kepentingan bagi yang memerlukannya.

  

Seminggu terakhir kita membaca dan mendengar tentang penundaan pelaksanaan haji tahun 2021. Sebagaimana telah diumumkan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, 03/06/2021, bahwa pemerintah terpaksa harus membatalkan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021. Penundaan ini, dalam  perbincangan di media televisi sebagaimana diungkapkan oleh Moh. Yandri, Ketua Komisi VIII DPR RI, mitra Kemenag, bahwa ada beberapa factor yang menyebabkan  penyelenggaraan haji harus dibatalkan. Di antaranya, adalah untuk melindungi warga negara karena Pandemi Covid-19, untuk menjaga jiwa atau hifdzun nafs sebab pemerintah tidak menginginkan terjadi hal-hal buruk bagi Jemaah haji, persiapan haji membutuhkan waktu lama sehingga dikhawatirkan akan terjadi persoalan di negeri orang dan kepastian Saudi Arabia untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021 yang belum jelas. Untuk penyelenggaraan ibadah haji harus ada MoU antara Pemerintah Indonesia dan Saudi Arabia. Hingga hari ini, maskapai yang diberikan peluang untuk mendarat di Arab Saudi hanyalah terdiri dari sebelas negara, yaitu; Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Irlandia, Perancis, Italia, Portugal, Swiss, Jepang,  Swedia,  dan Uni Emirat Arab. Beberapa negara di Asia, seperti Malaysia, Pakistan, Turki dan negara-negera Teluk selain UEA juga belum bisa mengakses penerbangan ke Saudi Arabia. Maskapai-maskapai tersebut diperkenankan untuk landing di Arab Saudi dalam kapasitas penerbangan regular dan bukan untuk mengangkut Jemaah haji.

  

Informasi resmi pemerintah ini tentu tidak memuaskan calon jamaah haji Indonesia, sebab persiapan sudah banyak dilakukan, misalnya mengikuti vaksin meningitis, periksa Kesehatan dan juga persiapan fisik dan material lainnya. Kegelisahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh media sosial yang kontra pemerintah untuk mengunggah informasi tandingan dan untuk mempengaruhi masyarakat. Persoalan pembatalan haji 2021 dijadikan sebagai area untuk mencari panggung. Hanya sayangnya bahwa media-media mainstream yang menggunakan media on line justru yang banyak memberitakan terhadap penjelasan-penjelasan yang kontra pemerintah ini. Di tengah kapitalisme media, maka hal-hal yang dianggap tidak memuaskan public bisa menjadi lahan basah untuk dijadikan sebagai pengerek viewer, dan juga meningkatkan subscriber dan like.

  

Jika dicermati, maka ada beberapa content yang terdapat di media sosial, yaitu: pertama, anti Arab. Di media sosial, perdebatan antara kelompok Salafi Wahabi dengan Islam khas Indonesia atau Islam Nusantara memang lagi semarak, dan perdebatan itu tentu dilakukan dalam kerangka mempertahankan otoritas keagamaan oleh para da’i Islam Nusantara dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh da’i yang berafiliasi kepada Islam ala Salafi Wahabi. Upaya untuk melakukan counter attack itulah yang kemudian dianggap oleh sebagian kaum Salafi Wahabi sebagai anti Arab. Unggahan di Youtube oleh KH. Said Aqil Siradj, Gus Miftah, Gus Baha’ dan Gus Muwafiq itu dinyatakan sebagai gerakan anti Arab. 

  

Kedua, tentang Habib Rizieq Syihab (HRS). Diangkat ke permukaan bahwa tindakan pemerintah untuk mengadili HRS dianggapnya sebagai tindakan ketidakadilan dan mencederai para habaib. Padahal, para habaib adalah keturunan Nabi Muhammad saw dan dimuliakan di Arab Saudi. Tentu saja adalah para habaib yang tidak berseberangan dengan pemerintah Saudi Arabia. Di antara yang mengunggah hal ini adalah Rocky Gerung. Ketiga, konten di media sosial bahwa pemerintah RI tidak bisa membayar biaya perjalanan haji, pemondokan dan catering. Dinyatakannya bahwa dana haji digunakan untuk kepentingan pembangunan non biaya haji, sehingga pada saat harus membayar pembiayaan haji tidak dapat ditunaikannya. 

  

Dari pernyataan di media sosial ini betapa menggambarkan bahwa ada pihak tertentu yang mengaitkan dimensi politik dengan pembatalan perjalanan haji. Melalui logika yang sangat sederhana saja, bahwa penolakan atau gerakan anti Arab sungguh sesuatu yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh para ulama Indonesia. Yang sesungguhnya dilakukan oleh beberapa orang da’i di Indonesia adalah pembelaan dan upaya untuk mempertahankan pengamalan Islam yang selama ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengamalan umat Islam Indonesia. Mesti harus dipisahkan antara kepentingan politik Arab Saudi dengan perilaku sebagian kecil kaum salafi wahabi di Indonesia  dan para da’i yang berpolemik. Mungkinkah Arab Saudi akan menghentikan ibadah haji yang mengandung dimensi keilahiyahan dengan kepentingan sekelompok kecil orang. Ibadah haji tidak hanya berdimensi Syariah tetapi juga ekonomi. 

  

Melalui logika yang sederhana, maka juga tidak mungkin Pemerintah Saudi Arabia mengaitkan penyelenggaraan haji sebagai ibadah ritual internasional dengan persoalan HRS. Persoalan  HRS adalah masalah internal negara Indonesia, yang sesuai dengan kesepakatan bilateral tidak akan saling mencampuri urusan dalam negeri. Indonesia tidak akan mencampuri politik dalam negeri Arab Saudi dan sebaliknya. Dan yang sangat tidak masuk akal adalah pandangan ketiadaan anggaran untuk penyelenggaraan haji tahun berjalan. Sesuai dengan regulasi bahwa pengembangan amal usaha oleh Badan pemerintah (BPKH) tidak boleh merambah anggaran untuk penyelenggaran haji tahun berjalan. Perintah undang-undang ini tidak akan dilanggar oleh pengelola keuangan haji.

  

Dengan demikian, upaya untuk mempolitisasi pembatalan penyelenggaraan haji tahun 2021 sama sekali tidak beralasan. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat Indonesia mempercayakan kepada pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan haji setiap tahun. Masyarakat  Indonesia harus percaya bahwa pemerintah tentu tidak sembarangan untuk menetapkan suatu kebijakan tanpa melalui basis kajian dan pembahasan yang mendasar. Dan itu semua sudah dilakukan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.