Prestasi yang Tidak Bisa Dilupakan: Ditjen Pelayanan Haji dan Umrah
OpiniBerdasarkan atas undangan dari Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, seharusnya saya akan memberikan pembekalan pada Calon Pembimbing Jamaah Haji, pada hari Selasa, 19/11/2024, akan tetapi karena beberapa factor, maka diajukan pada Hari Ahad, 17/11/2024. Untunglah saya tidak memiliki jadwal khusus pada hari tersebut, sehingga saya bisa memenuhi perubahan jadwal dimaksud.
Acara kerja sama antara Kementerian Agama (Kemenag) atau Direktorat Jenderal Pelayanan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) dan FDK tersebut telah terselenggara dalam waktu yang cukup lama. Tentu tidak bisa terselenggara pada waktu terjadi wabah Covid-19 yang lalu. Acara bimbingan bagi Calon Pemandu Jamaah Haji dipandu Pardianto, Dosen Ilmu Komunikasi FDK dan diikuti oleh tidak kurang dari 100 orang. Tidak hanya peserta dari Jawa Timur, tetapi juga dari Sumatera dan Kalimantan. Pemaparan materi saya sampaikan dengan joke-joke yang bermanfaat. Saya sampaikan bahwa “hidup ini sudah susah, janganlah memberikan kesusahan baru. Semua peserta harus lulus, selama presensinya memenuhi standar.” Pernyataan ini disambut dengan riang gembira.
Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam acara ini. Pertama, penyelenggaraan haji merupakan tugas negara melalui Kemenag. Sebagai pelayanan public, maka penyelenggaraan haji harus berbasis pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang di dalamnya terdapat pelayanan public yang optimal dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam Undang-Undang ini di antaranya mengamanahkan agar pelayanan public tersebut memenuhi basis infrastruktur dan substansi pelayanan. Ada dua hal mendasar agar pelayanan menjadi berkualitas, yaitu: terpenuhinya Standart Pelayanan Minimal (SPM) dan adanya Standart Prosedur Operasional (SPO).
Secara operasional, maka pelayanan tersebut harus berbasis pada lima hal penting, yaitu: harus jelas tempatnya, harus jelas alurnya, harus jelas waktunya, harus jelas pembiayaannya dan harus jelas siapa yang melayaninya. Lima hal ini adalah prosedur kunci di dalam setiap pelayanan pemerintah. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, maka lima hal ini dapat direduksi menjadi tiga saja, yaitu: jelas prosedurnya (sesuai dengan aplikasi yang sudah disediakan), jelas waktunya (sesuai apilikasi), jelas dan mudah pengisian aplikasi dimaksud. Pelayan atau pegawai dan tempat sudah direduksi oleh system aplikasi yang bisa dilakukan dari rumah masing-masing.
Kedua, penyelenggaraan haji itu peristiwa public yang luar biasa. Bisa dibayangkan dalam satu waktu kita mengirimkan sebanyak 230.000 orang dengan variasi latar belakang sosial, kemampuan ekonomi, pengetahuan ibadah haji dan asal daerah yang berbeda. Mereka sangat variative dalam pendidikan, kemampuan berbahasa, dan juga kemauan untuk beribadah. Tidak ada negara yang mengirimkan jumlah orang sebanyak ini dari negara lain. Indonesia merupakan negara dengan jumlah peserta haji yang terbanyak. Jika negara Indonesia mengirimkan tentara ke negara lain untuk program bantuan militer, maka jumlahnya tidak mencapai angka 1.000 orang. Haji sungguh luar biasa. Itulah sebabnya selalu ada masalah terkait dengan jamaah haji meskipun sudah diantisipasi dengan sangat baik.
Disebabkan oleh penyelenggaraan haji melibatkan negara pengirim dan penerima, Indonesia dan Arab Saudi, maka juga terkadang ada hal-hal yang secara mendadak terjadi, misalnya regulasi yang ditetapkan menjelang jamaah haji akan berangkat. Misalnya pada tahun 2018, tiba-tiba ada kebijakan Kerajaan Arab Saudi untuk mengubah aplikasi Visa, sehingga terjadi masalah dalam hal yang sudah terbiasa dilakukan.
Jika kita analisis tentang bagaimana pelayanan Haji sebagaimana dilakukan oleh Ditjen PHU, Kemenag, maka pelayanan haji sudah sangat baik. Hal itu terbukti dari hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Resmi Negara, Badan Pusat Statistik (BPS), maka hasilnya setiap tahun mengalami kenaikan. Berdasarkan Survey BPS sampai tahun 2022 didapatkan angka kepuasan pelanggan, dari tahun ke tahun yang semakin menunjukkan kualitas terbaiknya. Pada tahun 2017 sebesar 83.88 persen, pada tahun 2018 menunjukkan angka 85,23 persen, tahun 2019 menunjukkan angka 85, 91 persen. Survai ini menyangkut variable-variable: pelayanan ibadah (87.77 persen), petugas catering (87,72), pelayanan petugas haji (87,66 persen), pelayanan bus antar kota (87,35 persen), pelayanan hotel (87,21) dan lain-lain (85,41 persen), pelayanan catering Armuzna (87,40 persen) dan tenda Armuzna (76,92 persen). Ini merupakan data riil yang tidak terbantahkan.
Kemudian, juga menajemen haji Indonesia merupakan tata Kelola penyelenggaraan haji yang sudah menjadi contoh dari negara-negara lain. Paspor model Indonesia dianggap sebagai model paspor yang sangat baik dan sudah dicontoh oleh negara-negara lain. Penataan manajemen haji sudah dilakukan oleh Menteri Agama, DR. Maftuh M. Basuni, yang dikenal sebagai seorang Menteri yang sangat peduli dengan masalah perhajian di Indonesia. Masih bisa diingat konsep first come first serve.
Dua hal, yaitu kepuasan pelanggan haji dan manajemen haji yang sudah sangat baik dan merupakan legacy yang dihasilkan oleh Ditjen PHU yang sudah diakui oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Hasil survey oleh BPS sebagai Lembaga negara yang paling otoritatif dalam survey tentu menjadi bukti bahwa penyelenggaraan atau pelayanan haji sudah sangat memadai. Demikian pula pengakuan tata Kelola oleh negara-negara lain.
Ketiga, Pemerintah Prabowo sudah mengubah otoritas penyelenggaraan haji dari Kemenag ke Badan Haji. Artinya bahwa tahun depan urusan haji sudah bukan lagi pelayanan public Kemenag. Hanya sayangnya, bahwa yang dibentuk bukan Kementerian tetapi Badan, sehingga tidak aple to aple dengan Kementerian Haji di Arab Saudi. Padahal dalam urusan yang sangat besar seperti haji, maka harus ada kesamaan otoritas dalam penyelenggaraan haji. Semestinya yang dibentuk oleh Pemerintahan Prabowo adalah Kementerian Haji, Umrah, Zakat dan Wakaf. Hal ini untuk mengimbangi Wizaroh Haj di Arab Saudi. Diperkirakan akan terdapat kendala dalam otoritas haji di masa depan.
Hal ini yang diperlukan juga untuk bisa melebur Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi satu bagian dari kementerian ini. Bisa dijadikan sebagai Deputi Pengelola Keuangan Haji, sehingga akan terdapat efisiensi yang lumayan memadai. Kementerian ini akan bisa menjadi tempat bagi Badan Wakaf dan Badan Amil Zakat untuk menjadi deputi-deputi, sehingga akan terdapat efisiensi yang memadai. Saya kira masih ada peluang untuk meninjau ulang atas Keputusan Presiden tentang nomenklatur Kementerian.
Hal yang tidak bisa diubah hanyalah Kitab Suci, sebab di dalamnya terdapat kalam Tuhan yang tidak bisa diubah oleh umatnya. Misalnya Alqur’an, tentu akan abadi sepanjang sejarah kemanusiaan semenjak Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman.
Wallahu a’lam bi al shawab.