(Sumber : Islami.co)

Problem Forum Eksternum: Perlu Kedewasaan Beragama (Bagian Satu)

Opini

Sebagai konsekuensi atas dipilihnya  relasi agama dan negara yang bercorak  symbiosis mutualisme dalam bentuk agama public, maka tentunya relasi antara agama dan masyarakat serta  relasi antar dan intern umat beragama menjadi bagian tidak terpisahkan dalam system kemasyarakatan dan kenegaraan. Dalam bahasa yang lebih sederhana dinyatakan agama membutuhkan negara untuk mengatur relasi antar umat beragama dan negara memerlukan agama sebagai basis moralitas dalam mengatur masyarakat dan negara. 

  

Sangat berbeda dengan negara yang bercorak  secular, maka relasi agama dan negara tidak saling memerlukan. Agama berada di tempatnya sendiri dan negara berada di tempat lain. Masing-masing entitas memiliki otoritasnya sendiri-sendiri yang tidak saling mencampuri. Negara-negara di Eropa dan Amerika menganut system relasi agama dan negara dalam coraknya yang secular. Corak relasi symbiosis mutualisme juga  berbeda dengan relasi agama dan negara yang menyatu atau integrated, sehingga antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Negara-negara di Timur Tengah menggunakan system ini di dalam mengatur relasi antara agama dan negara. Hukum agama dijadikan sebagai hukum negara,  meskipun hukum dan implikasinya tergantung pada penafsiran ulama yang dijadikan sebagai rujukan. 

  

Meskipun Indonesia secara umum merupakan negara yang aman dan damai, bukan berarti tidak terdapat isu-isu yang bisa saja membuat disharmoni antar penganut agama. Di antara problem tersebut terkait dengan penyebaran agama yang dilakukan oleh berbagai penganut agama di Indonesia. Memang yang menjadi masalah dalam relasi antar umat beragama, khususnya di era media social, adalah terkait dengan penyebaran agama. Forum  eksternum dalam relasi antar umat beragama. 

   

Di antara kecenderungan umat beragama adalah memposisikan diri di tengah truth claimed atas agama yang berlebihan. Dan ini dialami oleh seluruh penganut agama. Truth claimed tidak hanya dimiliki oleh umat agama tertentu. Hanya tensinya ada yang berlebihan, moderat dan permisif. Hal yang berlebihan misalnya kaum ekstrimis yang kemudian selalu menyalahkan pemahaman dan praktik keagamaan yang dilakukan oleh kelompok lain yang berbeda tafsir atas agamanya dan melakukan Tindakan ekstrim atas keyakinannya. Jangan lupa bahwa yang moderatpun juga bisa menjadi ekstrim jika hanya menganggap bahwa tafsir agamanya saja yang benar dan yang lain salah. Tetapi tentu tidak akan sampai melakukan kekerasan actual. Hanya saja,  melalui paham moderatisme dalam agama, maka arah menuju ekstrim dengan Tindakan kekerasan itu akan dapat dieliminasinya. 

  

Akhir-akhir ini, banyak dijumpai penayangan video di youtube dalam tajuk menjelaskan tentang kebenaran Islam terutama Kitab Suci Al-Qur’an dengan membandingkannya pada Kitab Suci dalam agama Kristen dan Katolik. Orang kebanyakan menyebutnya sebagai injil atau bible. Kitab ini terdiri dari Kitab Perjanjian Lama yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Kitab Perjanjian Baru yang diturunkan kepada Yesus Kristus. 

  

Namun demikian di dalam tayangan Youtube,  ada beberapa koreksi di dalamnya misalnya injil itu penyebutan di dalam Islam.  Kitab injil  dikaitkan dengan kitab suci yang pernah diturunkan  kepada Nabi Isa dan tidak berlaku pada masa sesudahnya, terutama setelah diturunkannya Nabi Muhammad SAW. Alqur’an merupakan kitab suci untuk umat manusia pada masa Nabi Muhammad SAW dan seterusnya.  Saya menggunakan istilah Bible sebagai Kitab Suci dalam agama tersebut.

  

Jika kita dengarkan, tayangan-tayangan di media social, misalnya channel Rhoma Irama Official, atau Channel Curhat Bang oleh Denny Soemargo benar-benar “menguliti” kesahihan Bible sebagai Kitab Suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Kristen dan Katolik. Ada banyak tayangan yang dapat kita dengarkan di Youtube. Tema yang diusung oleh berbagai tayangan di Youtube tersebut mengungkap tentang kajian ilmiah atas kebenaran beberapa peristiwa di dalam Al-Qur’an dan juga kajian ilmiah berbasis pendekatan rasional  tentang kebenaran Al-Qur’an dan “menyalahkan” teks Bible, yang dianggpnya tidak orisinil sesuai dengan teks di masa Nabi Isa. Juga dinyatakan bahwa ada penafsiran-penafsiran para ulama Kristen dan Protestan yang kemudian menjadi bagian dari teks di dalam Bible. Kitab ini juga ditulis jauh waktunya  setelah Nabi Isa wafat dan ada varian-varian teks di dalamnya. 

  

Dinyatakan,  Al-Qur’an dan Bible sungguh  berbeda.  Al-Qur’an  dikodifikasi hanya beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Al-Qura’n tersebut ditulis oleh para Sahabat Nabi Muhammad SAW di  kulit onta, pelepah kurma atau batang pahon kering dan kemudian ditashih dulu sebelum disimpan. Nabi Muhammad SAW terlibat di dalam proses pemeriksaan bacaan teks  tersebut. Di saat banyak ulama yang hafal teks Al-Qur’an wafat,  maka kemudian Khalifah Usman mengkodifikasikannya menjadi sebuah Mushaf yang berlaku hingga sekarang. Orisinalitas Alqur’an sangat terjaga. Sementara Bible tidak terjaga. 

  

Problem yang dihadapi dalam relasi antar umat beragama adalah di kala teks yang dianggap paling suci disalahkan. Di sinilah akan memunculkan prasangka yang dapat menimbulkan peluang disharmoni social. Pengungkapan yang sedemikian jelas tentang “kesalahan” di dalam teks suci tersebut tentu saja akan dapat “menyakiti” perasaan dan hati para pemeluk agama yang bersangkutan. Di satu sisi seseorang mengungkapkan “kebenaran” agama dari perspektif logika atas kebenaran kitab sucinya, akan tetapi di sisi lain bisa menyebabkan masalah disharmoni social karena analisis atas “kesalahan” teks suci agama lain tersebut.

  

Di sinilah diperlukan kedewasaan beragama. Jika ada seseorang yang beragama Islam mengungkapkan atas kebenaran agamanya dengan pengungkapan kebenaran teks sucinya, seperti Al-Qur’an maka yang beragama lain harus bertindak dewasa atas penafsiran tersebut, dan sebaliknya jika teks suci agama Islam dinyatakan terdapat “kesalahan” dan diungkapkan di ruang public seperti media social juga harus diterima sebagai “kenyataan” tafsir atas agama yang lain dimaksud. Prinsipnya harus saling menerima dari para penganut agama.  Jadi bukan kala ada tafsir tentang kesalahan teks agama lalu dianggap sebagai penyimpangan atau deviasi, lalu dilakukan tindakan ekstrimitas yang menghancurkan. 

  

Kita sedang berada di dalam pasar raya tafsir teks, baik intern beragama atau forum internum dan antar umat beragama atau forum  eksternum, maka yang diperlukan adalah saling memahami perbedaan tafsir, adanya saling perbedaan dalam kebenaran dan saling memahami atas kebenaran tunggal atas  masing-masing tafsir atas teks, seraya saling memahami bahwa demikianlah dunia keyakinan beragama. Truth claimed atas agama harus ada dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun kecuali para penafsir agama sendiri yang memang memiliki otoritas di dalam penafsiran atas teks agama. Jika  ada tayangan “menyalahkan” atas Teks suci yang diunggah di media social, maka hendaknya “dilawan” dengan penayangan “menyalahkan” atas teks di media social juga. Dari sinilah “keseimbangan” akan terjadi. Dan dipastikan orang akan berpikir tentang kebenaran. 

  

Jika tidak demikian jalan yang dipilih, maka dipastikan akan terjadi disharmoni intern maupun antar umat  beragama. Truth  claimed atas penafsiran agama justru dapat menjadi kekayaan kemanusiaan, yang Tuhan sendiri memberikan peluang berbeda dan manusia diperkenankan memilih mana yang dianggapnya benar sesuai dengan keyakinannya. Mari kita semua beragama secara dewasa. Dan terbukti masyarakat beragama di Indonesia bisa. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.