(Sumber : Islami.co)

Problem Forum Internum: Diperlukan Kedewasaan Beragama (Bagian Dua)

Opini

Jangan dikira bahwa intern umat beragama itu selalu berada di dalam nuansa toleransi dan keharmonisan. Berbeda dengan relasi antar umat beragama yang jelas-jelas garis demarkasi perbedaannya,  misalnya dalam perbedaan teologis, ritual dan ekspresi beragamanya, tetapi di dalam intern umat beragama juga terdapat perbedaan yang menyangkut dalam banyak hal. Tentu perbedaan itu difasilitasi oleh penafsiran atas ajaran agama. Meskipun berada di dalam satu keyakinan beragama, misalnya sama-sama sebagai umat Islam, akan tetapi ada perbedaan tafsir atas teks agama. 

  

Sebagai bagian dari umat Islam, saya ingin memberikan gambaran bagaimanakah nuansa problem forum internum dimaksud di dalam agama Islam. Saya tidak akan memasuki kamar orang lain yang beragama lain, meskipun kita semua tahu bahwa semua agama memiliki problem forum internum di dalam agamanya masing-masing. Factor mendasar yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah penafsiran ulama masa lalu, misalnya masa tabiin atau tabiit tabiin. Pada masa sahabat pun sebenarnya juga terdapat perbedaan, akan tetapi karena hidupnya bersamaan dengan Nabi Muhammad SAW, maka semua perbedaan dikembalikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adakalanya Nabi Muhammad SAW mendiamkannya, menyatakan dan melakukannya. Inilah yang kemudian disebut sebagai sunnah rasul. 

  

Di dalam khazanah ilmu keislaman, khususnya ilmu fikih, maka dikenal ada banyak madzhab atau aliran di dalam Islam, dan yang paling dominan adalah Madzab Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. masing-masing madzhab tentu saja berisi tentang penafsiran ulama yang bersangkutan. Kemudian di dalam bidang teologi dikenal ada beberapa aliran, di antaranya adalah Aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Ahli Sunni, aliran Khawarij dan sebagainya. Masing-masing memiliki argumentasi sesuai atas pemahaman atau penafsiraran para ulamanya.  Dalam bidang tasawuf juga terdpat aliran-aliran, sebagaimana direprensentasikan oleh pemukanya, misalnya Imam Ghazali, Junaid Baghdadi, Dzinnun Al Mishri, Al Hallaj dan sebagainya. 

  

Penafsiran ulama di masa lalu tersebut  kemudian memantik perbedaan pemahaman, sikap dan tindakan beragama pada masyarakat sekarang. Disebabkan tidak semua orang Islam memahami teks suci dan hal-hal yang diatribusikan kepada Teks, maka kemudian muncul orang-orang yang ittiba’ kepada ulama masa lalu, yang juga dikenal sebagai ulama salaf yang saleh, al salaf al shaleh. Banyak amalan beragama yang disandarkan kepada para ulama tersebut, sehingga yang dilakukan oleh umat Islam kebanyakan berasal dari penafsirannya. Saya kira di Indonesia yang kebanyakan umat Islam dikategorikan sebagai muslim awam, maka tidak ada yang beragama dengan mengakses langsung kepada Alqur’an dan sunnah. Apapun aliran keagamaannya.

  

Sayangnya, bahwa penafsiran-penafsiran itu dianggapnya sebagai kebenaran mutlak, sehingga menyebabkan terjadinya truth claimed yang berlebihan bahkan tidak hanya menyalahkan akan tetapi juga menghalalkan darahnya. Jika seorang muslim sudah dilabel sebagai kafir karena amalan ibadahnya, maka bisa dibunuh. Sejarah juga berisi bercak-bercak darah karena truth claimed yang sangat kaku. Bukankah terbunuhnya Sayydina Ali Karramahullahu wajhah oleh kelompok Khawarij yang berpandangan bahwa Sayyidina Ali sudah tidak menggunakan hukum Islam, sehingga orang yang tidak berprinsip  “la hukma illa lillah”, maka harus dihukum mati dengan berbagai cara.

  

Pertarungan terus terjadi hingga dewasa ini. Sekelompok orang Islam yang sering dilabel sebagai kelompok Islam Salafi Wahabi juga terus melakukan upaya untuk “mengobrak-abrik” pemahaman beragama di Indonesia. Islam Indonesia dihuni oleh orang-orang Islam yang kreatif terutama di dalam ekspresi keberagamannya. Makanya dikenal di Indonesia akan corak keislaman yang warna-warni, heterogeen dalam pemahaman dan ekspresi beragamanya. Berbeda dengan Islam di Arab Saudi yang homogeen, maka di Indonesia sungguh tidak bisa dipersatukan dalam paham dan ekspresi keberagamaannya. Masing-masing mengagungkan atas paham dan ekspresi keberagamaan para ulamanya. Termasuk yang paling keras di dalam memegang “kebenaran mutlak” tafsir agamanya adalah kaum Salafi Wahabi, Salafi Takfiri dan Salafi Jihadi. 

  

Saya pernah menulis tentang “MBS, Salafi Wahabi dan Modernisasi Arab Saudi” , 10/04/2023, dengan sebuah hipotesis bahwa di kala Arab Saudi semakin modern dan mendapatkan tantangan dari ulama-ulama Salafi Wahabi, maka pemerintah akan melakukan control yang kuat atas ulama-ulamanya, sehingga mereka akan migrasi ke berbagai negara dan salah satunya di Indonesia. Inilah tantangan moderasi beragama yang sedang menjadi gerakan nasional. Dewasa ini banyak ulama Salafi Wahabi yang memberikan ceramah agama di Indonesia, termasuk juga ulama Salafi Wahabi yang sudah di Indonesia. Ada banyak hal yang dicampuradukkan antara tradisi Islam dan fiqih ibadah, sehingga membuat “kalang kabut” umat Islam Indonesia, khususnya Islam ala Ahli Sunnah Wal Jamaah.

  

Belakangan, yang viral adalah ceramah Syekh Hasyim Al Hakim, yang menganggap bahwa membaca Surat Al Fatihah untuk memulai acara keagamaan dan lainnya adalah bidh’ah, karena tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Selalu dan selalu begitu alasannya. Semua yang tidak ada dalam sunnah Nabi dianggapnya bidh’ah dan yang bidh’ah itu dhalalah dan yang dhalalah masuk neraka. Makanya kemudian viral juga jawaban ulama-ulama Indonesia tentang bagaimana tradisi membaca Al Fatihah itu dilakukan oleh ulama-ulama masa lalu dari berbagai madzab di dalam Islam yang bersumber dari  sunnah rasul. 

  

Ceramah Syaikh Hasyim ini lantas mendapatkan pembahasan dalam berbagai channel, misalnya Abu Arfan, Channel Guru Kami, Adi Hidayat Official, dan lain-lain. Kemudian yang membela atas pernyataan Syekh Hasyim adalah Cahaya Hidayah. Kita bersyukur memiliki ulama-ulama sekaliber UAS, UAH, Buya Yahya, Gus Baha’, Gus Muwafiq dan lainnya yang memiliki kedalaman ilmu keislaman. Dari merekalah sesungguhnya kita mendapatkan penjelasan secara memadai tentang pemahaman dan ekspresi keberagamaan umat Islam, khususnya di Indonesia. Melalui penjelasan tersebut maka akan membuka pintu untuk pengkajian lebih lanjut. 

  

Problem forum internum bisa diselesaikan dengan cara yang sangat rasional-historis. Tidak hanya pemahaman literal teks tetapi bagaimana teks tersebut pernah hidup, dilakukan dan dikembangkan di masa lalu melalui pemahaman yang variative. Melalui penjelasan-penjelasan dari ulama Indonesia yang moderat tersebut, akhirnya masyarakat akan dapat menilai manakah tafsir atas ajaran Islam yang selaras dengan masyarakat Indonesia, dan mana yang hanya selaras dengan masyarakat Saudi Arabia. 

  

Kita semua tentu berharap meskipun bisa terjadi gelombang migrasi pemahaman Islam ala Salafi wahabi berbasis pada ulama-ulama yang datang ke Indonesia, akan tetapi melalui tafsir agama sebagaimana yang dikembangkan oleh ulama-ulama Indonesia, maka potensi untuk mengembangkan pemahaman dan ekspresi moderasi beragama akan terus berlanjut. Hanya saja diperlukan penguasaan media social yang baik dari kalangan kaum Islam moderat, sehingga akan dapat mengimbangi chanel-chanel Islam Salafi Wahabi yang luar biasa pesatnya. Khusus generasi muda sungguh diperlukan upaya literasi media, sehingga tidak akan jatuh ke dalam pelukan chanel Islam “garis keras” yang tentu tidak akan menguntungkan Keindonesiaan, Keislaman dan Kemodernan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.