Radikalisme Bisa Menyasar Siapa Saja
OpiniPada masa lalu, jika orang Madura ditanya apa agamanya, maka jawabannya: “NU”. Statemen ini memang menggambarkan betapa orang Madura itu menjadikan NU sebagai ekspresi keberagamaannya. Tentu saja bukan dimaksudkan untuk menyamakan Islam dengan NU, tetapi telah melekat di dalam dirinya, bahwa NU adalah ekspresi keberagamaan, sehingga ketika menyebut Islam, maka yang menjadi lambangnya adalah NU. Jadi NU telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari orang Madura. Memang bisa saja ungkapan ini adalah gurauan, tetapi yang jelas bahwa menjadi Madura itu sama dengan menjadi NU.
Madura memang memiliki kekhasan dalam pengamalan beragamanya. Di Madura, setiap rumah memiliki mushalla. Sebuah mushalla keluarga yang dilestarikan bahkan hingga kini, meskipun tentu terdapat perubahan. Keberadaan mushalla di setiap rumah itu memberikan gambaran bahwa religiositas orang Madura tidak layak dipertanyakan. Secara khusus, keberagamaannya itu sesuai dengan tradisi NU, atau tradisi Islam ahlu sunnah wal jamaah. Orang Madura mungkin tidak tahu secara tepat struktur NU sebagai sebuah organisasi, akan tetapi NU sebagai tradisi sangat dikenalnya.
Realitas sosial tersebut tentu tidak lepas dari peran kiai-kiai Madura yang memang sangat powerfull dalam otoritasnya untuk mempertahankan dan mengembangkan Islam ala ahlu sunnah wal jamaah atau NU. Dimulai dengan Kiai Kholil Bangkalan yang sangat kharismatis dan inspirator berdirinya NU dan murid-muridnya yang tersebar di seluruh Nusantara, kemudian menjadi pengembang bagi pertumbuhan NU hingga sekarang. Meskipun ada juga kiai yang memperoleh sentuhan lain, karena belajar di pesantren-pesantren modern, akan tetapi akar sosial sebagai keluarga besar NU tetap terjaga. Baik di kala NU menjadi jam’iyah siyasah maupun jam’iyah diniyah, maka komunitas NU di Madura nyaris tidak terpengaruh. Terkecuali misalnya kala Masyumi didirikan, maka banyak di antara mereka yang kemudian berafiliasi ke dalam Masyumi bahkan juga di kala Masyumi dibubarkan pada Era Orde Lama. Tetapi secara umum, bahwa Madura itu identik dengan NU kiranya tidak terbantahkan.
Namun demikian, tentu tidak ada yang terus menerus ajeg tanpa perubahan. Perubahan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Baik dalam skala kecil maupun besar. Baik dalam level atas maupun bawah. Semuanya dipastikan terkena perubahan sosial. Di antara perubahan sosial tersebut adalah mengenai paham keagamaan. Di beberapa wilayah di Madura, khususnya Pamekasan, sudah dikenal sebagai tempat yang menjadi basis bagi berkembangnya Islam salafi. Bahkan dikenal konsep Salafisme Nahdhiyin yang dilabelkan kepada orang-orang yang masih mengakui NU sebagai jam’iyah diniyah tetapi berpaham salafi, atau yang juga kemudian dikenal sebagai sayap konservatisme NU.
Sayap konservatisme-NU ini tentu terkait dengan faktor eksternal misalnya perubahan politik. Memang harus diakui bahwa organisasi macam apapun akan mengalami perubahan kala bertemu dengan politik, terutama kekuasaan politik. NU merupakan organisasi berbasis social keislaman yang juga sering ketarik-tarik dalam pusaran politik, sehingga warga nahdhiyin juga terkena imbasnya atas determinasi politik dimaksud. Terbentuknya sayap NU-Konservatif atau Salafisme-Nahdhiyin, bisa dilihat sebagai bagian dari dinamika politik yang terjadi pada saatnya.
Bahkan yang lebih mendalam adalah di kala peristiwa ditangkapnya seorang Kepala Sekolah di Sumenep. Achmad Fauzi adalah seorang Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Manding Sumenep telah ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror dan diduga sebagai bagian dari jaringan teroris. Ia ditangkap oleh Densus 88 Anti terror pada 28 Oktober 2022. Keterlibatan Achmad Fauzi sebenarnya sudah diketahui oleh Pemda Sumenep sehingga juga sudah pernah dibina agar melepaskan diri dari jerat gerakan terorisme. Tetapi ternyata indikasi keterlibatannya masih dapat dikenali, sehingga Densus 88 Anti Teror menangkapnya. Selain Achmad Fauzi juga ditangkap beberapa orang yang diduga terlibat di dalam gerakan terorisme di Sumenep. Mereka dtengarai terlibat di dalam kegiatan-kegiatan pengajian yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan terorisme yang mulai terdapat di Sumenep, meskipun belum bergerak secara lebih masif. Tetapi yang jelas bahwa simpul-simpul gerakan tersebut sudah terdapat di wilayah ini.
Di dalam melakukan penangkapan terhadap terduga teroris tentu Densus 88 Anti Teror sudah melakukan pelacakan yang sangat mendasar. Dimulai dengan deteksi jejaring media sosial, keterlibatan di dalam jejaring dan juga aktivitas yang berpotensi menggerakkan terorisme. Dan hal tersebut sudah dilakukan dalam waktu yang sangat cukup. Misalnya dalam penangkapan kepada mantan Napiter, Miftahul Munif, meskipun yang bersangkutan tidak terlibat di dalam bom bunuh diri di Gereja Surabaya, akan tetapi posisi yang bersangkutan sebagai mantan Amir Jamaah Ansharud Daulah (JAD) di Surabaya, maka dia diketahui semua jejaringnya dan akhirnya juga harus ditangkap terkait bom bunuh diri dimaksud.
Gerakan terorisme memang masih bisa untuk diminimalisasikan. Akan tetapi tidak bisa dihilangkan sama sekali. Apalagi di tengah semakin menguatnya gerakan-gerakan keagamaan yang bisa menjadi penginspirator atas tindakan kekerasan agama. Gerakan keagamaan, yang berupa anti negara, anti dasar negara, anti bentuk negara dan gerakan lain yang seide dan semisi dengan gerakan tersebut semakin kuat cakupannya. Dan yang sungguh agak mengkhawatirkan adalah di kala yang berjejaring dengan gerakan seperti ini adalah anak-anak muda potensial yang seharusnya menjadi penyangga NKRI dan Pancasila.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bahwa masyarakat, organisasi keagamaan, dan organisasi lain harus terlibat dalam membantu kerja Densus 88 Anti terror atau BNPT dalam kerangka menjaga bangsa ini dari gerakan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.