(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Refleksi Akhir Tahun: Tantangan Reformasi Birokrasi Kemenag

Opini

Menteri Agama bisa datang dan pergi, dari Pak Fachrul Razi ke Pak Yaqut Cholil Qoumas, namun tantangan dalam pembenahan birokrasi masih  tetap sama, yaitu reformasi birokrasi yang merupakan tugas utama seluruh Kementerian/Lembaga di Indonesia semenjak Kabinet Indonesia Bersatu. Pasca keruntuhan Orde Baru, maka salah satu di antara yang menjadi bidikan dari masyarakat adalah bagaimana kelambanan Kementerian/Lembaga (K/L) dalam merespon terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi dapat dijawab lebih cepat. Misalnya, masalah  korupsi yang akut di tengah birokrasi Indonesia.

  

Konon penyimpangan birokrasi dalam anggaran pembangunan mencapai angka 30% dari jumlah anggaran pembangunan nasional. Makanya, kemudian anggaran pembangunan menjadi salah sasaran dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Menyeruaknya korupsi terutama di dalam tubuh birokrasi, maka salah satu usaha untuk membenahinya adalah reformasi birokrasi. Memang bukan hanya masalah korupsi  yang menjadi fokus reformasi birokrasi, akan tetapi masih banyak yang kemudian dikenal sebagai delapan area perubahan, yaitu: manajeman perubahan, penataan SDM, penataan regulasi, penataan struktur organisasi dan tata kelola, penguatan layanan publik, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan, perubahan mindset dan cultural set dalam reformasi birokrasi.

  

Kementerian Agama (Kemenag) tentu juga harus melakukan hal yang sama terkait dengan reformasi birokrasi. Di antara yang sangat menarik adalah bagaimana Kemenag merespon terhadap manajemen perubahan, yang memang menjadi kewajiban Kementerian/Lembaga untuk menyelenggarakannya. Di dalam manajemen perubahan, maka ada  banyak hal yang sudah dilakukan, misalnya upaya yang dilakukan untuk mengembangkan agen-agen perubahan dan jumlahnya  sudah share sampai di tingkat kabupaten/kota. Tugas dari agen perubahan adalah menemukan inovasi dalam membangun efektivitas dan efisiensi birokrasi  dalam kerangka pelayanan publik agar  semakin baik. 

  

Pertanyaannya adalah di dalam tahun-tahun terakhir, ada berapa banyak inovasi yang sudah dilakukan Kemenag dalam membuat sistem untuk mendukung reformasi birokrasi. Ada beberapa contoh system yang sudah dikembangkan di masa lalu, misalnya sistem pelelangan barang dan jasa melalui Layangan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Apakah semua Kantor Wilayah Kemenag dan PTKIN sudah memiliki sistem elektronik pengadaan barang dan jasai. Di masa lalu ada semacam mandatory bahwa setiap Kanwil Kemenag harus membuatnya. Melalui sistem elektronik ini, maka diharapkan akan terjadi transparansi dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan pelelangan barang dan Jasa, yang selama ini dianggap sering bermasalah. 

  

Namun demikian, keberadaan sistem elektronik juga tidak menjamin 100 persen bahwa pelelangan akan berjalan sesuai dengan standarisasinya. Di situ masih terdapat aktor yang juga harus memiliki mentalitas yang jujur dan amanah. Sistem apapun dan bagaimanapun baiknya jika tidak dimanage dengan baik tentu juga tidak akan ada artinya. The man behind the gun akan menjadi kunci keberhasilan supporting system terhadap reformasi birokrasi. 

  

Di dalam konteks ini, maka perubahan mindset dan cultural set ASN menjadi kata kuncinya. Semua  pejabat  Kemenag sudah hafal 100% terhadap “Lima Nilai Budaya Kerja” Kemenag. Bahkan di dinding-dinding kantor Kemenag didapati teks tentang hal ini.  Sebuah sistem yang baik tentu akan bisa menjadi standarisasi pelayanan yang akan membawa  semakin efektif dan efisien sebuah Lembaga birokrasi. Oleh karena itu tugas yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana agar mindset dan cultural set ASN berseirama dengan tujuan reformasi birokrasi. Mentalitas berdisiplin, bertanggung jawab, berkinerja yang baik, pelayanan yang optimal, dan terus berupaya untuk melakukan yang terbaik tentu menjadi ukuran bagi keberhasilan gerakan reformasi birokrasi.

  

Pelayanan yang baik tentu bukan berdasar atas commonsense, tetapi terukur melalui suatu ukuran yang menjamin kebenarannya. Di sini diperlukan upaya untuk membangun standarisasi pelayanan dan juga ukuran keberhasilannya. Dibutuhkan survey “customer satisfaction” bahkan jika perlu “customer loyalty”. Sudah ada standarisasi seperti yang dilakukan oleh BPS terhadap standarisasi pelayanan jamaah haji dan kepuasan pelanggannya. Tentu unit yang lain juga memerlukan hal serupa. Standar pelayanan internal juga sudah dilakukan untuk menjelaskan apakah pelayanan dasar kemenag terhadap para karyawannya sudah memenuhi standar. Pelayanan dasar seperti penyediaan air, makanan, minuman, fasilitas perkantoran, dan sebagainya sudah standar. Sekretariat Jenderal Kemenag sudah melakukannya. Yang sangat diperlukan adalah standarisasi pelayanan pendidikan, bimbingan masyarakat agama-agama dan BPJPH yang tugas dan fungsinya bercorak public services.

  

Inovasi tentang bagaimana membangun ASN yang memiliki kedisiplinan juga sudah dilakukan, misalnya yang sangat menonjol adalah Sistem Informasi Elektronik Kinerja ASN (SIEKA). Di BKN program ini berhasil, sebab memang terdapat kesinambungan di dalam pelaksanaan programnya. Siapapun para pejabatnya, maka program tersebut yang harus didukung dan dilanjutkan. Program ini akan sangat baik, apalagi di tengah Pandemi Covid-19 yang memastikan bahwa setiap ASN harus melaporkan pekerjaannya melalui sistem elektronik. 

  

Melalui berbagai inovasi besar ini, sesungguhnya ada target yang diinginkan agar Gerakan Reformasi Birokrasi akan menghasilkan perbaikan performance Kemenag dan juga produk yang optimal dan sebagai konsekuensinya adalah meningkatnya pelayanan publik dan menghasilkan kepuasan pelanggan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.