(Sumber : Kendari Pos-Fajar )

Rekonstruksi Manasik Haji di Indonesia

Opini

Saya diundang oleh Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 21 September 2022, Dr. Moh. Zaidi Abdad, MAg. Saya diminta untuk memberikan ceramah pada peserta Sertifikasi Pembimbing Jamaah Haji, yang diselenggarakan di Asrama Haji Provinsi NTB. Materi yang diminta adalah tentang “Problema Perhajian  dan Solusinya  Bagi Jamaah Haji di Indonesia." Saya sebenarnya sudah diminta pada tahun lalu, akan tetapi karena factor Covid-19 sehingga saya belum dapat menghadirinya. Di dalam acara ini, maka saya menyampaikan ceramah dan memberikan solusi atas problem yang mendasar yaitu problem pemahaman calon jamaah haji tentang ibadah haji.

  

Pertama, fungsi pemerintah adalah memberikan pelayanan publik, yaitu pelayanan yang ditujukan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi hajad hidup orang banyak yang berkeadilan, berkesetaraan dan proporsional. Berkeadilan artinya bahwa pelayanan tersebut tentu berbasis pada kebutuhan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan dan pemenuhannya. Berkesetaraan artinya bahwa semua warga negara harus dipandang memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata pemerintah dan hukum. Proporsional artinya bahwa pemenuhan tersebut sesuai dengan kapasitas dan kadar kekuatan pemerintah sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan umum masyarakat.

  

Penyelenggaraan haji adalah kawasan pelayanan publik. Artinya bahwa semua hal yang terkait dengan haji merupakan amanah undang-undang yang terkait dengan pelayanan publik. Dimulai dari pendaftaran di bank Syariah sampai ke Arab Saudi, beribadah, dan pulang balik ke Indonesia terkait dengan pelayanan publik. Oleh karena itu, pelayanan public khusus ini harus bisa memuaskan para pelanggannya, sehingga orang merasa senang atas kualitas pelayanan yang diberikan.

  

Untuk melayani penyelenggaran haji dan Umrah, Indonesia telah memiliki UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. UU ini merupakan hasil revisi atas UU No 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji. Jika di masa lalu tidak dicantumkan secara eksplisit tentang Umrah, maka di dalam UU yang baru dicantumkan secara eksplisit. Pencantuman secara eksplisit tentu terkait dengan banyaknya masalah di dalam penyelenggaraan umrah yang memerlukan dasar hukum yang jelas. 

  

Sesuai dengan regulasi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrah, kewajiban haji hanya sekali saja. Jumlah jamaah haji yang sudah diberangkatkan pemerintah Indonesia dari tahun 2007-2019 sebanyak 1.776.005 Jamaah. Kuota haji ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi dengan mempertimbangkan ketersediaan akomodasi, transportasi dan kapasitas haji di Arab Saudi. Sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara pendaftar haji dengan kuota jamaah haji yang ditentukan oleh Pemerintah Saudi Arabia, maka terjadi problem sistemik di Indonesia. Jumlah terbanyak Jawa Timur 1.095.462 orang, Jawa Tengah 865.082 orang, Jawa Barat 767.090 orang, Sulawesi selatan 244.710 orang , Banten 229.223 orang, dan NTB 149.403 orang.

  

Kedua, Seirama dengan semakin menguatnya paham keagamaan dan prilaku keagamaan, maka berakibat semakin meningkatnya jumlah orang yang berkeinginan pergi haji. Jumlah jamaah yang menunggu keberangkatan dengan kuota pemberangkatan jamaah haji tidak seimbang. Jumlah pendaftar haji semakin meningkat dari tahun ke tahun, akibatnya waktu antri atau waktu tunggu berangkat haji juga semakin lama. Jumlah pendaftar haji sampai tahun 2022 sebanyak 5.561.557 orang. Kalsel 78 tahun, NTB 75 tahun, Kota Balikpapan 71 tahun, Kota Samarinda 73 tahun. Jawa Timur 70 tahun, Aceh selama 68 tahun, DI Yogyakarta 67 tahun, Jawa Tengah 65 tahun, Jambi 65 tahun. 

  

Problem yang sangat mendasar dari calhaj adalah mengenai pemahaman Islam yang  rendah. Kebanyakan calhaj adalah orang yang pemahaman Islamnya hanya terkait dengan pemahaman dasar dalam Islam, misalnya shalat, dan puasa. Pemahaman tentang ibadah haji bisa dinyatakan sangat rendah. Mereka kebanyakan tidak belajar secara memadai tentang ibadah haji. Kebanyakan calon jamaah haji belum memahami syarat dan rukun haji. Mereka  kebanyakan juga belum memahami sunah-sunnah haji. Mereka secara umum belum bisa mempraktekkan amalan-amalan haji. Mereka juga belum memahami hal-hal bisa mengurangi pahala ibadah haji. Yang sungguh diperlukan adalah standarisasi pemahaman tentang ibadah haji. 

  

Ketiga, Agar pengetahuan jamaah haji menjadi semakin baik, maka diperlukan untuk melakukan upaya standarisasi melalui program sertifikasi kelayakan calon jamaah haji. Diperlukan pedoman atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang standarisasi kelayakan minimal sebagai persyaratan menjadi calon jamaah haji. Program ini dapat dilakukan oleh KBIH bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah. 

  

Untuk kepentingan tersebut, maka diperlukan rekonstruksi manasik haji agar disesuaikan dengan pola baru manasik untuk menghasilkan sertifikasi kelayakan minimal calon jamaah haji. Manasik haji adalah program untuk mentransfer pengetahuan dan pengalaman dalam berhaji. Diperlukan kepastian niat, tujuan dan makna haji. Diperlukan kepastian tata cara hajinya benar. Diperlukan kepastian prosesnya benar. Diperlukan tempatnya benar. Dipastikan wakunya benar. Dipastikan doa ibadahnya benar. Dipastikan rukun, wajib dan sunnahnya benar.

  

Manasik haji harus didesain secara memadai sebagai wadah transfer pengetahuan dan pengalaman dalam berhaji. KBIH bersama pemerintah harus menyusun kurikulum manasik haji agar bisa diukur keberhasilannya. KBIH harus memiliki SDM yang andal dalam transfer pengatahuan dan pengalaman berhaji agar para jamaah dapat memahami secara memadai tentang ibadah haji. Diperlukan regulasi yang mengatur secara lebih komprehensif tentang manasik haji dan segala hal yang terkait dengan perhajian. Waktu tunggu yang panjang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman secafa utuh tentang pengatahuan perhajian. 

  

Program manasik haji bukan hanya untuk memenuhi jumlah tatap muka. Program manasik haji bukan hanya mengajarkan tentang tata cara haji. Program manasik haji bukan hanya sekedar menyampaikan hal ihwal perhajian. Program manasik haji harus ditata ulang manajemennya, dengan mempertimbangkan proses dan produknya. Di depan saya sebut sebagai sertifikat kelayakan minimal calon jamaah haji. Proses manasik harus terukur standart isi (materi/kurikulum), Standart Pengajar, Standart Proses (pembelajarannya), standart evaluasi (ukuran keberhasilan), dan standart tata kelola (manajemen manasik haji). Semua serba terukur sesuai dengan manajemen baru (manajemen kinerja) yang sekarang menjadi arah tata kelola program pemerintah.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.