(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Relevansi Peringatan Gerakan 30 September

Opini

Selama dua hari masyarakat Indonesia mengibarkan Bendera Pusaka, tanggal 30 September mengibarkan bendara setengah tiang sebagai simbol bela sungkawa atas meninggalnya para Pahlawan Revolusi, dan tanggal 1 Oktober mengibarkan bendera sepenuh tiang untuk menandai Hari Kesaktian Pancasila. Dua hari dengan dua peristiwa sejarah yang sungguh menentukan nasib bangsa Indonesia,  hari itu  dan seterusnya.

  

Dua hari tersebut sangat penting bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini sangat dramatis tentang perebutan kekuasaan.  Konflik tersebut dilakukan oleh sejumlah orang yang tergabung dalam ideologi berbeda dan kepentingan serta visi yang sangat berbeda. Siapapun pasti mengetahui bahwa aktor gerakan tersebut adalah PKI yang melakukan kudeta terhadap pemerintah.  Kemudian,  terdapat TNI  yang menjadi penyangga kedaulatan bangsa dan  masyarakat Islam yang menjadi penyangga agama sebagai basis kehidupan bangsa. Tiga kekuatan konfliktual ini yang menandai sejarah “kelam” bangsa ini di masa lalu yang tentu harus disikapi dengan kearifan  dewasa ini.

  

Sebagai perebutan kekuasaan dipastikan terjadi pertumpahan darah. Di mana saja jika terjadi perebutan kekuasaan selalu ditandai dengan pertumpahan darah antara yang ingin mempertahankan negara dan yang akan merebut negara. Dua kekuatan ini lalu berbenturan, dan akhirnya juga memicu masyarakat untuk memilih salah satunya. Hal ini bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. Tidak usah menggunakan teori yang rumit-rumit, tetapi dengan common sense saja kita akan sampai pada kesimpulan, pilih ini atau pilih itu. Masyarakat Indonesia masyarakat Islam akhirnya memilih mempertahankan negara, sebab yang akan merebut kekuasaan adalah PKI, yang secara langsung berhadapan dengan keyakinan masyarakat Islam Indonesia. Di sinilah maka NU dan beberapa organisasi lain yang senafas dengannya, lalu memilih berada sebarisan dengan TNI untuk mempertahankan keutuhan NKRI dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai konsensus  bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

  

Perkara pemilihan kepada NKRI dan dasar negara Pancasila tentu sangat relevan dengan keyakinan keberagamaan masyarakat Indonesia. Berbagai pengalaman di negara lain, misalnya USSR dan China menggambarkan bahwa ketika komunisme memenangkan pertarungan,  maka seluruh keyakinan keberagaam dibelenggu dan dihancurkan karena agama bertentangan dengan atheism yang anti Tuhan. 

  

Saya masih teringat cerita keluarga saya, bahwa sekitar tahun 1965 itu di mana-mana dilakonkan oleh tim sandiwara keliling dengan lakon “Matine Gusti Allah”. Tuhan, Allah yang selama ini menjadi sesembahan masyarakat Islam melalui upacara-upacara ritual ternyata dinyatakan sudah mati. Lelakon ini bukan pikiran filsafat, tetapi gambaran ideologis PKI yang kala itu sangat membenci terhadap umat beragama, khususnya umat Islam. 

  

Keikutsertaan umat Islam untuk menumpas gerakan kudeta oleh PKI bersama dengan TNI tentu bukanlah sesuatu yang ganjil, sebab secara historis, PKI juga telah melakukan pembunuhan terhadap para kyai dan ulama pesantren serta  para santri pada waktu  PKI melakukan kudeta. PKI telah melakukan kudeta berkali-kali dan yang dijadikan sebagai musuh utama adalah para tokoh Islam terutama yang bergerak dalam bidang pendidikan keislaman dan dakwah Islam. 

  

Memang harus diakui bahwa melalui pilihan melawan terhadap PKI lalu terjadi pertumpahan darah di mana-mana. Pilihannya adalah dibunuh atau membunuh. Dan di saat seperti ini, maka dipastikan terjadinya berbagai tindakan yang extra ordinary. Gambarannya bahwa pada waktu itu PKI merupakan  musuh yang membahayakan diri, masyarakat dan negara. Di saat seperti ini, maka apapun bisa dilakukan yang penting misinya adalah mengenyahkan PKI dari bumi Indonesia. 

  

Keterlibatan ormas Islam (khususnya NU) di dalam upaya untuk mengenyahkan PKI  dari Bumi Indonesia bersama dengan aparat TNI tahun 1965 tentu bukan tanpa alasan. Ada empat  alasan yang mendasar. Pertama,  alasan teologis atau keyakinan keagamaan. Agama berisi  keyakinan tanpa batas. Hanya menyangkut persoalan benar atau salah, yakin apa tidak yakin, theis atau atheis, dan agama merupakan salah satu isu yang paling sensitive di dalam kehidupan seseorang bahkan juga masyarakat. Keyakinan tentang keberadaan Allah swt yang sangat diyakini, lalu dipelesetkan dalam drama “Tuhan mati”, maka hal ini dianggap sebagai penghinaan dan pelecehan yang luar biasa. PKI dan semua jajarannya meyakini tidak ada Tuhan. Yang secara konseptual disebut sebagai kaum atheis. 


Baca Juga : Menelusuri Pemikiran Kontroversial Tentang Jihad

  

Kedua, alasan ideologis kebangsaan. Dipahami bahwa memang terjadi perbedaan ideologi yang sangat bertolak belakang.  PKI menginginkan ideologi kebangsaan Indonesia adalah komunisme dengan keyakinan atheis, dan umat beragama di Indonesia beragama yang berkeyakinan haruslah berdasar atas Islam dan sebagian lainnya tetap menganggap ideologi negara adalah Pancasila. Perbedaan ideologi tersebut begitu tajamnya sehingga tidak memungkinkan  terjadinya kompromi di antara berbagai kelompok ini.

  

Ketiga, pengalaman makar. PKI telah melakukan serangkaian pemberontakan terhadap negara ini, misalnya pemberontakan PKI 12 Pebruari 1946 di bawah Mohammad Joesoep dan Laskar Pesindo, 3 Juli 1946 dibawah Tan Malaka, Pemberontakan PKI tahun  18 September 1948 di Madiun yang dilakukan oleh Moeso dan Amir Sjarifoeddin. PKI telah melakukan gerakan untuk mengubah dasar negara,   landasan yuridis bangsa dan bentuk negara dan sistem pemerintahan dengan menerapkan dasar negara, bentuk negara dan sistem pemerintahan sebagaimana di USSR atau RRC, yang tentu sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman.

  

Keempat, pengalaman sejarah bahwa  PKI banyak melakukan pembunuhan terhadap kiai, ulama dan santri di dalam setiap gerakannya untuk memperjuangkan penerapan komunisme sebagai dasar negara. Masih diingat bagaimana pembunuhan demi pembunuhan terhadap para ulama dan santri di Jawa Timur, yang tentu terekam dengan jelas sebagai ingatan komunal. Pembunuhan kiai dan santri di Pesantren Takeran dan sejumlah pesantren lainnya tentu telah tersaji di dalam sejarah perjalanan bangsa ini. 

  

Tindakan untuk menumpas PKI sampai ke akarnya  pasca pemberontakan G30/PKI sesungguhnya adalah dampak dari Tindakan  makar yang dilakukan oleh PKI dengan serangkaian kekejamannya. Pilihan umat Islam untuk terlibat di dalam pergerakan untuk menumpas PKI Bersama dengan TNI tentu bukan tindakan  gegabah dan tanpa dasar-dasar yang kuat. Di sinilah kata jihad memiliki makna sebagai bentuk memerangi terhadap kelompok yang akan mengubah negara dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dengan dasar komunisme. Jika kata jihad  yang digunakan maka melakukan perlawanan dalam bentuk membunuh lalu dinilai sebagai perintah agama. 

  

Di sinilah yang disebut sebagai jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah. Siapa yang menjadi musuhnya jelas adalah orang yang tidak bertuhan atau orang kafir dan telah melakukan serangkaian tindakan makar dan pembunuhan terhadap para ulama, santri dan juga jenderal-jenderal yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Hal ini sebagaimana  perlawanan umat Islam terhadap Belanda  juga diyakini sebagai jihad fi sabilillah. Resolusi jihad yang diserukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari tanggal 22 Oktober 1945 merupakan salah satu seruan jihad  dalam konteks melawan terhadap musuh yang nyata. 

  

Tindakan melakukan pembalasan terhadap para kader PKI yang telah berkali-kali melakukan pemberontakan dengan pengalaman traumatic terbunuhnya para ulama, santri dan para jenderal Pahlawan Revolusi merupakan anak kandung kekerasan. Inilah yang disebut sebagai siklus kekerasan. Karena PKI telah melakukan kekerasan, maka muncul kekerasan balik dan berefek sangat luar biasa.

  

Hal yang bisa dipetik dari sejarah bangsa ini adalah agar para penerus bangsa ini menyadari bahwa memperjuangkan keberadaan agama di Indonesia bukanlah hal yang sederhana, dan berjuang untuk memantapkan Pancasila sebagai dasar negara juga bukan perkara mudah. Anehnya perjuangan untuk membela agama dan Pancasila pada tahun 1965  oleh kalangan tertentu dianggap sebagai kesalahan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.