RUU SISDIKNAS: Rumpun Ilmu Berkhas KeIndonesiaan
OpiniSekilas akan saya sampaikan pengalaman dalam keikutsertaan merumuskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bersamaan dengan pembahasan ini adalah Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang sama berada di dalam wilayah otoritas DPR, khususnya Komisi 10 yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan di Indonesia.
Selama ini, pembidangan ilmu atau disebut rumpun ilmu di dunia hanyalah pada tiga rumpun saja, yaitu ilmu alam yang terdiri dari matematika, fisika, biologi, kimia, geografi dan lain-lain. Sementara itu ada ilmu sosial yang meliputi sosiologi, antropologi, psikhologi, ilmu hukum, ilmu politik, komunikasi, dan sebagainya. Kemudian ilmu humaniora antara lain adalah filsafat, sastra, kesenian, agama, dan sebagainya. Ilmu yang masuk ke dalam rumpun humaniora adalah ilmu pengetahuan yang “kebenarannya” tidak bisa diukur secara empirik sensual dan empirik logis. Terutama empirik sensual yang kebenarannya di dalam banyak hal dikaitkan dengan sesuatu yang observable.
Bahkan agama sering dinyatakan sebagai pengetahuan yang berisi berita langit atau wahyu Tuhan, sehingga tidak memungkinkan untuk diverifikasi atau bahkan dibuktikan dengan logika ilmu pengetahuan yang observable dimaksud. Masih banyak di antara para ahli yang berpandangan bahwa agama itu tidak bisa dijadikan sebagai ilmu pengetahuan, karena agama adalah keyakinan suci yang tidak bisa dibuktikan secara empiris. Pemikiran positivistik masih sangat dominan di kalangan ahli ilmu pengetahuan di Indonesia.
Pada waktu pembahasan tentang rumpun ilmu, maka terdapat pro-kontra yang cukup menyita waktu. Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan pandangan para ahli yang selama ini berkecimpung di dalam kajian agama-agama. Saya teringat bahwa akhirnya dibutuhkan dua sessi untuk membahas hal ini. Sessi sore dan malam hari. Pada sessi sore dihadirkan tiga narasumber, yang hadir dua orang yaitu Prof. Franz Magnis Suseno (Katolik) dan Prof. Wayan Titip (Hindu), dan malam hari juga dihadirkan tiga orang, tetapi yang hadir adalah Prof. Mulyadi Kertanegara, yang lain berhalangan.
Berdasarkan data dari para narasumber akhirnya didapati pandangan yang menyatakan bahwa agama dapat dijadikan ilmu pengetahuan. Jadi ada status ilmu agama. Agama mengandung dua aspek mendasar, yaitu teks suci dan interpretasi atas teks suci. Jadi ada kalam Tuhan yang berupa al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW dan ada penafsiran atas teks suci, yang dikenal sebagai tafsir Al-Qur’an, ilmu hadits dan seterusnya. Dalam bidang ritual juga dikenal adanya ilmu fikih yang merupakan penafsiran atas teks suci yang dilakukan oleh ulama yang memiliki otoritas untuk menafsirkan atas teks suci tentang ritual. Bahkan juga ilmu ketuhanan atau teologi atau ilmu kalam yang membahas tentang sifat, dzat dan af’al Tuhan.
Dengan demikian, ada dimensi agama yang bisa dijadikan sebagai ilmu pengetahuan, yaitu penafsiran atas teks suci (al-Qur'an dan hadis) dan bahkan juga penafsiran atas penafsiran para ulama atas tafsir teks suci. Ada posisi commentary on commentary. Tafsir di atas tafsir. Oleh karena itu di dalam tafsir terdapat varian pandangan, dan bahkan bisa saja saling menyalahkan dan saling mereview dan membandingkan. Ketika berada di dalam wilayah tafsir, maka yang dominan adalah dimensi kemanusiaan, dengan konteks sosial bahkan politik. Tentang posisi ilmu agama ini juga tidak hanya menjadi milik khas masyarakat Islam atau ulama Islam akan tetapi juga agama lain mengakuinya. Semua agama terdapat teks suci dan penafsiran atas teks suci.
Berdasarkan diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi 10 DPR RI tersebut, maka didapatkan pemahaman baru tentang eksistensi ilmu agama. Itulah sebabnya kemudian di dalam sidang-sidang berikutnya mengenai pembidangan ilmu atau rumpun ilmu maka disahkan tentang ilmu agama sebagai rumpun ilmu tersendiri yang terpisah dari rumpun ilmu budaya. Tentu saja bahwa dengan keberadaan rumpun ilmu agama, maka didapatkan recognisi atas ilmu agama yang sesungguhnya sudah berkembang di dunia, sebagai rumpun ilmu yang berdiri sendiri.
Rumpun ilmu di dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, sebagaimana tercantum di dalam pasal 10, ayat 1 dan 2 adalah rumpun ilmu agama, rumpun ilmu sosial, rumpun ilmu humaniora, rumpun sains dan teknologi, rumpun ilmu terapan dan ilmu formal. Pembidangan ilmu ini sangat khas keindonesiaan, sebab memang merupakan rumpun ilmu yang berbeda dengan pembidangan ilmu, bahkan pembidangan ilmu menurut UNESCO. Suatu undang-undang yang memberikan apreasiasi dan recognisi atas ilmu agama yang eksistensinya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan baru mendapatkan pengakuan negara berdasarkan atas Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Baca Juga : Musik dan Gerakan Islam Bawah Tanah
RUU Sistem Pendidikan Tinggi (RUU Sisdiknas) sedang dalam pembahasan melalui harmonisasi yang dilakukan oleh Kementerian/lembaga di bawah koordinasi Kemenkumham. Sesuai dengan rencana akan segera disahkan oleh pemerintah untuk dapat dibahas di dalam Badan legislasi (Baleg) DPR RI untuk disahkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dan sebagaimana yang dirancang, bahwa RUU Sisdiknas akan menganulir atas UU Sisdikas 2003, UU Pendidikan Tinggi tahun 2012 dan UU Guru dan Dosen tahun 2008. Di dalam rancangannya, maka rumpun ilmu tidak perlu dijadikan norma di dalam batang tubuh RUU Sisdiknas. Oleh karena itu terdapat beberapa pemikiran yang layak dipertimbangkan. Pertama, rumpun ilmu perlu dipertahankan. Secara historis ilmu agama sudah eksis di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan di Indonesia sudah menjadikan ilmu agama sebagai ilmu pengetahuan yang menyejarah. Sebagai ilmu yang menghasilkan banyak ahli, baik teoretik maupun praksis, sehingga dengan tetap mempertahankan status ilmu agama sebagai rumpun tersendiri, maka telah memberikan apresiasi, recognisi dan kejelasan statusnya di dalam system perundang-undangan. Seharusnya, sebagai masyarakat yang religious tetap memberikan penghargaan atas upaya masyarakat Indonesia untuk terus mengkaji ilmu agama dengan berbagai disiplin atau cabangnya untuk hidup dengan pengakuan yang jelas.
Kedua, pada era di mana ilmu pengetahuan berada dalam pengembangan integrasi ilmu, sebagaimana tercantum di dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), sebagai pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, maka keberadaan pembidangan ilmu sebagaimana tercantum di dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menempati posisi penting. Bukankah dengan basis regulasi ini, maka ilmu agama telah berkembang menjadi sangat lincah berbasis pada keahlian ilmu agama yang berkolaborasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya integrasi antara ilmu agama dengan ilmu sosial, humaniora bahkan sains dan teknologi. Sekarang telah berkembang kajian al-Qur'an dengan sains, misalnya dalam tema pandangan al-Qur\'an tentang penciptaan manusia, bumi, alam semesta dan sebagainya.
Kajian di bidang integrasi antara ilmu agama dengan rumpun ilmu sosial juga berkembang dengan sangat pesat. Misalnya fikih sosial, sosiologi fikih, sosiologi pesantren, antropologi fiqh, antropologi pesantren, manajemen pendidikan pesantren, kepemimpinan pesantren, hukum keluarga Islam, politik pesantren, politik Islam, psikhologi tasawuf, terapi spiritual, Islam dan tata negara, sistem politik Islam, Islam dan arsitektur, dan sebagainya.
Perkembangan kajian Islam dengan Sains dan teknologi, ilmu sosial dan ilmu humaniora menjadi sangat prospektif dengan menetapkan norma tentang rumpun ilmu yang memberikan peluang bagi pengembangan ilmu agama dan ilmu lainnya. Melalui kesejajaran dan kesetaraan dalam rumpun ilmu tidak hanya sebagai pengakuan tetapi juga peluang pengembangan di masa depan.
Ketiga, kiranya kita harus melihat “masyarakat ilmu agama” yang sedemikian berharap bahwa dengan pemberian ruang yang sejajar dan kesetaraan bagi ilmu agama akan dapat memberikan kehormatan bagi para pengkaji dan peminatnya, yang dengan pemberian pengakuan akan kesetaraan tersebut akan meningkatkan gairah untuk menemukan ilmu baru dalam relasi antara ilmu agama dengan ilmu lainnya.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religious dan dengan memberikan penghargaan atas rumpun ilmu agama yang berdiri sendiri, maka secara regulative negara telah memberikan perlindungan dan hak berkembang ilmu agama sejajar dengan ilmu lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.