Selamat Datang 2025: Kementerian Agama (Bagian Satu)
OpiniSesungguhnya saya tidak ingin untuk menulis yang berisi evaluasi atas apa yang kita capai dan apa yang tidak bisa dilakukan pada tahun 2024, akan tetapi di saat saya membaca ulang buku saya tentang “Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia: Perspektif Sosiologi Pengetahuan”, 2024, maka di Bab II justru saya ungkapkan tentang evaluasi saya atas akhir tahun dan awal tahun, sebagai perwujudan gagasan saya atas apa yang sesungguhnya perlu dilakukan pada tahun berikutnya.
Kali ini, saya ingin melakukan renungan, sekali lagi sekedar renungan, dan bukan pemikiran mendalam tentang capaian dan tantangan khususnya Kementerian Agama (Kemenag), sebagai institusi di mana saya mengabdikan diri, baik sebagai tenaga pendidik maupun sebagai birokrat pemerintah. Sesungguhnya, Kemenag menjadi saksi atas apa yang pernah saya lakukan. Bagi orang yang sudah usia di atas 65 tahun, maka yang ada adalah masa lalu dan bukan lagi tentang masa depan. Begitulah joke yang sering saya jadikan sebagai bahan tersenyum bersama. Sebagai akademisi tentu saja harus terus berpikir dalam kapasitas yang saya miliki.
Pemerintahan Prabowo memang membawa misi untuk melakukan perubahan, bahkan juga perubahan yang sangat mendasar tentang institusi pemerintah. Di antara yang dilakukannya adalah dengan mengubah nomenklatur kementerian yang dipecah-pecah menjadi beberapa kementerian dan juga lembaga atau badan. Di antara kementerian yang banyak mengalami perubahan adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristekdikti) yang kemudian diubah menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendididikan Tinggi (Kemendikti), Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Kementerian Agama juga dijadikan tiga, yaitu Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPHU) serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dua badan ini langsung bertanggungjawab kepada presiden.
Di antara kementerian baru dan badan yang diperbaharui nomenklaturnya tersebut ada yang bisa dengan cepat untuk bekerja sesuai dengan tupoksinya, seperti BPJPH yang problem perubahan nomenklatur tidak banyak mengalami kendala, sebab tupoksinya bisa langsung diselenggarakan. Selain itu beberapa kementerian baru yang di masa lalu bergabung tupoksinya dengan Kemendikbudristekdikti, juga langsung bisa bekerja sesuai dengan tupoksinya. Yang sedikit rumit adalah pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, tetapi sudah diantisipasi dengan kemudahan melalui Surat Keputusan Presiden untuk melakukan percepatan pengisian jabatannya.
Hal yang sungguh masih menjadi tantangan adalah pemisahan Kemenag dengan BPHU, sebab ini menyangkut masalah mendasar yaitu pemberangkatan haji tahun 2025. Peluang untuk diselenggarakan secara otoritatif oleh BPHU tidak mungkin, sebab menyangkut persiapan dan pelaksanaan haji yang tidak hanya dilakukan secara internal tetapi juga eksternal. Penyelenggaraan haji tidak dapat dilakukan sendirian dalam satu Kementerian/Lembaga akan tetapi melibatkan antar Kementerian/Lembaga dan juga yang paling rumit adalah terkait dengan negara lain, Arab Saudi.
Penyelenggaraan haji memang setahun sekali. Tidak bisa dua kali. Sungguh ada waktu yang tegas kapan dan di mana haji harus diselenggarakan. Tidak lain dan tidak bukan adalah Negara Arab Saudi. Tidak bisa di Bawakaraeng. Oleh karena itu haji tidak hanya menjadi urusan Kementerian/Lembaga, akan tetapi menyangkut hubungan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi. Hubungan itu menjadi rumit jika ada perubahan-perubahan regulasi yang mendadak baik di internal Pemerintah Indonesia dan juga Pemerintah Arab Saudi.
Perubahan penyelenggaraan dan tata kelola dari Kemenang ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tentu relative lebih sederhana dan tidak sekompleks BHU. Hal ini dikaitkan dengan tupoksi BPJPH yang lebih banyak terkait dengan urusan di dalam negeri. Jika pun ada urusan luar negeri tentu tidak sekompleks penyelenggaraan ibadah haji. Coraknya lebih administrative dibanding dengan persoalan lapangan yang terkait dengan pelayanan ratusan ribu orang calon Jamaah Haji.
Di dalam BPJPH tidak terdapat dualitas administrasi dan pengisian jabatan. SDM yang selama ini telah bekerja untuk melaksanakan tupoksi pada BPJPH tentu bisa dialihkan dengan menyesuaikan dengan nomenklatur baru sesuai dengan regulasi. Mereka merupakan ASN yang sudah memiliki sejumlah pengetahuan dan praktik mengerjakan tupoksinya yang tidak terlalu jauh dengan yang sudah dilakukan selama ini. Begitu dipisahkan dari induknya, mereka sudah tahu apa yang akan dikerjakannya. Ibaratnya The old wine in the new bottle. Wadahnya saja yang berubah sedangkan isinya tetap yang lama. Perencanaan berbasis kinerja dan anggaran sudah ditentukan setahun sebelumnya, maka pada awal tahun baru, 2025, mereka sudah ready untuk bekerja.
Suasana ini berbeda dengan BPHU, yang tidak serta merta bisa bekerja secara mandiri. BHU tidak bisa dibebani pekerjaan menyelenggarakan haji yang tinggal hitungan bulan. Makanya, untuk urusan yang satu ini, BPHU masih sangat tergantung kepada Kemenang. Menyelenggarakan haji bukan persoalan simple dan mudah, penuh kerumitan dan pengalaman. Tetapi sayangnya bahwa Kemenag yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan haji juga tidak full mandate. Harus bernegosiasi dengan Badan baru dan juga bernegosiasi dengan institusi lama yang juga membutuhkan energi ekstra.
Wallahu a’lam bi al shawab.