(Sumber : SWA)

Selamat Datang Tahun 2025: Korupsi Makin Membudaya (Bagian Kelima)

Opini

Pada tahun 2010, saya menulis tentang “Variabel Penyebab Korupsi.” Tulisan itu berasal dari sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe Tuban. Tulisan tersebut kemudian saya unggah di Web nursyam.uinsby.ac.id (30/01/2010). Saya menyatakan bahwa penyebab korupsi adalah factor budaya instant, budaya fragmatisme dan budaya kapitalisme.   

  

Di dalam tulisan itu saya menyatakan bahwa korupsi bukan budaya bangsa, sebab tidak ada sedikitpun ajaran atas nama agama, social dan budaya yang mengajarkan tentang kebolehan melakukan tindakan koruptif. Saya berkeyakinan bahwa korupsi adalah penyakit social dan bukan tradisi apalagi budaya. Budaya di dalam tulisan itu lebih bermakna sebagai mental individu misalnya mental menerabas, mental permissiveness dan mental yang menganggap bahwa kekayaan adalah ukuran keberhasilan.

  

Perjalanan waktu yang panjang tidak mengarah kepada nihilisasi tindakan koruptif, akan tetapi korupsi justru semakin menguat pada level apa saja. Jika di masa lalu, korupsi dilakukan oleh individu, maka sekarang korupsi telah menjadi tindakan social atau tepatnya disebut sebagai korupsi berjamaah. Macam-macam caranya, makin variative kerjasamanya, dan makin jumbo besarannya. Korupsi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari birokrasi, perusahaan negara, perusahaan swasta, atau korporasi lainnya atau sector jasa lainnya.

  

Korupsi yang seharusnya bisa diberantas ternyata tidak dan justru berkembang dengan pesat, baik metode korupsi maupun besaran korupsinya. Sungguh di luar nalar, bahwa korupsi justru menjadi semakin variative. Di mana-mana terdapat korupsi. Di gedung legislative, di gedung eksekutif bahkan di gedung yudikatif, gedung perusahaan negara dan swasta, gedung usaha-usaha jasa dan lain-lainnya. Korupsi terjadi pada pejabat public dan juga para pengusaha. Pada level atas, menengah maupun bawah.

  

Cobalah kita baca tentang korupsi yang dilakukan oleh  berbagai elemen bangsa ini. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumlah kasus korupsi meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2019 terdapat sebanyak 271 kasus dengan tersangka sebanyak 580 orang, tahun 2020 sebanyak 444 kasus dengan tersangka sebanyak 875 orang,  tahun 2021 sebanyak 533 kasus dengan tersangka sebanyak 1.173 orang, pada tahun 2022 terdapat sebanyak 579 kasus dengan tersangka sebanyak 1.396 orang, dan pada tahun 2023 meningkat menjadi 791 kasus dengan tersangka sebanyak 1.695 orang. (Kompas.com19/05/2024).

  

Sungguh korupsi di Indonesia sudah luar biasa. Ada lima kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah puluhan hingga ratusan trilyunan rupiah. Di antaranya adalah korupsi PT Timah sebesar Rp300 triliyun, kasus BLBI sebesar Rp138 trilyun, Penyerobotan lahan PT Duta Palma Group sebesar Rp78 trilyun, Kasus PT TPPI sebesar Rp37,8 trilyun, PT Asabri sebesar Rp22,7 trilyun, PT Jiwa Sraya sebesar Rp16,8 trilyun, Izin ekspor minyak sawit mentah sebesar Rp12 trilyun, Pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 sebesar Rp9,37 trilyun dan Korupsi Proyek BTS 4G sebanyak Rp8 trilyun dan Korupsi Bank  Century sebesar Rp7 trilyun. (Kompas.com 06/06/2024). 

  

Pada level kementerian, kita perlu apresiasi atas keinginan kuat dari Kementerian Agama (Kemenag) melalui Menag Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA yang memiliki keinginan untuk memberantas korupsi, khususnya di bawah kepemimpinannya. Menag memiliki keinginan agar Kemenag dapat menjadi institusi teladan dalam pembersihan aparatnya dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketiganya merupakan penyakit birokrasi yang perlu untuk dinihilkan. Oleh karena itu diperlukan “kesadaran kolektif” untuk menjaga agar visi Menag tersebut menjadi realitas sosial. 

  

Tentu semua Kementerian/Lembaga memiliki visi yang sama untuk memberantas korupsi. Hal ini sesuai dengan misi Presiden Prabowo bahwa korupsi harus diberantas dengan cara-cara yang elegan dan efektif. Semua aparat penegak hukum harus melakukan misi tersebut agar korupsi bisa dinihilisasi atau diberantas. Bahkan ada suatu tawaran yang unik disampaikan oleh Presiden Prabowo untuk mencari jalan keluar atas tindakan koruptif. Mengembalikan uang jarahannya dan kemudian dilakukan tindakan untuk “pengampunan”. Bisakah hal ini dilakukan? Tentu tergantung dari mental para koruptor. Kiranya diperlukan kebijakan “pengembalian” dan “pengampunan” dalam batas waktu yang jelas. Jika tidak melakukan “pertobatan” maka hukum korupsi sebagaimana di beberapa negara lainnya dapat diberlakukan. 

  

Penyebab korupsi semakin  variative, misalnya semakin menguatnya individualisme yang dibarengi dengan rendahnya kolektivisme akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya prilaku korupsi. Semakin menguatnya prilaku membiarkan prilaku korupsi kemudian menjadi pembenaran atas prilaku korupsi. Lama kelamaan nilai yang menjadi pedoman untuk melarang korupsi kemudian menjadi mengendor dan terakhir kemudian nilai tersebut tidak lagi berguna dan akhirnya memberikan justifikasi bahwa korupsi merupakan budaya masyarakat dalam kalangan tertentu. 

  

Berdasarkan teori kulturalisme dalam budaya korupsi bahwa korupsi terjadi karena  budaya masyarakat dan nilai-nilai di dalam masyarakat. Budaya masyarakat yang mengabaikan persoalan korupsi dan juga lemahnya pengawasan atas nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat akan menjadi faktor penyebab terjadinya tindakan koruptif. Tindakan masyarakat untuk membiarkan terjadinya korupsi akan memperkuat semakin meluasnya prilaku koruptif di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Contoh money politics yang terjadi merupakan contoh realistis tentang perubahan prilaku masyarakat dalam korupsi.

  

Agar tindakan korupsi dapat dinihilkan, maka diperlukan kebersamaan dalam pemahaman dan prilaku yang tidak mentolelir atas korupsi. Perlu kesadaran kolektif dari semua pihak, seperti dunia birokrasi,  usaha, organisasi social keagamaan dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga agar korupsi tidak menjadi tradisi masyarakat. Dan kita yakin dengan kebersamaan dalam kebaikan, maka hal itu akan dapat dilakukan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.