Selamat Datang Tahun 2025: Masa Depan Pendidikan Islam di Kementerian Agama (Bagian Tiga)
OpiniKita tentu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita hanya bisa untuk memprediksi tentang masa depan itu dari indikasi-indikasi yang dapat dibaca dan dipahami di sekitar kehidupan. Kecenderungan saja yang bisa dibaca dan dipahami. Tetapi dengan data kita akan bisa menerawang yang lebih tepat terkait dengan apa yang sesungguhnya akan terjadi di masa depan tersebut.
Saya mencoba untuk membaca dan memahami tentang pendidikan Islam, yang selama ini sering menjadi perbincangan di kalangan para pengambil kebijakan. Pendidikan Islam memang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Artinya, bahwa Pendidikan Islam, khususnya pendidikan formal, telah menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang memiliki status, kedudukan, fungsi, jenjang, jalur dan jenis pendidikan yang diakui secara regulative.
Semenjak lama sebenarnya ada keinginan untuk menyatukan satu kesatuan sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya mengacu kepada keinginan untuk menyatukan pendidikan dalam satu kesatuan sistem dimaksud. Setiap perubahan institusi social macam apapun, maka harus didahului dengan perubahan regulasi. Basis dasar perubahan institusional haruslah melalui regulasi, sehingga akan memiliki standing position yang tegas dan jelas, serta menyedikitkan masalah seandainya terdapat pro-kontra.
Pemerintahan Prabowo sudah berhasil melakukan banyak perubahan institusional. Di masa Presiden Jokowi juga banyak melakukan perubahan institusional khususnya di bidang Pendidikan, Riset dan Teknologi. Perubahan itu kemudian dikembalikan ke institusi yang lama. Di masa awal Presiden Prabowo juga terjadi banyak perubahan institusi birokrasi, baik perubahan institusi yang terkait dengan relasi dan kolaborasi dengan kebijakan luar negeri maupun yang tidak ada relasinya dengan negara lain.
Perubahan Kementerian/Lembaga dalam kepentingan bilateral tentu tidak mudah diselesaikan. Demikianlah pula untuk melakukan perubahan di bidang atap pendidikan. Hal yang semula banyak atap lalu menjadi satu atap. Bukanlah perubahan institusionalnya yang rumit. Selama regulasinya berhasil dibuat, maka tidak sulit untuk mengubahnya. Itulah sebabnya terdapat upaya-upaya untuk melakukan perubahan regulasi dengan berbagai dalih, misalnya dianggap sudah tidak lagi relevan dengan zamannya, sudah tertinggal dari misi yang seharusnya diemban dan sebagainya. Berbagai upaya untuk merevisi Undang-Undang di bidang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah terkait dengan Pendidikan, hakikatnya adalah keinginan untuk melakukan perubahan institusional.
Dengan demikian ada tiga variable institusional yang mendasar, yaitu Kementerian Pendidikan dalam berbagai tupoksinya, DPR Komisi X dan Komisi VIII, dan Kementerian terkait, misalnya Kementerian Agama. Andaikan Kementerian Pendidikan dan DPR menyatu dalam keinginan untuk melakukan perubahan kelembagaan pendidikan, maka Kementerian Agama yang harus berjuang untuk bertahan atau melepas kewenangan tentang pendidikan. Yang berpeluang untuk diakuisisi adalah Pendidikan Tinggi Islam yang menjadi universitas. Berdasarkan pertimbangan rasional dan masa depan, maka Universitas Islam yang sudah mengelola pendidikan di bidang sains dan teknologi akan dengan mudah untuk berubah alih kelola. Hal yang masih bisa diperdebatkan adalah institusi Pendidikan Tinggi yang tetap memiliki core bisnis Islamic Studies atau studi agama-agama.
Hal yang juga potensial untuk alih kelola adalah pendidikan madrasah kecuali madrasah yang berkhas keagamaan di pesantren. Core bisnisnya adalah ilmu keislaman, yang masih potensial untuk dikelola oleh Kemenag adalah institusi pendidikan agama dan keagamaan saja atau pendidikan di pesantren yang non formal agama dan keagamaan. Alih Kelola memang masalah manegemen. Artinya bagaimana memenej perubahan sesuai dengan regulasi yang mengaturnya. Terdapat masalah substansial yang perlu dipertimbangkan.
Pandangan seperti itu tentu mengandung bias merawat substansi keilmuan. Mengelola pendidikan umum berbasis keagamaan tentu berbeda dalam mengelola pendidikan umum saja. Secara menegerial tentu tidak mengandung persoalan, tetapi secara substansial bisa mengandung masalah. Itulah sebabnya, masih banyak yang merasakan jangan memaksakan pikiran di atas realitas. Pikiran untuk menyatukan pendidikan dalam satu atap mengandung kompleksitas dan memaksakan ide di atas realitas yang akan berbenturan dengan kepentingan dan ideologi keilmuan yang selama ini menjadi area keilmuan agama dan keagamaan.
Ciri khas inilah yang patut menjadi pertimbangan di dalam perubahan tata kelola pendidikan agama dan keagamaan. Bisa saja prodinya secara formal merupakan prodi umum, akan tetapi jangan dilupakan bahwa ada hidden mandate yang tetap dipertahankan yaitu bagaimana mengajarkan substansi ajaran agama di dalam pengelolaan pendidikan di PTKI. Ciri ini hanya ada di dalam institusi pendidikan di dalam tata kelola Kemenag. Satu hal pasti, ada ideologi keilmuan yang menjadi visi pendidikan agama dan keagamaan. Para pimpinan, pendidik dan mahasiswa di PTKI harus mempertahankan legacy keilmuan sebagaimana yang diwariskan oleh para pendahulu. Jangan sampai warisan ilmu tersebut kemudian hilang karena kesalahan kebijakan public yang dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.