Selamat Datang Tahun 2025: Penyelenggaraan Haji (Bagian Dua)
OpiniPenyelenggaraan haji merupakan pelayanan publik yang banyak menuai kritikan selain juga mendapatkan pujian. Di antara yang memberikan apresiasi tentu terkait dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penyelenggaraan haji yang menuai penilaian sangat memuaskan dalam beberapa tahun terakhir dan juga manajemen haji yang dinilai oleh negara lain sebagai sebuah kesuksesan. Keduanya merupakan legacy Kementerian Agama. (nursyamcentre.com 25/11/2024).
Namun demikian, juga ada yang dikritik terkait dengan penyelenggaraan haji yang dinilai tidak mengandung dimensi fairness, terutama dalam kaitannya dengan tambahan kuota haji yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia. Di akhir pemerintahan Pak Jokowi, haji menjadi persoalan public dengan dibentuknya Pansus DPR tentang haji dan sempat menjadi pemberitaan hangat di media social maupun media-media resmi.
Tetapi yang lebih mendasar adalah upaya Presiden Prabowo untuk melakukan rekonstruksi institusional terkait birokrasi dengan memisahkan penyelenggaraan haji yang ke depan akan dikelola oleh suatu badan khusus yang bertanggungjawab langsung kepada presiden, Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPHU), yang pada tahun 2026 nanti akan secara mandiri menyelenggarakan haji bagi jamaah haji Indonesia. BPHU dipimpin oleh Kepala Badan Mohammad Irfan Yusuf, Wakil Kepala Daniel Anzar Simanjuntak, dan Staf Khusus Presiden Bidang Haji Prof. Dr. Muhajir Effendi. Sementara itu juga dilantik para pejabat-pejabat di tingkat deputi, kepala pusat, administrator dan pengawas. Tanggal 31 Desember 2024 adalah batas terakhir untuk mengangkat jabatan pada era transisi birokrasi.
Penyelenggaraan haji tentu bukan pelayanan publik sederhana. Artinya, bahwa pelayanan haji sungguh memerlukan upaya ekstra keras karena melibatkan pengiriman dalam jumlah besar orang Indonesia, calon jamaah haji, ke negara lain, Arab Saudi. Tidak tanggung-tanggung sebanyak 230 ribu orang sekaligus, dalam waktu yang nyaris bersamaan. Mereka datang dari berbagai wilayah Indonesia dengan ragam kemampuan ilmu keagamaan, tradisi, bahasa dan latar belakang suku dan pendidikan. Tentu berbeda dengan satuan penjaga keamanan, militer yang dikirim ke wilayah konflik. Pasukan Garuda yang dikirim ke daerah konflik tidak mencapai angka ribuan dengan pengetahuan, pangkat dan jabatan serta latar kehidupan yang nyaris sama.
Pada tahun 2025, penyelenggaraan haji masih dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Artinya penyelenggaraan haji masih menjadi mandate Kemenag. Dengan kata lain, komandan penyelenggaraan haji adalah Kemenag dan segenap jajarannya di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag. Sementara itu, secara kelengkapan kelembagaan BPHU juga sudah melengkapi staf sesuai dengan nomenklatur baru BPHU. Secara tupoksi, maka ada dua lembaga dengan satu misi yaitu penyelenggaraan haji dan umrah. Penyelenggaraan umrah mungkin sudah bisa dialihkan otoritasnya dari Kemenag ke BPHU, tentu secara bertahap. Jadi harus ada penyesuaian mana yang masih ditangani oleh Kemenag dan mana yang sudah bisa ditangani oleh BPHU. Melalui penyesuaian, maka secara pasti akan berubah kewenangannya.
Penyelenggaraan haji memang setahun sekali. Tidak bisa dua kali. Sungguh ada waktu yang tegas kapan dan di mana haji harus diselenggarakan. Tidak lain dan tidak bukan adalah Negara Arab Saudi. Oleh karena itu haji tidak hanya menjadi urusan Kementerian/Lembaga di dalam negeri, akan tetapi menyangkut hubungan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi. Hubungan itu menjadi rumit jika ada perubahan-perubahan regulasi yang mendadak baik di internal Pemerintah Indonesia dan juga Pemerintah Arab Saudi.
Perubahan pada Pemerintah Indonesia sudah jelas bahwa dibentuk lembaga baru yang akan mengurusi masalah perhajian. Badan Penyelenggara Haji dan Umrah. Sebagai lembaga baru tentu saja tupoksinya adalah menyelenggarakan ibadah haji. Bukan perkara sederhana, sebagaimana mengurus tupoksi di dalam negeri, seperti administrasi dan penyelenggaraan tupoksi di internal di dalam negeri. Di dalam konteks perubahan di Kemendikbudristek, maka tupoksi bisa diteruskan sesuai jadwalnya, sebab hanya memindahkan kantor dan personal yang selama ini sudah bekerja di tupoksi dimaksud. Urusan kenaikan jabatan dosen, misalnya dengan cepat bisa dilakukan sesuai dengan waktunya. Tidak memerlukan negosiasi demi negosiasi yang rumit antar negara.
Pada penyelenggaraan haji, selama ini Kemenag melibatkan DPR sebagai penentu besaran anggaran berangkat haji atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) yang harus ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah atau Kemenag atau Ditjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU). Dan untuk negosiasi itu juga membutuhkan waktu, kesepahaman dan penetapan dua institusi. Belum lagi untuk urusan kesehatan, jamaah dan petugas, yang melibatkan Kementerian Kesehatan, untuk urusan keamanan juga melibatkan kementerian lain, dan sebagainya. Ibaratnya, Kemenag harus menjadi dirijen yang bisa menyerasikan semua kepentingan dan tugas yang masing-masing memiliki kontribusi di dalam penyelenggaraan haji.
Dengan demikian, di dalam penyelenggaraan haji akan didapati otoritas yang harus tegas dengan dilaksanakan berbasis shared authority. Secara konseptual, sebagaimana pandangan Emile Durkheim, bahwa terdapat teori otoritas kolektif, yang akan menentukan atas penyelenggaraan ibadah atau ritual. Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 masih menjadi kewenangan Kemenag atau Ditjen PHU yang secara otoritatif menjadi pelaksana kewenangan melalui negosiasi dengan institusi terkait.
Kemenang tetap menjadi penyelenggara ibadah haji dengan kewenangan yang sudah terbagi-bagi. Kewenangan itu ada di DPR, ada di BPHU dan juga Pemerintah Arab Saudi. Jika pemerintah tidak hati-hati di dalam mengelola kewenangan ini, maka penyelenggaraan haji tahun 2025 akan menuai problem. Namun demikian Kemenang sudah memiliki pengalaman, dan the best teacher is experience.
Wallahu a’lam bi al shawab.