Selamat Tahun Baru 2025: NU dalam Pusaran Harmoni Sosial (Bagian Ketujuh)
OpiniNU sebagai pilar penjaga harmoni sosial tentu tidak ada yang meragukan. Semenjak kelahirannya, meskipun keluar masuk dalam politik praktis, tetapi tetaplah NU sebagai organisasi social keagamaan yang selalu berada di dalam konteks menjadikan Islam wasathiyah sebagai basis eksistensinya. NU tidak pernah melepaskan Islam wasathiyah sebagai pilihan religious yang dihadirkannya. Pantaslah jika NU kemudian mendapatkan labeling sebagai organisasi yang konsisten dalam Gerakan Moderasi Beragama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun organisasi yang steril dari kontestasi, pertarungan bahkan konflik. Semua organisasi mengalaminya. Ada yang mampu bertahan dan eksis dan ada juga yang kemudian gulung tikar atau mati. Semuanya tergantung pada bagaimana daya kelenturan dan kemampuannya untuk mengadaptasi atas semua kepentingan dan tantangan yang dihadapinya. Selama itu NU mampu melakukannya dengan sangat istimewa.
Saya bersyukur bahwa dalam waktu yang lebih dari satu abad, NU mampu menjadi organisasi besar di Indonesia bahkan di dunia. Masa yang paling berat adalah di kala Orde Baru, di mana NU menjadi organisasi yang berada dalam politik praktis di tengah gigantisme partai politik pemerintah, sehingga gerak langkah NU banyak yang terhalangi untuk diaktualkan sampai kemudian terjadi Khittah 1926 pada tahun 1984. Pasca khittah 1926, maka gerak langkah NU sebagai organisasi keagamaan menjadi lebih lincah dan inovatif.
Pada era Orde Reformasi, NU memperoleh momentum untuk muncul ke permukaan, bahkan NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). NU tetap sebagai jam’iyah Keagamaan, dan PKB menjadi partai politik yang menjadi wadah artikulasi kepentingan politik NU. Berbeda dengan Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai politik, sehingga secara organisatoris tidak memiliki pengalaman mengelola politik, NU sesungguhnya kaya dengan pengalaman politik, meskipun dalam kancah politik sering kedodoran. Pembelaan mati-matian di dalam pilpres 2024, ternyata tidak berimplikasi atas NU sebagai organisasi social keagamaan.
Nuansa politik dan sosial keagamaan di dalam tubuh NU rasanya sedang tidak baik-baik saja. Ada sejumlah masalah yang dihadapi oleh NU baik secara internal maupun eksternal. Sebagai contoh, penayangan bertubi-tubi di media social atas persoalan nasab Ba’alawi, baik penolakan maupun pembelaan, tentu berimplikasi sangat luas. Persoalan ini telah membawa NU dalam ranah miskomunikasi yang parah. Biasanya NU menggunakan politik tabayyun dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapi sekarang nyaris hilang. Akibatnya masing-masing mengembangkan persepsinya sendiri-sendiri dan berakibat atas disharmoni NU sebagai jam’iyah yang sesungguhnya mengusung prinsip tasamuh dan toleran.
Hal yang juga tidak kalah menarik adalah mengenai Musyawarah Luar Biasa (MLB) yang diselenggarakan oleh kelompok NU non structural PBNU, yang diusung oleh orang yang merasakan ada masalah di dalam tubuh NU. Mereka menggelar pra-mu’tamar di Surabaya. Meskipun gaungnya tidak sebesar gaung Kongres JATMAN yang diselenggarakan oleh PBNU, akan tetapi dengan memahami sedikit saja tentang fenomena ini, maka bisa dipahami bahwa secara internal NU sedang ada masalah. Kongres JATMAN dan Pra-MLB dapat mengindikasikan bahwa memang terdapat persoalan di tubuh NU.
Ada juga orang NU yang menginginkan agar PBNU tidak menggunakan politik kekuasaan. Artinya bahwa orang yang terlibat langsung atau tidak langsung lalu dianggap bukan NU atau minhum. Mereka adalah orang NU yang bisa saja berbeda pemahaman NU dengan yang lain. Di dalam konteks ini, maka secara organisasional harus ada satu komando, namun dalam menjaga marwah NU secara kultural, maka sulit rasanya untuk melarang keterlibatan seorang individu warga NU untuk memiliki kepatuhan kepada ulama NU lainnya. Di dalam realitas empirisnya, bahwa organisasi yang paling demokratis di dunia adalah NU. Ada variasi pemahaman, prilaku keagamaan yang dipigura dengan dengan semangat Islam wasathiyah. Selama hal ini masih menjadi arus utamanya, maka mereka adalah Orang NU juga.
Bagi orang yang hatinya terikat dengan NU tentu merasakan bagaimana NU ke depan dapat memainkan kembali fitrah wasathiyah yang dikembangkan oleh para ulama pendiri NU. Kita ingin NU menjadi organisasi yang menjadi pilihan structural dan kultural bagi masyarakat dengan rasa damai. Tidak banyak larangan untuk beribadah dan berfokus pada amalan ibadah yang diinginkannya. Bayangkan kala orang ingin shalawatan yang selama ini menjadi ciri khas NU lalu dibubarkan karena berbeda siapa yang memimpin. Kala ingin beribadah dengan tarekat tertentu yang selama ini menjadi kegiatan kegembiraan di kalangan orang NU tiba-tiba tidak diperkenankan karena berbeda siapa pemimpinnya.
Rasanya kita harus mengedepankan pirinsip bahwa selama orang itu masih mau salawatan, tahlilan, yasinan, tasawulan, istighasahan, dibaan dan lain-lain upacara ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri khas ke-NU-an, maka sahlah orang itu menjadi orang NU. Tidak lagi bertanya siapa yang memimpin upacara ritual. Tidak perlu mengedepankan bahwa ini NU-Ku, antum bukan NU-Ku. Suatu hal yang dimasa lalu tidak menjadi prinsip di dalam ke-NU-an.
Marilah kita menurunkan ego masing-masing. Jangan sampai orang menjadi enggan menjadi NU, lebih baik menjadi Salafi, gegara di dalam NU bermasalah melulu. Kegaduhan di dalam tubuh NU akan berimplikasi, khususnya di kalangan Gen Z, yang sedang mencari kedamaian dalam beragama. Jika di dalam suatu organisasi terjadi kegaduhan maka akan berpeluang ditinggalkan terutama oleh Gen Z yang sedang mencari jati diri.
Kala di tubuh NU terdapat disharmoni karena miskomunikasi yang dipicu oleh perbedaan paham keagamaan, maka kelompok di luar NU yang memperoleh keuntungan dan manfaat. Di era kita sedang berusaha mempertahankan otoritas keagamaan yang semakin merosot, maka yang sesungguhnya diperlukan adalah merajut kebersamaan.
Wallahu a’lam bi asl shawab.