(Sumber : Bisnis.com)

Setelah Pilpres Lalu Apa: Rapor Merah dan Sengketa Pemilu

Opini

Pilihan Presiden (pilpres) sudah berlalu. Sekarang tinggal menunggu hasil hitung riil atau real account yang dilakukan Komisi Pemilihan Umam (KPU) yang akan diumumkan secara resmi pada 20 Maret 2024. Jika sudah diumumkan,  maka nanti pada bulan Oktober akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Makanya hari-hari ini merupakan hari-hari yang terasa panjang untuk menunggu hasil hitung riil KPU. 

  

Memang sudah ada hasil hitung cepat atau quick count yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey nasional, bahkan internasional tentang pilpres tahun 2024. Dan sebagaimana yang bisa disaksikan di berita-berita televisi maupun media social maka yang memenangkan Pilpres kali ini adalah Capres dan Cawapres, Prabowo-Gibran. Bahkan kemenangan yang cukup telak. Rasanya tidak terbayangkan bahwa Prabowo-Gibran akan mendapatkan persentasi suara sebesar itu. Nyaris semua lembaga survey memberikan angka di atas 57%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan survey-survey sebelum pelaksanaan pilpres sebesar 51% atau lebih sedikit. 

  

Itulah sebabnya paslon Prabowo-Gibran sudah “merasa” menang di dalam pilpres. Paslon ini sudah menggelar pesta “kemenangan” berdasarkan atas hasil quick count lembaga survey. Tidak dibayangkan bahwa lembaga survey itu seperti bersepakat untuk membuat kisaran angka 57-59 persen. Meskipun selalu dinyatakan bahwa pesta kemenangan nyata baru akan dilaksanakan setelah pengumuman KPU,  akan tetapi symbol kemenangan tersebut sudah dilempar ke publik. Meskipun sudah memenangkan pertarungan dalam politik nasional, tentu tidak selayaknya untuk “jumawa”, sebab memenangkan pilpres tentu bukan akhir dari segalanya, bahkan awal dari segalanya. 

  

Hal yang harus dipersiapkan pada masa awal atau sekarang justru untuk memberikan jawaban atas “keraguan” atas kemenangan Prabowo-Gibran, yang dianggap mengandung bias kekuasaan, yang berupa intervensi yang dirasakan oleh para kontestan lainnya. Ada sejumlah pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh paslon 02 ini. Di antaranya adalah politik oligarkhi yang melibatkan orang nomor satu di Indonesia. Meskipun semua yang terungkap di area public adalah tafsir demi tafsir, baik yang sengaja dibikin dengan menggunakan framing yang direncanakan atau yang tidak. 

  

Ada banyak rapor merah yang akan diuji oleh public melalui Lembaga Negara, baik Badan Pengawas Pemilu (bawaslu) atau bahkan penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana pilpres tahun 2019, maka paslon Prabowo-Sandi juga melakukan hal yang sama. Berbagai bukti yang nyata maupun opini juga dijadikan sebagai “barang bukti” atas kecurangan pilpres, namun akhirnya ditetapkan atau  diputuskan bahwa pasangan  Jokowi-Ma’ruf  yang menjadi presiden dan wakil presiden. Saya tentu tidak bisa memberikan komentar atas keterpilihan Jokowi-Ma’ruf dan bagaimana kemenangannya melalui MK dimaksud. Waktu itu persentasi kemenangannya adalah 55,50 persen untuk Jokowi-Ma’ruf dan 45,50% untuk Prabowo-Sandi. Kemenangan tersebut diperoleh dalam dua putaran pilpres. 

  

Pada pilpres 2024 tampaknya hanya akan terjadi dalam satu putaran. Tentu berdasarkan hasil yang diperoleh dari lembaga survey, di mana pasangan Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud kalah dalam persentase dibandingkan dengan Prabowo-Gibran. Dengan perbandingan Anis-Muhaimin  dalam kisaran 25%, Prabowo-Gibran 58%, dan Ganjar-Mahfud 16%. Sekali lagi angka ini belum menjadi penentu kemenangan. Angka ini hanya merupakan angka potensi, prediksi dan asumsi  kemenangan dan kekalahan. 

  

Di tengah media social yang powerfull, dan siapapun bisa mengunggah pengetahuan dan pengalaman dalam menjalani pilpres, maka ketiga kubu tentu sudah menyiapkan apa yang akan dipersengkatakan dan apa yang menjadi jawaban atas sengketa pilpres. Makanya, sekarang ini pertarungan pasca pilpres akan lebih seru dengan bukti-bukti yang semakin lengkap. Artinya, pasca pengumuman Prabowo-Gibran harus menyiapkan tim legal yang akan mematahkan dugaan penyelewengan dalam proses pilpres. Dipastikan tidak mudah untuk melakukannya di tengah internet of think dan era powerfull social media, yang akan menyajikan berbagai masalah di dalam pilpres. 

  

Banyak orang yang meragukan hasil quick count yang hanya asumsi, prediksi dan potensi. Memang harus diakui bahwa hasil survey tidak menyajikan angka riil akan tetapi melalui metodologi yang saintific, maka prediksi tersebut bisa menghasilkan “kebenaran.” Mari kita lihat angka perbedaan antara quick count lembaga survey dengan hasil perhitungan KPU di dalam pilpres 2019. Seluruh quick count memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan persentase berkisar antara lower limit 53,91% dan upper limit 55,91%, sedangkan Prabowo-Sandi dengan lower limit 44,19 % dan upper limit sebesar 45,55 %. Sedangkan hasil hitung KPU sebesar 55,50% Jokowi-Ma’ruf dan 46,09% untuk Prabowo-Sandi. Quick Count dilakukan oleh Charta Politika, Indikator Politik, Indo Barometer, LSI dan Populi Centre. (CNN, 14/02/2024). 

  

Oleh karena itu, masing-masing paslon tentu sudah menyiapkan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menolak atau menerima hasil pilpres tahun 2024. Saya yakin bahwa dua  paslon, Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud,  tentu sudah menyusun strategi yang dianggapnya jitu untuk melakukan gugatan hasil pilpres. Namun demikian, yang jauh lebih penting adalah bagaimana semuanya tetap berada di dalam koridor Indonesia milik kita bersama. 

  

Bagi umat Islam yang penting adalah bagaimana tetap berada di dalam konteks: keindonesiaan, keislaman dan kemodernan. Jangan sampai pilpres yang dilakukan itu lalu mengoyak keindonesiaan kita, keberagamaan kita dan  kemoderenan kita. Tantangan terbesar kita adalah menyiapkan Tahun Emas Indonesia Merdeka, 2045, yang tentu harus dipersiapkan dengan kebijakan-kebijakan yang memihak hal tersebut.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.