(Sumber : Dokumentasi Penulis )

Teologi Cinta dalam Bekerja

Opini

Salah satu di antara yang sangat penting di dalam kehidupan manusia adalah kehadiran cinta. Tanpa cinta hidup menjadi gersang bagaikan tanah tandus di gurun pasir. Cinta adalah kehidupan. Cinta menjadi inspirasi di berbagai mahakarya di dalam dunia seni dan tari, menjadi focus di dalam seminar, simposium dan berbagai diskusi di warung kopi. Cinta telah melahirkan sejumlah film, lagu dan tarian-tarian yang universal.

  

Saya diundang oleh Direktur Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Dr. M. Munir, MA, pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Ada acara yang diberikan paket kegiatan pembinaan pegawai pada Dit PAI dimaksud. Ada Dirjen Pendidikan Islam, Prof. Dr. Suyitno,  dan Sekretaris Jenderal Kemenag, Prof. Dr. Kamaruddin Amin, serta saya yang menjadi narasumber. Acara yang menarik sebab mengantarkan kepada para staf di Dit PAI untuk mendapatkan siraman tugas, pokok dan fungsi serta siraman rohani. Saya didapuk untuk memberikan siraman rohani bagi para staf di Dit PAI dimaksud. Mungkin karena usia yang paling senior, bukan tua, sehingga saya dianggap pantas untuk membicarakan persoalan-persoalan terkait dengan spiritualitas bekerja. Acara diselenggarakan pada 18/03/2025.

  

Ada tiga hal yang saya sampaikan. Pertama, karena bulan puasa, maka sudah selayaknya kita bersyukur kepada Allah karena masih diberikan kesehatan fisik atau jasmani dan kesehatan rohani. Jika dua hal ini terdapat di dalam diri kita, maka kita layak untuk bahagia di dalam kehidupan. Ada orang yang harta dan uangnya banyak tetapi sakit-sakitan. Ada orang yang hartanya cukup dan bahkan pas-pasan, tetapi keluarganya tenteram, keluarganya sehat, baik sehat rohani dan jasmani. Kita semua dapat melaksanakan puasa yang insyaallah pada akhirnya menjadi orang yang semakin bertaqwa kepada Allah SWT. 

  

Kedua, Pak Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA akhir-akhir ini banyak mengungkap tentang cinta. Agama berbasis cinta, pendidikan berbasis cinta, kurikulum berbasis cinta, dan tidak kalah menarik juga bekerja berbasis cinta. Oleh karena itu, saya akan menguraikan tentang “teologi cinta di dalam bekerja”. Saya membagi cinta dalam tiga tingkatan, yaitu cinta berbasis fisikal atau jasmaniyah, lalu cinta berbasis jiwa atau nafsiyah dan cinta berbasis roh atau cinta berbasis ruhaniyah. 

  

Banyak ahli yang menggambarkan bahwa unsur di dalam diri manusia itu hanya dua, yaitu unsur jasmani dan ruhani. Unsur badan dan unsur roh. Saya mencoba untuk menganalisisnya bahwa di dalam diri manusia terdapat tiga unsur, yaitu unsur fisikiyah, unsur nafsiyah dan unsur ruhaniyah. Berbeda bukan. Unsur fisik itu yang bersifat bendawi. Yang bisa diobservasi, bisa direngkuh, bisa diraba. Semua bersifat bendawi. Ada kepala, tangan, badan dan kaki. Semua bisa digerakkan sesuai dengan perintah diri. Semua observable. Cinta yang didasari oleh dimensi kebendaan atau jasmani itu misalnya sentuhan seorang lelaki dan perempuan. Suami dan istri. Di masa muda, rasanya jika tidur lalu tidak berhadapan tentu ada yang kurang. Tetapi di kala usia sudah merambat tua, semuanya bisa berubah. Sudah bukan lagi tidur dalam pelukan, tetapi tidur sendirian. Pengalaman seperti ini banyak dialami oleh pasangan suami istri yang sudah merambat tua. Kala sudah tua, daya tarik fisikal sudah tidak penting. Unsur mawaddah sudah berubah menjadi unsur rahmah. Dari unsur cinta yang badani menjadi kasih sayang berbasis kejiwaan. 

  

Cinta yang didasari oleh kejiwaan atau nafsiyah merupakan cinta yang sudah lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan cinta fisikiyah dimaksud. Cinta seperti itu mengayuh di antara cinta fisikiyah karena tubuh atau fisik membutuhkannya. Fisik memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan biologis. Tetapi cinta berbasis kejiwaan itu merupakan cinta yang basisnya adalah kebutuhan social dan integrative. Perlu ada cinta yang wujudnya adalah kasih sayang, seperti kasih sayang kepada keluarga, atau komunitas dan Masyarakat. Cinta terhadap sesama manusia yang dasarnya adalah kasih sayang yang memang dibutuhkan. Karena jiwa itu netral, maka jiwa akan menjadi jiwa yang muthmainnah atau jiwa yang tenang jika dipengaruhi oleh ruh yang merupakan dimensi ketuhanan di dalam diri manusia. Ada orang yang hidupnya tenang, tenteram dan bahagia karena pengaruh roh spiritualitasnya lebih besar dan sebaliknya jika yang berpengaruh lebih besar adalah dimensi fisikiyahnya maka kehidupannya nir dari ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. 

  

Berikutnya yang tertinggi adalah cinta yang berbasis ruhaniyah, spiritualitas atau ketuhanan. Inilah puncak cinta di dalam kehidupan. Mungkin kita belum bisa sampai seperti ini, akan tetapi dengan keyakinan dan pengamalan beragama yang benar insyaallah kita pelan-pelan tetapi pasti akan juga bisa merengkuh kehidupan seperti itu. Prototipe yang bisa menjadi contoh adalah kehidupan imam madzhab seperti Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Maliki. Lalu Imam Ghozali, Imam Bukhori, Imam Muslim, para walisanga, ulama yang shaleh dan umat Islam yang sudah sampai pada tahapan ainun basyirah. Ada seseorang yang bisa membaca shalawat 10.000 kali sehari, tentu akan mendapatkan kasih sayang dari Rasulullah Muhammad SAW. Mungkin kita dapat  membaca 100 kali setiap hari tetapi rutin atau istiqamah.

  

Kita bersyukur sebagai karyawan pada Kementerian Agama. Kita bisa berkumpul dengan orang yang saleh. Sebagaimana tombo ati iku limo sakwernane. Salah satunya adalah wong kang Sholeh kumpulana atau berkumpullah dengan orang yang baik.  Termasuk kudu weteng ingkang luwe atau puasa, atau dzikir wengi ingkang suwe atau membaca dzikir yang lama, maca Qur’an sak maknane atau membaca Alqur’an dan memahami maknanya serta shalat wengi lakonana atau sholat malam agar dikerjakan. 

  

Ketiga, saya ingin mengingatkan agar kita bekerja dengan cinta. Ada teologi cinta di dalam bekerja. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga untuk kebutuhan jiwa dan rohani. Di dalam bekerja, ada tiga syarat supaya bahagia, yaitu: ada purpose atau tujuan di dalam bekerja. Kita bekerja untuk memenuhi tupoksi dan mendapatkan gaji akan tetapi keduanya hanyalah tujuan antara atau instrumental purpose. Tingkatkan tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan ridlonya Allah SWT. Bekerja untuk rahmatnya Allah. Inilah yang disebut sebagai the ultimate purpose. Lalu ada harapan atau hope. Kita tentu bekerja untuk mendapatkan gaji dan bahkan juga berharap menjadi pejabat. Tetapi keduanya hanyalah instrumental hope atau harapan sementara. Yang diperlukan adalah the ultimate hope atau harapan memperoleh ridhanya Allah atau rahmatnya Allah SWT. Dan yang terakhir kita harus memiliki kawan atau friendship. Bekerja dalam persahabatan. Pekerjaan itu menjadi milik kita Bersama. Di dalamnya ada solidaritas. Semakin tinggi solidaritas di dalam bekerja tentu akan semakin besar peluang untuk menyelesaikan pekerjaan bersama-sama, dan sebaliknya ketiadaan solidaritas akan menyebabkan rendahnya kualitas pekerjaan kita.

  

Marilah kita jadikan puasa kita sebagai instrument untuk meraih rahmatnya Allah SWT. Man qoma ramadlona imanan wahtisaban ghufiro lahu ma taqaddama min dzanbihi, jadi bukan sekedar man shoma ramadlana. Puasa kita kerjakan lalu perkuatkan diri kita untuk melakukan kebaikan. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.