(Sumber : Dokumentasi Penulis)

Terorisme: Donasi untuk Gerakan Teror di Indonesia

Opini

Hendro Fernando, adalah seorang pemuda yang energik, dengan profil fisik yang menggambarkan sebagai lelaki yang sehat, tegas dan pemberani. Tubuhnya yang tinggi besar menggambarkan sebagai seorang yang pertumbuhan fisiknya sangat memadai. Lelaki keturunan Sumatera Barat dan besar di Bekasi Jawa Barat ini menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang memiliki keberanian untuk melakukan tindakan, bahkan menjadi teroris. Hendro tertarik dengan gerakan radikalisme melalui pertemanan dengan orang yang seide tentang keinginan mendirikan negara Islam. Hendro dibaiat menjadi bagian dari jaringan terorisme dengan penugasan untuk mencari dana  melalui donasi kemanusiaan.

  

Saya bertemu dengan Hendro Fernando, pada saat acara “Focus Group Discussion (FGD) Dakwah Kontra Radikalisme Berbasis Moderasi Beragama dan Peta Penyebaran Gerakan Radikal di Jawa Barat”, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Nurul Huda, Setu, Bekasi, Jawa Barat. Hadir di dalam acara tersebut para narasumber, yaitu: Prof. Dr. Nur Syam, MSi (Guru Besar FDK UINSA Surabaya),  Kiai Atho Ramli Musthofa (Pendiri Pesantren Nurul Huda dan Ketua NU Cabang Bekasi), Hendro Fernando (mantan Napiter), dan  Dr. Ade Abdul Hak, M.Hum, CIQnR (Dekan Fahum UIN Syahid Jakarta), dan sejumlah tim peneliti: Prof. Dr. Abd. Halim, Dr. Abdul Basith, Dr. A. Mujib Adnan, M. Bashori, Lc, MA (Pesantren Darul Muttaqin Manukan Surabaya), Mevy Eka Nurhalizah, M.Sos, Eva Putriya Hasanah, M.Sos, para mahasiswa UINSA dan UIN Syahid Jakarta. Lalu, Drs. Ali Anwar, MPdI, Rois Syuriah PCNU Bekasi, dan sejumlah ketua MWC NU se Kabupaten Bekasi dan organisasi di bawah NU pada pengurus NU Cabang Bekasi. Acara dihelat 04/11/2023.  

  

Pada kesempatan diskusi, Hendro menyatakan: “setelah dibaiat, saya ditugasi oleh Bahrum Naim untuk mencari dana bagi jaringan terorisme di Indonesia. Saya ditugasi untuk mencari donasi kemanusiaan di Turki, UEA dan Arab Saudi. Dalam waktu kurang dari tiga bulan saya dapat kumpulkan sebanyak Rp1,2 milyar. Tetapi problemnya adalah pengiriman dana ke Indonesia. Dana tersebut tidak bisa dikirim melalui bank-bank di negara yang menjadi donatur. Tetapi akhirnya ada bank yang bisa dijadikan tempat untuk mengirimkan dana, yaitu Western Union Bank, yang tersebar di seluruh dunia. Hanya saja, terbatas jumlahnya yaitu pengiriman hanya maksimal 100.000 dolar US  dalam satu bank untuk satu akun. Maka saya hanya perlu mencari 11 orang lainnya untuk pengiriman dana melalui  Western Union Bank dari lokasi berbeda. Dari uang tersebut saya gunakan membeli senjata dari Filipina, dan juga kepentingan pendanaan keluarga jaringan.”

  

Menurutnya, donasi untuk gerakan radikal tersebut sangat diperlukan. Dana tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan bagi yang akan berangkat ke Syria melalui Turki atau Pakistan. Selain itu juga digunakan untuk membiayai bagi keluarga jaringan yang tertangkap atau yang berada di medan peperangan. Dia mengungkapkan: “saya tertangkap karena  memiliki senjata dalam jumlah yang banyak dan amunisi puluhan ribu.” Senjata dan amunisi tersebut dikirimkan untuk pejuang dalam  konflik di Poso.”

  

Seluruh pembiayaan untuk keluarga jaringan teroris yang tertangkap  dibiayai kehidupannya. Untuk biaya kehidupan dan juga biaya sekolah. Kala Hendro ditangkap, maka kemudian istri dan anaknya dibiayai. Selama tiga kali tertangkap dan  berada di tahanan maka keluarganya  dibiayai. Tetapi pada saat   keluar dari jaringan, maka semuanya diberhentikan. Lebih lanjut Hendro menyatakan: “pusing juga saya kala kembali ke NKRI dan biaya kehidupan keluarga dihentikan. Saya  sudah dinyatakan murtad”. 

  

Jika dibuat tipologi, maka kaum jihadis yang sudah menghuni lapas tersebut dapat dibagi menjadi tiga: yaitu kelompok yang merah, ialah mereka yang masih kuat pengaruh jejaring terorismenya. Mereka tidak berubah keyakinannya tentang kebenaran jaringan teroris. Lalu kelompok warna kuning yang sudah mulai menilai terhadap mana yang benar dan mana yang salah, dan kelompok hijau yang sudah menyadari akan kekeliruannya di masa lalu dan mengakui Pancasila dan NKRI. Jika masih merah dan kuning masih dibiayai, tetapi yang hijau benar-benar di-stop

  

Terhadap mereka yang berwarna merah tentu tidak bisa didakwahi oleh da’i Kemenag atau organisasi Islam lainnya. Mereka pasti akan menolak. Pernah ada pendakwah dari Kemenag yang gagal total di dalam dakwahnya. Oleh karena itu, Densus 88 Anti teroris kemudian mengubah strategi penyadaran terhadap yang berwarna merah dan kuning dengan mendatangkan napiter yang sudah sadar. Merekalah yang dapat melakukan tugasnya untuk menyadarkannya. Sesama Napiter tentu ada koneksivitas di antara mereka. 

  

Yang menjadi problem utama di kalangan napiter yang sudah tobat dan kembali ke NKRI adalah perasaan apakah mereka bisa diterima oleh masyarakat lalu usaha apa yang harus dilakukan pasca kembali ke dalam masyarakat? Untunglah Densus 88 Anti terror telah menyiapkan skema untuk pembiayaan atas mereka yang kembali ke NKRI. Melalui skema kerja dan usaha, maka mereka akhirnya bisa menikmati kembali kebebasannya untuk hidup layak di masyarakat.

   

Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka yang sudah tobat itu akan diganggu dengan iming-iming pendanaan. Hendro menyatakan: “saya juga pernah diharapkan untuk kembali ke jaringan dengan imbalan pendanaan yang memadai dan jaminan kehidupan. Tetapi hati saya sudah mantap bahwa saya kembali ke Republik Indonesia dengan kesadaran sepenuhnya.” Itulah sebabnya ada sebagian napiter yang sudah sadar akhirnya menjadi masuk kembali ke dalam jaringan. Mereka kembali beraktivitas sebagai kelompok teroris yang siap melaksanakan perintah.

  

Yang juga ironis, bahwa mereka yang tertangkap juga tidak mendapatkan asupan ajaran agama yang moderat. Selama berbulan-bulan mereka justru berkumpul sesama teroris dan justru semakin memantapkan keterorisannya. Sampai akhirnya kemudian dipisahkan. Ada yang masuk high security, ada yang masuk medium security dan ada yang sudah bisa bergaul dengan narapidana lainnya. Kepada yang masuk dalam kategori high security, maka dimasukkan ke dalam sel yang tidak ada penerangannya sama sekali. Mereka hidup dalam kegelapan dan tidak tahu kapan waktu sholat dan lainnya. Tidak tahu siang atau malam. Pada kelompok seperti ini, maka penyadaran dapat dilakukan oleh sesama mantan teroris. Hendro menyatakan: “saya pernah dikirim oleh Densus 88 ke berbagai Lapas untuk menyadarkan mereka yang masih terpapar.”  

  

Jejaring teorisme dengan sangat mudah didapatkan. Melalui akun telegram maka dengan mudah diakses. Kebanyakan kaum teroris menggunakan akun telegram untuk melakukan perbincangan meskipun dengan sandi dan nama-nama samaran. Jika mereka mendapatkan sasaran baru maka kemudian diarahkan untuk melakukan kontak dengan akun yang ditunjukkan. Jika kemudian tertarik dengan standart yang sesuai dengan jaringan, maka kemudian dibaiat. Hendro menyatakan: “saya dibaiat oleh Bahrum Naim dan kemudian ditugaskan untuk mencari dana bagi gerakan terorisme.” 

  

Jejaring terorisme sulit untuk dihilangkan atau dinegasikan. Dan yang mungkin adalah dengan melakukan pencegahan. Upaya yang dilakukan oleh Densus 88 Anti terror untuk melakukan pembinaan secara preventif tentu sangat penting, terutama bagi generasi muda yang memang rawan terpapar virus radikalisme.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.