Tujuh Belas Agustusan: Sejarah Indonesia Sebagai Modalitas Kebangsaan (Bagian Pertama)
OpiniSepekan lagi kita sebagai bangsa Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 76. Artinya, sudah 76 tahun bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, yang katanya selama 350 tahun. Lama sekali penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia, selama tiga setengah abad. Meskipun di sana-sini sebenarnya juga terjadi perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh komponen bangsa ini. Hanya saja perlawanan tersebut bercorak segmental dan temporal. Itulah sebabnya, perlawanan tersebut dengan mudah bisa dipatahkan oleh Belanda dengan kebijakan belah bambu atau adu domba.
Belanda memang menerapkan politik divide et impera atau politik memecah belah masyarakat Indonesia untuk tujuan politik dan kekuasaannya. Banyak komponen masyarakat Indonesia yang bisa dibujuk rayu untuk mengikuti mindset para penjajah, sehingga akhirnya berperang melawan bangsanya sendiri. Betapa banyak peperangan yang melibatkan relasi antar komunitas, masyarakat dan kerajaan yang terjadi karena politik belah bambu. Pertentangan di dalam keluarga kerajaan lalu Belanda masuk ke dalamnya, dengan cara mendukung salah satu di antaranya, sehingga ketika yang didukungnya memenangkan peperangan, maka ada imbalan yang diterimanya. Dan memang imbalan itulah yang diinginkan dan bahkan diperjanjikan pada awal dukungan Belanda kepada kelompok masyarakat Indonesia kala itu.
Sejarah memang bukan sesuatu yang ideal. Namun demikian, sejarah bisa menjadi cermin bagi kehidupan sekarang dan akan datang. Sejarah merupakan peristiwa masa lalu, yang dengannya kita bisa belajar. Mulai dari bagaimana kehidupan sosial dirajut dan ditegakkan sampai bagaimana mengelola negara dengan cara yang baik atau buruk. Semua telah tersaji dalam hamparan sejarah bangsa yang bisa dijadikan sebagai cermin kehidupan.
Mengapa bangsa Indonesia terjajah sedemikian panjang tentu juga bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita sekarang. Juga bagaimana akhirnya bangsa ini bisa menjadi satu kesatuan yang utuh dalam dinamika kehidupan Bersama juga dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga. Cermin bening yang namanya sejarah tentu telah mengajarkan banyak hal kepada kita tentang arti pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, tentang perpecahan yang menyebabkan terjadinya kehidupan sosial terkoyak tak termaknai, dan juga kerusakan dan kehancuran sebagai akibat konflik berkepanjangan. Itulah sebabnya slogan: “Jangan lupakan sejarah” menjadi penting untuk dikedepankan.
Sebagai bangsa besar, kita sudah mengalami banyak dinamika, baik yang positif maupun negatif. Semenjak kemerdekaan, bangsa ini sudah mengalami banyak peristiwa, yang baik maupun yang buruk. Misalnya tentang penetapan dasar negara, tentang penyusunan UUD 1945, tentang penentuan bentuk negara, dan juga bagaimana merawat kebinekaan. Kita semua sekarang tentu harus berterima kasih kepada para founding fathers negeri ini, yang sedemikian luas dan mendalamnya pemahaman tentang makna kebinekaan bagi bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa menyadari benar dan saya yakin mereka belajar sejarah tentang bagaimana merawat kebinekaan dengan cara menemukan solusi untuk kebersamaan. Mereka meyakini bahwa dengan mengembangkan common platform yang universal saja semua perbedaan bisa terakomodasi dan semua kepentingan bisa diadaptasi. Kata kuncinya adalah “keterbukaan pemikiran”, “keterbukaan tindakan” dan “menerima perbedaan sebagai keniscayaan”. Tiga teks ini berbasis pada upaya untuk menemukan jalan tengah dalam pemahaman, sikap dan tindakan atau moderatisme, yang bisa berkolaborasi dan beradaptasi dengan pemikiran, sikap dan tindakan orang lain, yang memang benar-benar berbeda.
Bertemunya pemahaman, sikap dan tindakan tentang common platform bangsa (Pancasila), merupakan karunia Tuhan, Allah SWT, yang tiada duanya. Bahkan ketika diuji di dalam Perlemen hasil Pemilu 1955, akhirnya juga bangsa ini bisa selamat untuk kembali menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Kita bisa membayangkan seandainya kemudian ada salah satu ideologi dunia yang dijadikan sebagai dasar negara, misalnya, Komunisme, Islamisme atau Liberalisme, maka bisa dipastikan bangsa Indonesia akan terkoyak-terkoyak menjadi serpihan-serpihan kewilayahan atau kedaerahan yang sesuai dengan pandangan masyarakatnya.
Sebagai bangsa, Indonesia telah melampaui masa-masa paling krusil tentang upaya menetapkan ideologi sebagai dasar negara. Perjalanan panjang dalam sidang konstituante selama 3,5 tahun tidak menghasilkan perkembangan yang signifikan dan nyaris menjadikan bangsa Indonesia terpecah belah, dan akhirnya dengan kekuatan intelektual, spiritualitas dan kepemimpinan, maka kita kembali kepada UUD 1945, yang artinya kembali kepada kesepakatan semula, sebagai bangsa yaitu menegakkan empat pilar konsensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Sejarah bangsa seperti ini, sebagaimana ditorehkan oleh para pendiri bangsa, harus tetap menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia, agar kita semua terhindar dari jebakan batman, yang bisa bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Para generasi muda harus belajar sejarah bangsa Indonesia. Dengan belajar yang serius tentang sejarah kebangsaan tersebut akan dapat membawa kita kepada jalan yang lempang yang sudah memiliki keabsahan empiris sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa. Janganlah para generasi muda Indonesia justru diperdaya dengan berbagai isme dunia yang “konon katanya” bisa menyelesaikan seluruh urusan bangsa. Indonesia sudah memiliki modalitas kebersamaan, persatuan dan kesatuan, sehingga janganlah dikoyak sendiri oleh generasi penerus bangsa karena terperdaya oleh hasutan yang memang didesain untuk melumpuhkan bangsa besar, Bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.