(Sumber : Islami.co)

Ukhuwah Ashabiyah: Perseteruan NU dan Salafi

Opini

Akhir-akhir “ketegangan” antara NU (Gerakan Pemuda Ansor) dan Salafi kembali mengemuka. Di antara pemicunya adalah pembubaran pengajian  Syafiq Riza Basalamah di Surabaya, Masjid As Salam, Purimas Gunung Anyar Surabaya, Kamis, 22/02/2024.  Tentu saja pembubaran pengajian ini dipicu oleh realitas empiris, bahwa Syafiq dinilai sering “melecehkan” warga NU dalam kaitannya dengan ceramahnya yang membidh’ahkan amalan-amalan warga NU, misalnya tentang tahlilan, yasinan, wiridan ba’da shalat wajib dan lain-lain. Amalan warga NU dinilai tidak memiliki dasar hukum dalam fiqih sesuai dengan tafsir atau pemahamannya tentang Islam.

  

Lalu, ada usulan dari Muhammadiyah dan juga MUI agar antara NU dan Salafi untuk duduk bersama melakukan dialog. Acara dialog ini dimaksudkan untuk menjadi wahana menyamakan pandangan tentang dakwah yang dapat disampaikan ke masyarakat. Diharapkan bahwa melalui dialog berkesetaraan antara NU dan Salafi akan dapat saling memahami mana pesan dakwah yang bisa disampaikan dan mana yang tidak dapat disampaikan. 

  

Selama ini antara NU dan Salafi sering bertarung di media social. Salafi yang selalu melakukan attacking dengan ungkapan atau pernyataan yang “menyakiti” perasaan keagamaan warga NU, sementara itu, warga NU juga melakukan serangan balasan atas berbagai pernyataan yang diunggah di media social. NU memang selama ini dikenal sebagai organisasi social keislaman yang sedemikian momot dengan tradisi-tradisi Islam local yang oleh Kaum Salafi dianggap sebagai bidh’ah, dan bahkan dianggap sebagai orang kafir yang tersesat. 

  

Berbasis atas kenyataan yang terjadi di kalangan orang NU dengan tradisi Islam lokalnya dimaksud, maka banyak unggahan kaum Salafi yang menyalahkannya atau lebih tepat membidh’ahkannya. Dinyatakan bahwa yang dilakukan adalah amar ma’ruf nahi mungkar. NU di dalam pandangannya telah melakukan beragama yang tersesat. Dan setiap yang tersesat dipastikan masuk neraka. Kullu bidh’atin dhalalah wa kullu dhalalatan fin nar. Dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar, maka unggahan kaum Salafi sungguh menohok jantung pengamalan beragama di kalangan orang NU. 

  

Makanya, pertarungan antara NU dan Salafi akan sulit untuk diredakan. Selama masih diyakini bahwa amalan orang NU itu tersesat, maka selama itu pula akan terdapat tindakan untuk memberantasnya. Sebagaimana diketahui bahwa kaum Salafi tidak akan pernah menerima tafsir dari ulama lain selain ulamanya sendirinya. Mereka menutup telinga jika ada dakwah yang dilakukan oleh ulama-ulama NU. 

  

Di beberapa masjid sekarang dilakukan upaya untuk memberikan peluang kepada semua kelompok keagamaan. Ada masjid yang menyelenggarakan ceramah agama dari tiga kelompok beragama, yaitu da’i dari kelompok Muhammadiyah, da’i dari kelompok Salafi dan da’i dari kelompok NU. Diceritakan bahwa kala ada da’i Salafi, maka warga NU ikut mendengarkan, demikian juga jika ada da’i Muhammadiyah juga orang NU ikut mendengarkan. Hal ini juga dilakukan oleh orang Muhammadiyah. Tetapi kaum Salafi dipastikan tidak datang. Jika ada satu orang yang datang, dianggap perwakilan, maka di kala ceramah dilakukan oleh da’i NU, maka telinganya ditutup dengan headset dan mungkin mendengarkan ceramah lain dari kelompoknya. 

  

Secara konseptual diketahui bahwa setiap pemeluk agama yang memahami dan mengamalkan ajaran agamanya akan cenderung untuk “hanya” membenarkan kelompoknya sendiri. Secara teoretik disebut sebagai religious way of knowing. Bahwa diyakini hanya jalan agamanya sendiri yang benar. Hanya keyakinannya yang valid dan benar menurut Tuhan dan yang lain salah. Dunia keyakinan yang hanya membenarkan miliknya sendiri. Religious belief relies on trust and faith. Keyakinan beragama tergantung pada kebenaran dan iman. Jadi ada kebenaran yang diyakininya dan ada iman yang diyakininya. 

  

Agama itu menyangkut keyakinan, ritual dan ekspresi keberagamaan. Orang NU meyakini atas kebenaran tafsir ulamanya dan mengamalkan ritual sesuai dengan tafsir ulamanya dan kemudian mengekspresikannya yang sesuai dengan keyakinan dan ritualnya. Inilah kebenaran bagi orang NU. Yang Salafi juga meyakini kebenaran tafsir ulamanya, melakukan ritual sesuai dengan tafsir ulamanya dan mengekspresikannya sesuai dengan keyakinan dan ritual tersebut. Jadi masing-masing meyakini tafsir atas ajaran agamanya sesuai dengan tafsir ulamanya. Tidak kurang tidak lebih.

  

Upaya untuk mendialogkan “kebenaran” agama tentu akan terkendala oleh pamahaman agama yang tidak dapat bernegosiasi bahwa dunia tafsir ulama itu dunia yang terbuka, kebenaran yang tidak mutlak dan berpotensi untuk berubah tergantung pada perkembangan atas tafsir atas ajaran agama yang ditafsirkannya. Pertanyaannya: bisakah kaum Salafi menerima tafsir lain selain dari tafsir ulamanya sendiri. Jika bisa maka besar peluang untuk negosiasi. Akan tetapi jika tidak,  maka dialog apapun tidak akan menghasilkan kesepahaman yang berarti.

  

Di dalam membangun toleransi, maka yang diperlukan adalah memahami bahwa ada paham lain, ada tafsir lain termasuk paham agama. Pemahaman beragama tersebut dihasilkan dari ijtihad para ulamanya, yang kemudian juga dibenarkan oleh sejumlah ulama yang berada di dalam paradigma atau madzhab yang sama. Tafsir tersebut boleh dan bisa berbeda dengan tafsir ulama lain yang juga tetap memiliki peluang kebenaran. Tanpa pemahaman seperti ini maka sungguh dialog apapun tidak akan menghasilkan kesepahaman yang setara. 

  

Kaum Salafi kiranya dapat menggeser sedikit ukhuwah ashabiyah atau persaudaraan yang hanya berbasis pada tafsir atau paham yang sama dengannya, dan menggeser pemikiran beragama yang sangat eksklusif dan tidak sedikitpun memberikan peluang orang lain untuk berbeda. 

  

Dengan demikian, selama persudaraan itu hanya berbasis pada tafsir ashabiyah, maka selama itu pula akan terus terjadi gesekan-gesekan yang tidak produktif dalam keberagamaan. Orang lain sudah berbicara tentang artificial intelligent, big data dan digital era, sementara itu umat Islam masih terus “bertempur” dengan sesama umat Islam.  

  

Wallahu a’lam bi al shawab.