UU Cipta Kerja dan Harga Mati Demokrasi
OpiniDrama keputusan DPR untuk mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (5 Oktober 2020) memang menuai penolakan di banyak tempat, dan bahkan para gubernur juga menyuarakan agar pelaksanaan UU tersebut dipikirkan untuk ditunda. Tekanan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu menandakan atas proses demokrasi yang memang harus terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
Masyarakat kita tentu semakin melek demokrasi dalam konteks bisa memberikan check and balance terhadap apapun yang dihasilkan dari ruang sidang rakyat melalui representasi wakil-wakilnya di DPR. Jadi, apa yang dihasilkan oleh DPR adalah apa yang seharusnya menjadi keinginan rakyat. Dalam bahasa populernya disebut Vox Populi Vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Hal ini menggambarkan betapa besarnya kekuatan rakyat itu, sehingga suaranya seakan-akan merupakan suara Tuhan. Jadi seharusnya yang menjadi keputusan DPR adalah suara Tuhan. Jadi hasilnya adalah kebenaran sebagaimana tuntutan dan keinginan rakyat.
Indonesia memang sudah menapaki demokrasi dan bahkan sebagai negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara. Sebagai negara demokrasi, maka segala keputusan demokrasi itu adalah “mengikat” terhadap semua masyarakat. Seharusnya seperti itu. Hanya sayangnya bahwa demokrasi itu belum menapaki demokrasi yang sesungguhnya, artinya bahwa yang disuarakan oleh DPR belum menggambarkan suara rakyat, atau untuk artikulasi kepentingan rakyat. Sebagai artikulasi kepentingan rakyat, maka demokrasi harus berbasis pada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pengusaha, kepentingan sekelompok elit politik, atau golongan tertentu.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tentu kita harus mengapresiasi terhadap keberhasilan DPR bersama pemerintah untuk menghasilkan UU Cipta Kerja meskipun di sana sini terdapat penolakan. Berbagai tindakan penolakan sebenarnya difasilitasi oleh banyak aspek, di antaranya: pertama, rendahnya sosialisasi terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja, sehingga masyarakat minim memperoleh pengetahuan yang utuh tentang pembahasan RUU ini. Saya pernah terlibat secara langsung tentang pembahasan RUU, seperti UU Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014) dan UU Keuangan Haji (UU No. 34 Tahun 2014), serta yang lebih lama UU Pendidikan Tinggi (UU No.12 Tahun 2012), sehingga saya mengetahui dengan mendalam mengenai bagaimana merumuskan RUU menjadi UU dan perdebatan demi perdebatan yang tersaji di dalamnya, bahkan juga lobi-lobi yang harus dilakukan dalam kerangka mengambil kesepakatan. Bahkan bagaimana membahas satu ayat saja bisa berhari-hari dengan waktu sampai larut malam. Semua ini dilakukan tentu saja dengan cara yang sangat demokratis dan sejauh mungkin menghindari voting. Menurut saya, informasi pembahasan seperti ini tidak tersosialisasikan dengan baik, sehingga muncul ungkapan tergesa-tergesa dan sebagainya.
Kedua, materi RUU tentu juga tidak seluruhnya dipahami oleh semua anggota Dewan. Memang ada perwakilan dari masing-masing fraksi untuk menjadi juru bicara dan memiliki penguasaan materi RUU yang baik. Dan hal tersebut diketahui dari bagaimana anggota dewan tersebut membahas terhadap satu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan oleh pihak pembahas. Sebagaimana RUU Cipta Kerja, maka pembuat DIM adalah DPR karena yang mengajukan usulan RUU Cipta Kerja adalah pemerintah. Saya ingat betul di kala akan dilakukan pembahasan terhadap revisi UU Penyelenggaraan Haji No. 13 tahun 2008, maka pemerintah (Kemenag bersama kementerian lain yang ditunjuk presiden) membuat DIM lebih dari 900 item. Jadi sungguh-sungguh dilakukan upaya untuk membahas DIM tersebut dengan sangat serius. Informasi seperti ini jarang tercover oleh media sosial, sehingga dianggaplah bahwa pembahasan RUU itu hanya sambil lalu saja.
Ketiga, pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan semasa Pandemi Covid-19, sehingga terkesan bahwa pembahasan RUU ini dilakukan tertutup dan tidak menggambarkan dinamika pembahasan RUU yang sesungguhnya sangat ketat dan berbobot. Berdasarkan kenyataan, pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut dilakukan semenjak bulan Desember 2019 sampai bulan Oktober 2020, tepatnya tanggal 5 Oktober 2020. Tentu saja tergolong cepat dari sisi pembahasan RUU yang berisi penggabungan berbagai macam undang-undang. Diketahui bahwa terdapat banyak Undang-Undang yang kemudian disatukan di dalam Omnibus Law, atau UU Cipta Kerja.
Melihat content UU Cipta Kerja, sesungguhnya banyak hal yang menarik untuk diperbincangkan. Para pekerja/buruh yang merasakan hak-haknya akan dikebiri dengan kehadiran UU Cipta Kerja. Informasi yang beredar di media sosial bahwa para buruh akan diberikan cuti yang sangat terbatas, baik lelaki maupun perempuan, hak-hak yang selama ini diperoleh dengan UU Ketenagakerjaan akan dipangkas dalam kerangka untuk menarik investasi ke Indonesia. Lalu yang juga viral mengenai pemangkasan upah bahkan menghapuskan beberapa skema tentang pembayaran/upah kerja. Kemudian mengenai pesangon yang sebelumnya 32 kali menjadi 25 kali. Termasuk juga skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), seperti kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan Pensiun. Butir keberatan lainnya adalah mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak kerja seumur hidup. (diunduh dari m.liputan6.com, 13/10/20).
Dalam pandangan kaum buruh/pekerja bahwa jaminan terhadap upah dan cuti harus tetap mengacu kepada UU No. 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Sehingga, pesangon harus tetap dalam kisaran 32 kali dan bukan 25 kali, kemudian UU ini juga memberikan jaminan bahwa seorang pekerja dapat memperoleh hak untuk menjadi pekerja tetap dan bukan perjanjian kerja waktu tertentu. Harus ada kepastian seseorang dengan masa depannya. Selain itu juga hak untuk memperoleh upah sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR) sebagaimana praktik yang sudah dilakukan selama ini.
DPR dan Pemerintah menganggap bahwa semua tuntutan pekerja tersebut sudah diadaptasi, misalnya besaran UMR disesuaikan dengan perkembangan daerah dan harus melalui persetujuan gubernur sebagaimana standart yang selama ini sudah dilakukan, para pekerja juga tetap memperoleh hak pesangon, hanya saja berapa kali besarannya itu memang disesuaikan dengan berbagai usulan yang disampaikan oleh perusahaan, dan dipilihlah angka 25 kali. Hal lain menyangkut cuti kerja maka DPR juga memastikan ada hak pekerja untuk melakukan cuti. Dan sesuai dengan penjelasan pemerintah bahwa hak cuti kerja tetap sebagaimana regulasi sebelumnya, UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Sesungguhnya setiap kebijakan public dipastikan akan disikapi pro dan kontra. Apalagi UU yang di dalamnya menyangkut hasrat hidup masyarakat banyak terutama para pekerja. Ada beberapa variable yang harus dijadikan sebagai pijakan, yaitu: Pertama, UU Cipta Kerja, memang bisa dipahami berbeda antara pemerintah dan DPR dengan masyarakat, khususnya para pekerja. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bolehlah siapapun menolak regulasi yang sudah disahkan, tetapi saya kira harus tetap berada di dalam koridor “demokrasi yang tercerahkan”. Jika harus melakukan unjuk rasa, maka hendaknya tetap berada di dalam kesantunan dan tidak merusak fasilitas public. Harus tetap diingat bahwa yang digunakan untuk membangun fasilitas umum adalah uang rakyat juga. Jadi merusak fasilitas public sama artinya dengan merusak fasilitasnya sendiri.
Kedua, bagi para penolak UU Cipta Kerja juga dapat melakukannya melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Secara regulatif telah diatur bahwa penolakan terhadap sebuah undang-undang tentu dapat melalui saluran demokrasi yang relevan dengan undang-undang. Dan salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukannya melalui jalur MK. Sesuai dengan hakikatnya, bahwa MK merupakan lembaga yang akan menguji kepatutan dan relevansi UU dengan kepentingan masyarakat dan juga kebenaran UU dimaksud. Jadi, siapapun bisa melakukan uji materi undang-undang melalui jalur konstitusional yang sesuai dengan negara demokrasi.
Ketiga, bagi semua pihak tentu harus melakukan upaya memahami terhadap UU Cipta Kerja sehingga tidak terdapat distorsi di dalam pemaknaannya. Tentang pendidikan misalnya, jika dirasakan bahwa UU Cipta Kerja dapat membuat kerumitan alih-alih memudahkan, maka juga selayaknya harus terdapat keikhlasan untuk melakukan pembenahan melalui jalur yang konstitusional. Termasuk juga tentang sertifikasi halal, yang jika dirasakan memberatkan terhadap pelaku usaha atau memudahkan, tentu bisa juga untuk dikaji oleh lembaga yang berwenang.
Keempat, semua elemen bangsa ini sudah menetapkan bahwa pilihan terbaik bagi bangsa ini adalah menjadi negara demokrasi dengan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kebinekaan, makanya juga semua elemen bangsa harus menjaga agar pelaksanaan demokrasi tidak salah arah dan tetap sesuai dengan koridor hakikat demokrasi, yaitu dari rakyat melalui rakyat untuk rakyat. Jadi bukan dari rakyat untuk pengusaha, atau sekelompok warga Indonesia tertentu atau bahkan untuk warga negara asing.
Wallahu a’lam bi al shawab.