(Sumber : www.nursyamcentre.com )

Mbah Ri, Sosok Dukun dari Pati

pepeling

Oleh: Ahmad Atqo Asyhari, 

Musthyasar PCNU Kota Cilegon, Banten

  

Mbah Ahmad Rifai (biasa dipanggil Mbah Ri) adalah sosok yang tidak dapat dikatakan 100 % waras, namun juga saya sulit mengatakan ia bahwa ‘gila’.  Atau mungkin saya bisa mengkategorikan kalau 80 %  normal. Kenapa saya katakan masih normal ?  Karena, jika diajak berkomunikasi masih relatif nyambung, sekalipun tingkah polahnya tidak sebagaimana orang yang normal. 

  

Ia sering meminta uang kepada orang yang kebetulan bertemu dengan dia. Dan, bila tidak diberi dia cenderung meludahi orang tersebut. Hanya karena mereka tahu bahwa Mbah Ri tidak waras,  maka yang diludahi cukup maklum dan tidak akan membalas. Paling banter hanya menghindar dan lari. 

  

Mbah Ri tidak mempunyai istri, ia tinggal di Kampung Kauman di belakang rumah orang tua saya  yang hanya berjarak sekitar 10 meter. Dulu rumah awalnya berbentuk panggung, berdinding bambu (gedhek) dan beratap daun rumbai sederhana. Karena kebakaran ia lalu pindah ke lokasi tanah milik almarhum kakaknya.  

  

Di bangunan yg cukup permanen berukuran kurang lebih  5 x 5 m Mbah Ri tinggal sendiri. Mbah Ri mempunyai sebuah sepeda. Tetapi anehnya, bila naik sepeda bukan duduk di sadel seperti orang normal bersepeda, tetapi ia duduk di boncengannya. Tahun kelahirannya saya tidak mengetahui namun tahun meninggalnya seingat saya tahun 1980. 

  

Mbah Ri memiliki seorang kakak yang di daerah Pati dikenal sebagai dukun. Sepeninggal kakaknya, beliau juga dikenal sebagai dukun.  Hal ini cukup aneh, orang yg dikategorikan tidak normal ternyata oleh masyarakat dianggap bisa menjadi dukun sebagaimana kakaknya.

   

Kisah awalnya ia bisa menjadi dukun, menurut ceritera  Bapak saya, tatkala kakaknya akan menghembuskan nafas terakhir, ia sempat merangkul dan mencium mulutnya. Dari peristiwa inilah akhirnya ia dianggap oleh orang sekitarnya bisa membantu orang yang minta pertolongan, semisal menyembuhkan orang sakit. Namun sebagai dukun, kompetensi Mbah Ri yang menonjol adalah  meramal nomer lotere atau kasino yang pada akhir tahun 60an sampai  pertengahan 70-an akhirnya dilegalkan oleh pemerintah. 

  


Baca Juga : Refleksi Akhir Tahun: Progresivitas PTKIN

Sebagaimana keadaan saat itu, perjudian yg disebut Nasional Lotere (Nalo) dan kasino merebak bak virus pandemi yang melanda berbagai lapisan masyarakat. Seakan tidak ada hari tanpa perbincangan ramalan nomer yang akan keluar malam nantinya. Cara ramalan Mbah Ri cukup egaliter. Artinya terbuka bagi orang lain menafsirkannya. Ada yang mempercayai, apabila Mbah Ri diajak ngomong oleh seseorang, namun merespon dengan menguap itu tandanya apa yang dipikirkan si orang terkait pasangan angkanya  tidak akan keluar dalam undian nanti malam.

  

 Saat undian kasino di Pati berlangsung setiap malam, seingat penulis Mbah Ri  meramal dengan tepat 4 kali dalam satu minggu. Mbah Ri sempat disuatu hari berteriak kencang rolas (dua belas/12), dan setelah berteriak beliau pingsan. Anehnya pada malam hari saat pengundian, ternyata benar keluar angka yang dikatakan Mbah Ri yang keluar, yakni angka 12.  Seketika semua orang di dalam gedung serentak berteriak “Hiiduuup Mbah Riiffaaii….!!!! “ saat hampir semua penggemar kasino pasangan nomernya cocok dengan nomer undian yang keluar. 

  

Sehingga, karena malam itu hampir semua penggemar judi kasino memasang angka 12 maka bandar harus membayar para bobotoh puluhan kali lipat dari jumlah duit yang dipasang.  Akibatnya, bandar judi tidak sanggup membayar taruhan karena saking banyaknya yang menang, dan iapun melarikan diri. Kebangkrutan bandar judi ini dipercaya gegara Mbah Ri meneriakkan angka 12 dalam bahasa Jawa. 

  

Pada waktu maraknya judi kasino dan Nalo di Pati, bermunculanlah di kota itu sejumlah dukun baru yg mengaku bisa meramal nomer taruhan yang akan keluar.  Mbah Ri yang sudah sangat terkenal pada saat itu semakin banyak yang mendatangi rumahnya untuk meminta nomor untuk dipasang taruhan. Dari pagi hingga malam orang hilir mudik memenuhi jalanan di depan gubuknya. Mungkin lebih dari 500 orang setiap harinya berharap mendapat ‘berkah’ keberuntungan dengan mengunjungi Mbah Ri demi mendapat nomor taruhan yang tepat.  

  

Demi mendengar bahwa ramalan Mbah Ri banyak yg tepat maka pamor sebagai dukun ramal  semakin meluas hingga melintas batas kota Pati. Setiap hari beberapa mobil terparkir berderet hingga di depan rumah orang tua saya di jalan KH Wahid Hasyim. Beberapa mobil itu datang dari berbagai kota. Hal ini ditandai oleh plat nomor setiap mobil yang parkir. Ada plat nomor Jakarta, Yogyakarta, Rembang Semarang, Kudus, Solo, bahkan juga dari Surabaya dan Kediri. 

  

Karena melayani kerumunan orang yang mendatangi kediamannya semakin banyak padahal ukuran rumahnya sangat sempit, mungkin Mbah Ri sering merasa kelelahan. Akibatnya, sering juga naluri ketidakwarasannya timbul. Sering lagi berteriak-teriak sambil marah-marah serta keluar kebiasaanya meludahi orang. Anehnya lagi kebanyakan orang yang diludahi tetap bergeming sambil tersenyum meringis  ikhlas. Bahkan sebaliknya, kebanyakan orang yang datang berharap diludahi Mbah Ri karena percaya bahwa ludah Mbah Ri adalah berkah. Ludahnya dipercaya penanda rejeki dari tepatnya nomor kasino atau Nalo taruhannya. 

  

Membayangkan peristiwa masa itu, sering saya merasa jijik sendiri. Yang saya amati dari kesehariannya Mbah Ri adalah hampir tidak pernah mandi. Apalagi gosok gigi. Baru ganti pakaian  disaat menjelang Idul Fitri. 

  

Kegemarannya minum kopi, serta makan nasi tahu campur. Kadang minta tolong saya untuk membelikannya. Ia hampir tidak pernah meninggalkan rumah sejak menjadi dukun nomer. Berbagai barang pemberian para pengunjung, seperti rokok, kue, buah, sarung, baju, jam dinding, dan lain sebagainya hanya ditumpuk sampai ada yag berjamur dan busuk. Bahkan duitnyapun hanya diselipkan di sela sela barang yang ada. Padahal jumlah duitnya cukup banyak. 

  

Beliau relatif pelit karena tidak boleh orang lain mengambil barang yang ada di rumahnya. Karena penulis termasuk yang dianggap cucu tersayang, maka setiap kali meminta uang untuk jajanan atau bahkan menonton fillm bioskop selalu diberi. Dengan catatan, sehabis menonton saya harus bisa menceritakan jalan ceritanya pada Mbah Ri. 

  

Ahhh….jaman edan. Jaman pada saat banyak orang kedanan pada orang edan. Semoga peristiwa serupa tak terjadi di masa depan masyarakat kita. Atau justru jaman edan dengan penanda lain sedang berlangsung di masyarakat kita sekarang ? Jika Mbah Ri masih hidup, mungkin ia bisa menjawab sambil meludahi kita. Hoeeekkkkk……