Petarung
pepelingOleh: Jambedaweh
Mengawali atur, marilah kita membaca surat al-Fatihah untuk tokoh-tokoh kita kali ini, Kang Kamim, Cak Huda, dan Ning Dewi. Untuk mereka bertiga, semoga mereka semuanya diangkat derajatnya oleh Allah. Serta semoga kita semuanya dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah mereka bertiga. al-Fatihah.
Jam’iyah Da’watul Muttaqin merupakan salah satu dari beberapa perkumpulan sosial keagamaan yang ada di kampung kami. Sebagai perkampungan yang dikenal sebagai kawasan “merah” di mana tak sulit menemukan pemandangan tak bersahaja di muka umum, ditambah dengan beberapa kali terjadinya kasus kriminalitas, kampung kami bisa disebut “berprestasi”. Betapa tidak, dalam sepekan hampir tiap hari ada kegiatan keagamaan yang biasa kami sebut dengan istilah jamiyah. Penyelenggaranya pun bergantian dari remaja putra-putri, ibu-ibu, dan tak ketinggalan kaum bapak.
Dokumen usang yang tertumpuk di langgar panggung tertua di kampung kami menjelaskan bahwa jamiyah ini juga berusia tua. Dokumen milik jam’iyah itu berupa naskah kitab Maulid yang digubah oleh Sayyid Ibrahim al-Dibai yang kemudian kaprah dikenal dengan Maulid Diba’ tertera keterangan pembelian 12 Rabiul Awal 1901 Masehi di lembaran pertama. Pada dokumen itu juga tertera informasi tempat pembelian, Masjid Ampel. Perkumpulan ini memang menjadikan pembacaan Maulid Diba’ sebagai acara utamanya.
Entah oleh sebab apa, jam’iyah ini lama vakum. Sampai pada awal tahun 1966 para tokoh kampung kami menghidupkan kembali perkumpulan tersebut yang diadakan secara bergiliran dari satu rumah ke rumah lain dari anggotanya. Konon jam’iyah ini dihidupkan setelah lama tertidur untuk “menyelamatkan” keluarga oknum yang disinyalir terlibat oleh organisasi terlarang PKI. Anak-anak yang ikut jam’iyah diajarkan melantunkan fasholatan (bacaan-bacaan dalam shalat) tiap jam’iyah diadakan, sehingga dengan cara ini mereka terselamatkan dari vonis harus diperlakukan tidak selayaknya manusia dengan hak yang sama.
Demi kepentingan syiar, dua corong pengeras suara dipasang tinggi-tinggi oleh “petugas” tetapnya, yaitu para pemuda langar yang dikomandani Cak Huda atas mentoring bapaknya, Kang Kamim. Dua tokoh kita ini memperagakan peran yang berbeda pada banyak panggung yang sama. Kang Kamim menjalankan roda manajemen jam’iyah dengan rutin menghubungi dan bahkan menjemput kyai pengisi pengajian, mengagitasi warga agar berkenan ikut jam’iyah, dan memegang sirkulasi logistik-moneter perkumpulan. Sedangkan Cak Huda menjadi motor para sinoman yang kerap menghabiskan malam di langar dengan kesibukan pemuda kampung masa tahun 70-an dan 80-an. Praktis, walau bukan sebagai ketua, tapi peran Kang Kamim sangat vital di jam’iyah tersebut.
April tahun 1994, bersama mayoritas warga, Kang Kamim menginiasiasi lahirnya jam’iyah baru khusus untuk para bapak yag berisi kegiatan pembacaan surat Yasin, istighotsah, dan pengajian. Sama, jam’iyah ini juga beroperasi secara bergiliran dari satu rumah warga ke rumah warga lainnya yang diatur dengan mekanisme undian yang kami sebut lot, serta iuran wajib bagi anggotanya. Pelaksanaannya tiap Kamis malam Jumat antara jam 20.00 sampai 21.30.
Selain termasuk pendiri, di jam’iyah ini Kang Kamim memerankan peran yang luar biasa, yaitu kaderisasi. Tak segan tokoh yang kerap menggunakan songkok hitamnya dengan miring ini sowan ke beberapa remaja kampung yang mungkin dinilainya potensial, memohon ijin pada orang tua mereka untuk mengajak anak-anaknya aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan. Bahkan sering kali melakukan gambling dengan memasang nama-nama remaja tersebut sebagai petugas kegiatan sosial atau ritual peribadatan di langar atau masjid, tentu dengan gugatan dari beberapa tokoh lain sebab pendatang baru yang dipromosikan belum teruji dengan matang. Tapi Kang Kamim tetap berani mengambil resiko bersitegang dengan tokoh yang lebih moncer penampilan publiknya. Padahal sikapnya ini kerap juga membuat para remaja “panas-dingin” karena dipaksa tampil ke panggung sosial dengan kemampuan dan pengalaman yang serta terbatas.
Baca Juga : Posisi Islamic Studies dalam Rumpun Ilmu
Sikapnya inilah yang kemudian sering memicu perdebatan agak panas di kalangan orang tua saat terjadi musyawarah di masjid, langar, atau jam’iyah dalam keperluan membahas dan memutuskan satu persoalan dari perhelatan tertentu. Masih jelas dalam ingatan betapa pengurus takmir masjid kampung kami saling bersitegang karena Kang Kamim memaksakan kehendak untuk memasukkan beberapa nama para remaja yang notabene masih berusia belasan untuk bertugas sebagai khatib Jumat, muroqqi, imam shalat Tarawih, wakil sekretaris, dan wakil bendahara kepengurusan takmir. Tak sedikitpun ia bergeming, walau terkadang ia juga tidak mampu menjawab penolakan dari yang lain. Anehnya, keputusan musyawarah selalu segaris dengan pandangannya, meskipun juga tidak seratus persen. Polemik pun selalu muncul tiap “jago pemula” tampil. Tapi sekali lagi, seiring itu malah membuat masjid, langar, jam’iyah serta pengajian makin makmur dan ramai.
Salah satu manuvernya yang sempat menjadi polemik dan viral adalah saat Kang Kamim “memaksa” pembentukan TPQ di masjid dan memasrahkan pengelolaannya pada para remaja yang sebelumnya hanya memiliki prestasi sebagai panitia dari perhelatan pengajian yang sporadis. Muncul ketegangan antara kaum tua dan kaum muda dalam satu arena, masjid. Tapi manuver disetujui dan terus berjalan, walau Kang Kamim bukan ketua takmir. Inilah titik di mana Ning Dewi, putri Kang Kamim, muncul dan mengajar dan mengelola TPQ dengan kesabaran yang sulit tandingan.
Tentang anak yatim dan janda-janda tua, kiranya pada dua klaster sosial tersebut tidak ada orang di kampung kami yang pengetahuan dan perhatiannya melampaui Kang Kamim. Melalui mobilitasnya, tiap janda tak mampu dan anak-anak yatim mendapatkan santunan tiap bulan, baik berupa uang maupun sembako. Anak-anak yatim mendapat santunan beasiswa sehingga mereka bisa sekolah yang waktu itu disebut SMA. Tiap lebaran mereka mendapat santunan tambahan berupa uang, pakaian baru, dan tentunya zakat. Bahkan kerap kali Kang Kamim datang sendiri ke madrasah tempat anak-anak yatim itu sekolah dan melobi manajemen madrasah untuk memberikan keringanan pembayaran.
Tanpa mengurangi penghormatan maksimal pada Kang Kamim, sebenarnya tokoh kita kali ini tampak tidak begitu istimewa. Bacaan al-Qur’an dan pengetahuan agamanya biasa-biasa saja. Bukan tokoh kampung yang memiliki deretan kitab kuning, juga bukan penceramah. Bahkan, bila terpaksa harus menyampaikan orasi di depan khalayak, tampak bahasanya belepotan ditambah dengan gestur yang tidak menarik sebagai aktor di panggung depan.
Cak Huda yang menjadi tandem Kang Kamim juga tidak jauh dari bapaknya. Bahkan Kang Kamim jarang untuk mengatakan tidak sama sekali memfasilitasi Cak Huda untuk naik panggung sosial dan membentuknya menjadi artis sosial keagamaan di kampung kami. Cak Huda lebih asyik memerankan lakonnya sebagai “organizer” yang pendiam tapi memiliki kelincahan dan kecakapan mobilisasi baik pada tiap kalangan. Kemampuannya menggerakkan pemuda tak diragukan, kesopanannya pada yang lebih tua sangat memukau, dan ketakdzimannya pada ulama bak santri tulen walau tak pernah mondok. Menariknya, Cah Huda kerap menjadi supporter pada sesama teman-temannya bila harus naik panggung. Caranya dengan mengajak mereka “nge-charge” pengetahuan dan kemampuan dan pada tokoh-tokoh kampung. Semacam les privat nan kilat.
Tentang Ning Dewi. Walau tak selincah bapak dan kakaknya, wanita bersuara emas ini menjadi peletak dasar prototype pendidik di TPQ kami. Administrasi keuangan, keteladanan, kesantunan, kesabaran, dan kepekaan sosial menjadi tanda utama yang diwarisinya dari sang bapak. Bahkan, dalam perjalanan Ning Dewi menjadi “tempat sampah” yang baik dari curhatan rema-remaja di sekitarnya dalam berbagai persoalan. Tak pelak, hampir tiap orang yang kini berusia antara 15-30 tahun di kampung kami pernah mendapatnya pengajaran alib ba ta darinya.
Kang Kamim, Cak Huda, dan Ning Dewi merupakan tiga petarung dengan peran yang berbeda dari padepokan yang sama. Ketiganya memerankan betapa pentingnya menjaga sekaligus memperjuangkan syiar kalimat tauhid dan memastikan kalimat sakti itu terwariskan di tiap pojok lingkungan di kampung kami. Ketiganya mencontohkan bagaimana melayani umat Rasulullah saw dalam menjalankan status sebagai umat dalam banyak aspek. Ketiganya mempraktekkan bagaimana membangun berbagai monumen itba’ sunnah dengan kadar kemampuan manusia biasa.
Tapi yang terpenting adalah bahwa ketiganya melakukan itu semua bukan untuk mendapatkan penghormatan dan keuntungan material. Bahkan, ketiganya telah membuktikan keistiqomahan pemihakan pada pengibaran kalimat tauhid dengan segenap potensi yang dianugerahkan Sang Pencipta. Termasuk dengan harta yang sebenarnya mereka sendiri membutuhkannya.
Kang Kamim telah meninggal pada saat bangsa ini masih menapaki tahun-tahun awal masa transisi reformasi. Masa di mana si durjana mampu menjelma bak ulama, dan sebaliknya ulama dituduh layaknya si durjana. Pertengahan ramadan di tengah wabah Covid 19 merebak, Ning Dewi wafat meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil, dan harus menerima vonis dari pihak lain secara sepihak sebagai penderita wabah tersebut. Tak boleh ada tahlilan di rumah duka sampai tujuh hari baginya. Tapi keramatnya justru muncul, warga kampung kami malah menggelar tahlilan baginya di masjid di mana almarhumah menghidmahkan dirinya. Tentu dengan melaksanakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Belum genap seratus hari, Cak Huda pun menyusulnya menghadap Allah Yang Maha Hidup. Selamat jalan wahai para petarung kampung.