Adat dalam Wacana “Agama yang Hidup”
Riset AgamaArtikel berjudul “Adat in the Discourse of “Lived Religion”: Local Wisdom as a Model of Indigenous Religion Recognition in Indonesia” merupakan karya Emanuel Balla Nggiku, Izak Yohan Matriks Lattu, dan Kata Szilvia Bartalis. Tulisan tersebut terbit di Religio: Jurnal Studi Agama-agama tahun 2024. Penelitian tersebut menyoroti pentingnya mengakui agama adat dalam konteks Indonesia yang lebih luas. Metodologi kualitatif dengan pendekatan etnografi kritis, memanfaatkan data yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan tinjauan pustaka digunakan dalam penelitian tersebut. Terdapat empat sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, agama yang dihayati dan keterlibatan antar agama berbasis oralitas. Ketiga, adat sebagai ruang perjumpaan Kristen-Merapu di Sumba. Keempat, agama yang dihidupi adat dan pertemuan Kristen-Marapu.
Pendahuluan
Agama-agama adat mencakup kurang dari satu persen dari populasi di Indonesia. Meskipun demikian, agama-agama tersebut memiliki signifikansi historis yang sudah berlangsung lama dalam dinamika pengakuan politik oleh negara Indonesia. Sejak berdirinya negara ini, perdebatan di antara para pemimpinnya mengenai ideologi Pancasila dan Konstitusi (UUD 1945) telah menekankan prinsip persamaan hak dan kebebasan beragama, yang dirangkum dalam semboyan nasional Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Hal ini berfungsi sebagai landasan bagi sistem hukum Indonesia, yang bertujuan untuk memastikan perlindungan dan kesetaraan di hadapan hukum bagi semua warga negara. Namun, implementasi visi pluralistik ini tidak konsisten, yang menyebabkan berkurangnya pengakuan sosial terhadap agama-agama adat. Konseptualisasi agama di negara Indonesia dibentuk oleh kerangka yang berpusat pada agama-agama dunia.
Konstruksi yang restriktif ini mengakibatkan terpinggirkannya agama-agama asli, yang sering diklasifikasikan dengan terminologi “kepercayaan” dan bukan agama. Akibatnya, agama asli menghadapi stigmatisasi sebagai agama yang “tidak beragama,” terbelakang, primitif, animistik, atau bahkan kafir. Terlepas dari persepsi negatif ini, agama-agama asli memainkan peran penting dalam melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal. Mereka bertindak sebagai perekat sosial, membina hubungan yang harmonis di antara para penganut agama-agama dunia di Indonesia.
Kearifan lokal berfungsi sebagai wadah pertemuan antar agama dalam praktik adat. Adat berfungsi sebagai ruang sipil yang inklusif dan terbuka bagi semua orang, menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan dan persamaan sebagai komponen penting dari solidaritas sosial. Upacara adat, ritual, simbol, dan narasi lisan membentuk dasar pengetahuan dan ekspresi budaya, yang berkontribusi pada pengembangan identitas kolektif dan nilai-nilai bersama dalam masyarakat lokal di Indonesia. Dinamika ini sangat penting mengingat konteks Indonesia yang unik, di mana interaksi antara teks dan konteks bersifat sui generis- fenomena tunggal dan khas. Jadi, praktik adat mewujudkan mekanisme penting untuk melestarikan warisan budaya sekaligus mempromosikan interaksi antaragama yang harmonis.
Agama yang Dihayati dan Keterlibatan Antar Agama Berbasis Oralitas
Konsep agama yang dihayati bertujuan untuk memperluas pemahaman agama di luar kategorisasinya sebagai identitas yang ditentukan oleh data survei atau sensus. Kategorisasi yang kaku ini menciptakan tantangan bagi masyarakat dan bagi individu yang menjalaninya. Kategorisasi semacam itu, yang sering kali berakar pada warisan kolonial, dikembangkan sebagai bagian dari strategi pemerintah yang memaksakan klasifikasi agama. Akibatnya, agama-agama asli dipaksa untuk menafsirkan ulang kepercayaan dan praktik tradisional mereka agar selaras dengan kerangka kerja dan harapan agama-agama dunia yang \"beradab\" dan dominan. Proses ini telah berkontribusi pada menurunnya proporsi penganut agama-agama asli, karena banyak individu sekarang mengidentifikasi diri dengan salah satu agama dunia.
Meskipun Pasal 28E (1)(2) dan 29(2) UUD 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi kebebasan beragama, namun agama-agama adat masih menghadapi diskriminasi hukum yang sistematis dalam praktiknya. Diskriminasi hukum dibentuk oleh definisi agama dari Kementerian Agama, yang mensyaratkan tiga unsur: suatu agama harus memiliki nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional. Akibatnya, agama-agama adat dikecualikan dari kerangka ini. Kategorisasi ini telah menyebabkan terbentuknya perbedaan antara agama, kepercayaan, dan adat. Sementara \"kepercayaan\" mengandung konotasi yang lebih religius. Akibat dari klasifikasi ini, pemerintah mengakui penganut agama adat sebagai “umat beriman” atau anggota masyarakat adat, bukan sebagai pelaku agama yang diakui.
Baca Juga : Persoalan Integrasi Sains dan Agama di Era Multikultural
Kearifan lokal sebagai model pengakuan agama adat menekankan pentingnya belajar dari masyarakat dan mendorong keterlibatan antaragama yang kontekstual dan berlandaskan pada nilai-nilai lokal, yang merupakan kekayaan budaya nusantara. Pendekatan ini menganjurkan penghormatan terhadap narasi dan oralitas lokal, yang menganggap pengetahuan sebagai bagian integral dari ekspresi teks budaya, seperti cerita rakyat dan menempatkan oralitas sebagai bentuk logos dalam wacana antaragama.
Adat Sebagai Ruang Perjumpaan Kristen-Merapu di Sumba
Di tingkat masyarakat, keberagaman persepsi mengenai makna adat sering mendominasi wacana publik. Meskipun terkadang diperdebatkan sebagai unsur budaya yang dapat mendistorsi agama, adat dan agama secara luas dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi dan memperkaya keberagaman selama adat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip inti agama. Konstruksi kolonial atas adat sebagai budaya animisme yang perlu ditransformasikan ke dalam agama Kristen dan modernitas menyebabkan klasifikasinya sebagai non-religius, dibedakan dari dan bahkan dikontraskan dengan agama.
Adat, sistem kepercayaan asli Indonesia, sering kali dicap primitif, kuno, dan animistik. Meskipun keberadaan adat diakui dan pelestariannya didukung, transformasinya ke dalam bentuk modern sering kali dituntut. Pada revitalisasi semacam itu, adat berisiko kehilangan makna aslinya, karena status keagamaannya sering kali direduksi menjadi animisme, sebuah klasifikasi yang dikembangkan di Barat. Marapu, agama asli masyarakat Sumba, menghadapi tantangan serupa saat ini.
Marapu memainkan peran mendasar dalam petisi tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, terlepas dari putusan tersebut, Marapu terus menghadapi diskriminasi dan penolakan sosial, yang sering dianggap lebih rendah dari agama yang diakui. Berdasasrkan perspektif Kristen, Marapu telah dipandang sebagai target upaya konversi, yang mengarah pada transformasinya dari agama tradisional menjadi praktik budaya belaka (adat istiadat). Stigmatisasi Marapu sebagai kafir, terbelakang, dan tidak berpendidikan masih mengakar kuat dalam narasi masyarakat, yang diperkuat oleh negara dan definisi akademis tentang agama, yang berkontribusi terhadap diskriminasi yang terus berlangsung.
Agama yang Dihidupi Adat dan Pertemuan Kristen-Marapu
Ruang struktural melalui putusan pasca Mahkamah Konstitusi dan kebijakan pemerintah terkait pengakuan agama adat semakin membuka ruang bagi eksistensi formal Marapu. Dukungan pemerintah terhadap pengakuan Marapu terlihat melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, dan Majelis Tinggi Kepercayaan Indonesia (MLKI) yang mendukung penuh proyek yang digagas BPM untuk memperluas akses pengetahuan Marapu. Dukungan tambahan ditunjukkan melalui penerbitan Peraturan Bupati Sumba Timur Nomor 33 Tahun 2023 tentang “Layanan Pendidikan Kepercayaan Pada Satuan Pendidikan” yang mencerminkan pengakuan negara terhadap agama dan kepercayaan adat. Peraturan ini juga sejalan dengan pelaksanaan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016, yang berjudul Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Baca Juga : Indonesia Sebagai Sasaran Gerakan Intoleran
Di Sumba, keterlibatan antar agama paling efektif dipahami melalui praktik adat. Adat berfungsi sebagai ruang sipil yang terbuka bagi semua orang, yang menekankan nilai perbedaan dan persamaan sebagai landasan solidaritas sosial. Orang Sumba terus mengunggah adat mereka, yang masih sangat terkait erat dengan karakteristik Marapu. Akibatnya, bahkan ketika individu berpindah agama menjadi Kristen, mereka sering memenuhi kewajiban adat dan berpartisipasi dalam upacara adat keagamaan. Oleh karena itu, Marapu telah diakui dalam kerangka adat, menjadikan adat sebagai ruang vital bagi pertemuan Kristen Marapu di Sumba.
Pada titik tertentu dalam pertemuan antara Kristen dan Marapu, praktik adat menyoroti keterkaitan yang mendalam antara masyarakat Sumba. Umat Kristen yang taat, ketika terlibat dalam ibadah, sering kali memposisikan diri mereka sebagai anggota integral dari komunitas kekerabatan yang dibentuk oleh adat dan terus berpartisipasi dalam ritual Marapu. Batasan antara identitas Kristen dan Marapu bersifat cair, sehingga sulit untuk membedakan keduanya.
Ciri khas adat sebagai agama yang dihayati adalah fasilitasinya terhadap keterlibatan antar agama, yang membedakannya dari kerangka keagamaan dominan lainnya. Hal ini terbukti dalam pertemuan Kristen-Marapu dalam ruang adat , di mana individu sering kali memegang identitas agama ganda, mengidentifikasi diri sebagai penganut Kristen dan Marapu. Penggabungan identitas Kristen dan Marapu dalam ruang adat dapat dieksplorasi lebih jauh dengan tujuh dimensi praktik keagamaan yang dijalani. Dimensi pertama, perwujudan, menyoroti ekspresi fisik adat yang menyampaikan identitas budaya dan kepercayaan spiritual. Misalnya, ketika individu mengonsumsi atau berbagi daging selama ritual Marapu, mereka secara fisik terlibat dalam hubungan sosial dan terhubung dengan narasi lisan yang tertanam dalam budaya mereka. Makan dalam upacara adat di antara orang Sumba memiliki dua tujuan utama: untuk memperkuat hubungan mereka dengan Ilahi dan untuk memperkuat ikatan di antara individu, keluarga, kabihu (klan), dan desa, menumbuhkan rasa persatuan komunal.
Dimensi kedua, materialitas, mengeksplorasi bagaimana objek fisik dan pengalaman indrawi menumbuhkan hubungan spiritual dan identitas komunitas. Ketika pemakaman Sumba, berbagai elemen seperti hewan kurban yang dipersembahkan kepada leluhur, suara gong, dan lagu-lagu khusus yang dinyanyikan oleh tetua adat selama pengawalan jenazah dan penguburan merupakan contoh dari hal ini.
Dimensi ketiga, emosi, memainkan peran penting dalam membentuk cara individu memahami dunia dan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Emosi memengaruhi cara individu mengalami kehadiran Tuhan atau kekuatan spiritual dan bagaimana agama menginformasikan perilaku dan pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ini terbukti dalam ungkapan rasa terima kasih kepada leluhur melalui berbagai praktik sosial, termasuk upacara kematian dan ritual seperti mangejing dan wulla poddu. Ritual ini, yang dilakukan oleh penganut Marapu, sering kali melibatkan orang Kristen juga, yang menekankan ikatan kekerabatan, kerja sama, dan kolegialitas bersama.
Keempat, estetika yang tercermin dalam berbagai ekspresi budaya seperti pakaian, musik, dan seni, yang semuanya berkontribusi pada pengalaman keagamaan yang lebih dalam dan lebih bermakna. Kreativitas spiritual para penenun perempuan, misalnya, mencerminkan penghargaan mereka terhadap keindahan Tuhan melalui motif-motif yang menampilkan figur manusia, bunga, dan hewan—simbol kepekaan mereka terhadap hubungan dengan orang lain dan alam.
Kelima, moralitas dalam pelaksanaan praktik adat secara konsisten menyampaikan nilai-nilai moral yang berpusat pada kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan. Ritual Wulla Poddu , yang dianggap sebagai bulan pembersihan spiritual, melambangkan kembalinya manusia ke asal-usul dan harmoni dengan alam, kemanusiaan, dan hewan. Ritual ini memiliki makna yang sangat dalam sebagai penyeimbang eksploitasi alam untuk keuntungan pribadi, yang berfungsi sebagai pengingat untuk melestarikan, memelihara, dan melindungi alam.
Dimensi kisah-kisah keagamaan sangat penting dalam membentuk rasa kebersamaan dan identitas keagamaan. Manawara merupakan nilai-nilai yang dianut bersama oleh Marapu dan Kristen, baik sebagai ajaran lisan maupun kitab suci, dan ajaran ini ada dan memengaruhi pertemuan Kristen-Marapu. Manawara, ajaran yang diwariskan dari para leluhur pertama masyarakat Sumba, mengandung makna ajaran untuk mengasihi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.
Terakhir adalah spiritual. Pengalaman berdoa, yaitu para perempuan penenun di Sumba selalu melakukan ritual doa sebelum dan saat menenun. Dimensi spiritualitas dapat dilihat dari penggunaan kain tenun yang memiliki kandungan spiritualitas Marapu yang tinggi melalui doa. Doa merupakan pengalaman sakral yang menghubungkan perempuan penenun dengan sang pencipta. Berdoa merupakan bentuk kesadaran dan pengakuan perempuan penenun bahwa kecerdasan, keterampilan, dan ilmu menenun merupakan anugerah dari Tuhan.
Kesimpulan
Marapu tetap menjadi kelompok yang terpinggirkan dan terdiskriminasi dalam masyarakat, sebagian besar karena konstruksi yang dipaksakan oleh negara (agama pemerintah) dan diperkuat oleh wacana akademis. Paradigma agama-agama dunia sering digunakan sebagai alat untuk membentuk dan melegitimasi stigma. Kekristenan, khususnya, telah menunjukkan kecenderungan untuk menundukkan tradisi budaya dengan mempertahankan nada superioritas dan dominasi dalam pendekatan doktrinalnya terhadap Marapu. Pemahaman agama yang lebih bernuansa membutuhkan sudut pandang sosiologis, yang mempertimbangkan iman dan kepercayaan melalui kerangka kearifan lokal, praktik sosial, dan konteks khusus penganutnya. Kearifan lokal yang tertanam dalam adat, ritual, simbol, dan narasi lisan memberikan model untuk pengakuan agama-agama asli di Indonesia.