(Sumber : Serat.ID)

Ahmadiyah dan Perjuangan untuk Diakui

Riset Agama

Artikel berjudul “Struggling for Recognition: Archieved-Based Docementary Film of the Ahmadiyahyya Jamaat in Indonesia” merupakan karya Peny Wulandari dan Harry Bawono. Tulisan ini terbit di Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies tahun 2023. Penelitian ini mengkaji wacana nasionalisme yang dikonstruksi oleh Ahmadiyah melalui sebuah film dokumenter pendek berbasis arsip berjudul “Kiprah Ahmadiyah dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.” Analisis wacana Van Dijk dalam perspektif studi arsip digunakan sebagai kerangka analisis wacana. Terdapat lima sub bab dalam resume ini. Pertama, pendahuluan. Kedua, sejarah singkat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ketiga, hal yang tidak diakui dan hal salah yang diakui: alasan keagamaan dan penganiayaan. Keempat, Ahmadiyah angkat bicara: wacana keagamaan, kemanusiaan dan nasionalisme. Kelima, menyusun wacana nasionalisme: arsip sebagai senjata. 

  

Pendahuluan

  

Ahmadiyah pertama kali didirikan di Qadian India. Saat ini telah tersebar di 210 negara, termasuk Indonesia. Jemaat Ahmadiyah di Indonesia tercatat sudah ada sejak tahun 1925. Namun, keberadaannya yang relatif lama tidak memungkinkan mereka hidup nyaman di Indonesia. Masjid mereka ditutup paksa, penduduknya banyak yang dibunuh. Misalnya, tragedi di Lombok, Nusa Tenggara Barat di mana 144 orang Ahmadiyah telah berada di camp pengungsian sejak tahun 2006 hingga 2019. Alasan agama, menjadi faktor dominan di balik tindakan tersebut. Kelompok Islam arus utama menganggap Ahmadiyah telah menodai ajaran Islam dan bukan bagian dari Islam otentik. 

  

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa Nomor 1/MUNAS VII. MUI. 15/ 2005 tentang aliran Ahmadiyah menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan, serta termasuk golongan di luar Islam. Fatwa ini sering dijadikan alasan oleh kelompok anti Ahmadiyah untuk melegitimasi tindakan mereka. Di tengah kondisi ini, Ahmadiyah tidak menyerah secara pasif, namun melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Perlawanan Ahmadiyah dilakukan sebagai dalih perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dari arus utama Islam dan masyarakat luas, termasuk negara. Mereka memadukan wacana agama, paham kemanusiaan, dan nasionalisme sebagai instrumen perlawanan. 

   

Melalui wacana keagamaan, Ahmadiyah ingin menegaskan bahwa tidak ada perbedaan mendasar secara teologis antara mereka dengan Islam arus utama pada umumnya. Aksi kemanusiaan mereka dengan menerapkan slogan “hatred for none, love for all,” ingin membuktikan bahwa nilai damai adalah inti gerakan mereka. Apalagi, mereka memilih menyebarkan wacana nasionalisme melalui film dokumenter berjudul “Kiprah Ahmadiyah dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.”

  

Sejarah Singkat Jemaat Ahmadiyah Indonesia

  

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yakni Qadiani. Jejaknya di Indonesia dimulai ketika tiga orang asal Padang Panjang, Sumatera Barat, berangkat belajar ke India di Bulan Desember tahun 1922. Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Di India, mereka berlabuh di sebuah sekolah agama milik Ahmadiyah di Qadian dan bergabung menjadi anggotanya. Sejak menjadi Ahmadiyah, mereka sering berkirim surat ke Indonesia dan berhasil menarik generasi muda lainnya untuk belajar di sana, menyusul mereka menjadi santri di India. 

  

Kelompok santri Indonesia pernah berdialog dengan khilafah kedua Ahmadiyah, yakni Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Salah satu dari mereka meminta kepada sang khilafah untuk mengunjungi Indonesia. Menanggapi permintaan tersebut, Khalifah mengutus Rahmat Ali ke Indonesia. Ia memulai misi ikhtiar di Tapaktuan, Ace. Ali berhasil merebut simpati banyak orang untuk melakukan baiat. Akhirnya, Ahmadiyah berdiri pertama kali di Tapaktuan, Aceh tahun 1925. Keberhasilan ini mengantarkan terbentuknya organisasi formal bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia tahun 1953 yang menjadi wadah bagi umat Islam Ahmadiyah di seluruh Indonesia. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor JA/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. 


Baca Juga : Mengapa Bumi Semakin Panas?

  

Hal yang Tidak Diakui dan Hal Salah yang Diakui: Alasan Keagamaan dan Penganiayaan

  

Kehidupan umat Islam Ahmadiyah di Indonesia hampir tidak pernah lepas dari persekusi, terutama pasca tahun 2004. Salah satu kasus yang menarik perhatian masyarakat Indonesia adalah peristiwa Monas tahun 2008. Peristiwa ini merupakan ‘invasi’ Komando Laskar Islam (KLI) melawan kelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang mendukung Ahmadiyah. Peristiwa ini menyebabkan 28 anggota AKBB terluka. Alasan agama menjadi sangat dominan di balik berbagai peristiwa penganiayaan tersebut. 

  

Tafsir agama paling kontroversial yang menjadi sorotan adalah suksesi kenabian setelah Nabi Muhammad SAW. Kelompok anti-Ahmadiyah memandang bahwa Ahmadiyah memiliki keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad, seorang pendiri Ahmadiyah adalah penerus Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, arus utama Islam Indonesia meyakini tidak ada nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Hal ini memicu dikeluarkannya fatwa sesat Ahmadiyah oleh MUI. Dampaknya, fatwa ini dianggap sebagai pembenaran atas penganiayaan terhadap muslim Ahmadiyah. 

  

Ahmadiyah Angkat Bicara: Wacana Keagamaan, Kemanusiaan dan Nasionalisme

  

Ahmadiyah telah berjuang mencegah penganiayaan dengan melawan semua narasi yang disampaikan oleh kelompok anti-Ahmadiyah, sehingga mereka bisa mendapatkan pengakuan dan hidup tanpa gangguan. Kelompok ini mengembangkan tiga wacana sebagai instrumen dalam kaitannya dengan isu yakni agama, kemanusiaan, dan nasionalisme. Terkait wacana keagamaan, ada beberapa ajaran yang dianggap kontroversial dalam Ahmadiyah, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad, wafatnya Nabi Isa, konsep perang jihad dan persoalan khilafah. Di sisi lain, Ahmadiyah menyatakan bahwa perbedaan Ahmadiyah dengan umat Islam lain hanya terletak pada umat Islam yang pada umumnya masih menunggu kedatangan Isa Almasih, sedangkan umat Islam Ahmadiyah meyakini Almasih telah datang dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad. 

  

Sementara itu, aliran Islam arus utama meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup kenabian. Namun, para pengikut Ahmadiyah menilai bahwa beliau sebagai Nabi yang mulia guna membedakannya dengan istilah “Nabi Ummati” yang mereka ciptakan. Mereka menjelaskan konsep “khatam al-nabiyyin,” sebagai upaya menggambarkan perbedaan antara Ahmadiyah dan Islam lainnya hanya terletak pada tingkat penafsiran doktrinal, bukan teologi yang substansial. 

  

Pada kaitannya dengan wacana kemanusiaan, penggunaan jargon “cinta untuk semua, tidak ada kebencian” dapat dilihat dari kegiatan kelompok Ahmadiyah seperti pada kegiatan donor darah dan kornea. Upaya untuk memobilisasi kegiatan donor darah, organisasi sayap pemuda JAI menciptakan “GiveBlood,” sebuah perangkat lunak berbasis web yang lebih mudah menghubungkan mereka yang membutuhkan darah dan pendonor. Sementara itu, sampai tahun 2016, muslim Ahmadiyah berhasil mendonorkan 4.786 pasang kornea mata. Kegiatan ini adalah antitesis berbagai praktik penganiayaan dan kekerasan yang kerap menimpa mereka. 

  


Baca Juga : Haji Bagi Transgender

Di sisi lain, wacana nasionalisme dirangkai oleh Ahmadiyah melalui film dokumenter pendek berbasis arsip yang mengisahkan peran Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Film tersebut berkisah Ahmadiyah tidak pernah melakukan kerusuhan, bahkan turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Upaya perjuangan Ahmadiyah dibuktikan dengan mengolah dan menarasikan arsip seperti foto, dokumen dan video yang kemudian dirumuskan menjadi film dokumenter pendek. 

  

Menyusun Wacana Nasionalisme: Arsip Sebagai Senjata

  

Nasionalisme adalah produk konstruksi sosial dengan memori sejarah sebagai salah satu faktor yang mengeksploitasi proses tersebut. Memori sejarah dapat dilihat dari arsip yang dibuat masyarakat. Pada konteks ini, arsip bukan sekadar informasi yang terekam, namun juga ruang di mana kekuatan sosial dinegosiasikan, diperebutkan dan dikonfirmasi. Oleh sebab itu, informasi sejarah dianggap mampu menjelaskan sesuatu dengan jujur. Ahmadiyah menyadari hal tersebut, sehingga memanfaatkan sumber dayanya dalam bentuk arsip dan kemudian mengolahnya menjadi film dokumenter pendek berbasis arsip. 

  

Terdapat beberapa hal yang dapat diamati lebih lanjut dalam kaitannya dengan analisis wacana Van Dijk. Pertama, penggunaan bahasa yang fokus pada ekspresi, sintaksis, semantik, gaya, retorika, serta skema. Ahmadiyah memilih menjadikan film dokumenter ini sebagai salah satu bentuk gaya komunikasi dalam bentuk pemberitaan. Melalui film ini, Ahmadiyah ingin mencatat peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Bukti ini dianggap sangat ironi, sebab meskipun Ahmadiyah berperilaku baik, mereka tetap diperlakukan secara negatif oleh orang lain di negeri ini. 

  

Kedua, komunikasi keyakinan (kognisi). Ahmadiyah ingin merepresentasikan nasionalismenya melalui film ini. Representasi nasionalisme yang dibangun dalam film adalah nasionalisme Ahmadiyah yang dirangkai sedemikian rupa melalui arsip dan narasi. Pesan utama mengenai nasionalisme mereka adalah membuktikan kepada masyarakat dan kelompok anti-Ahmadiyah, dan negara bahwa Ahmadiyah adalah bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terlibat dalam kemerdekaan, serta terus mendukung negara. 

  

Ketiga, interaksi dalam situasi sosial. Ahmadiyah berharap melalui film ini, mereka dapat diterima masyarakat. Film ini dirilis pada tahun 2008, ketika penganiayaan terhadap Ahmadiyah marak dan paling banyak terjadi hingga tahun 2010. Jadi, ini adalah konteks waktu yang tepat untuk meningkatkan signifikansi film dalam perjuangan Ahmadiyah untuk mendapat pengakuan. Sedangkan, setting lokasi dipilih Manislor, Kecamatan Kuningan guna menunjukkan lokus terjadinya penganiayaan terhadap anggota Ahmadiyah. Foto dan narasi yang ditampilkan mewakili peran negara dalam interaksinya satu sama lain. Peran ini ditampilkan guna meyakinkan argumentasi bahwa Ahmadiyah dan negara pernah memiliki hubungan baik. Representasi ini dibangun karena Ahmadiyah terjebak dalam situasi yang tidak kondusif. 

  

Kesimpulan

  

Inti dari penelitian tersebut adalah wacana nasionalisme yang dibuat dalam film Ahmadiyah mencerminkan tindakan aktivisme-kearsipan yang direncanakan oleh komunitas Ahmadiyah guna menjangkau pengakuan dari komunitas lain di Indonesia, seperti muslim arus utama, dan komunitas lain secara umum. Mereka berusaha membuktikan diri bahwa kelompok Ahmadiyah layak mendapat pengakuan. Bukti dari arsip menunjukkan bahwa legitimasi nasionalisme yang melekat pada Ahmadiyah sudah tervalidasi. Sayangnya, film ini belum mendapatkan perhatian khusus dari kalangan Ahmadiyah. Hal ini terlihat masih adanya kesalahan dalam narasi fakta sejarah.